Sudah tiga
hari aku dibuat Nia
gelisah. Tanpa alasan, Nia
berubah. Biasanya tiap pagi dia sms aku meminta soal untuk ditanyakan pada gurunya. Sekalipun kelas kami berbeda, aku selalu
mencoba menjadi sosok yang terbaik di hadapannya dengan menyuplai
pertanyaan-pertanyaan brilian untuknya. Tak hanya itu, aku juga berusaha
menjadi manusia jenius serta menjadi orang yang selalu perhatian padanya.
Tiga hari
ini, setelah aku pulang kampung ke Solo,
kutemukan ada yang berbeda dengannya. Padahal dulu dia memintaku tak berubah.
Memang
seperti inilah resiko berhubungan tanpa status dengan Nia. Apa benar dugaanku
selama ini, bahwa dia memang cewek tipe “ekspoitator”. Cewek yang hanya bisa
memanfaatkan lelaki yang dekat dengannya. Jika memang demikian, maka malang
sekali nasibku.
Tapi, kalau
memang yang diinginkannya seperti itu, ya silahkan saja. Dia tak salah. Memang
salahku sendiri menyukai gadis yang tak jelas sepertinya. Aku masih punya
banyak kenalan wanita-wanita lain yang mau kuajak maju.
Hari ini aku masuk jam sembilan. Jam
pertama kosong. Tapi aku ingin berangkat lebih awal. Jam delapan aku berangkat
jalan kaki sendirian. Aktifitas kesukaanku, berjalan sendiri sambil berpikir
atau sekedar melamun.
Ternyata di
jalan, tanpa rencana kubertemu Nia
bersepeda dengan teman sekelasnya. Sambil menunduk dia menyapaku.
“Mas,”
Aku sempat
bingung menghadapinya. Ada banyak hal yang ingin kusampaikan. Tentang alasannya
tak bisa dihubungi, tentang kesehatannya, tentang bukuku yang dipinjamnya, tentang
semuanya. Jujur. Aku sudah rindu padanya.
“Nia! kartu perpusku??”
Pertanyaan konyol terucap begitu saja. Hanya sebentar bisa menengok paras
cantiknya, sudah membuatku canggung.
Sepertinya
dia tak mendengar atau pura-pura tak mendengar. Acuh tak acuhnya membuatku
ingin memarahinya. Dasar perempuan eksploitator kurang ajar. Mentang-mentang
cantik, dengan mudahnya kau permainkan aku.
Huh. aku hanya bisa menghela nafas.
Tapi karena
rasa sayangku padanya. Hatiku mencoba menerka apa gerangan yang membuatnya
demikian.
“Janganlah
demikian Mid.
Tanyakan dulu padanya sebelum mengklaimnya seburuk itu.” Astaghfirullah. Aku
hanya bisa begini. Bingung sendiri. Dan selalu seperti ini bila dengan wanita.
Ku sms dia.
“Mana kartu
perpusku?”
Baru sepuluh
menit dia menjawab dengan singkat.
“Di perpus.”
Kurangajar
sekali Nia.
Maksudnya apa dia sms demikian.
Marahku sudah menguasai diri. Kudatangi perpustakaan. Dia tak ada. Ternyata
kartu perpustakaan ditinggalkannya di penjaga perpustakaan.
“Kurang ajar.
Oke lah kalau maumu begitu. Masih banyak orang
lain yang mau belajar bersamaku. Aku juga rugi belajar dengan cewek bodoh
sepertimu. Bisanya cuma bertanya dan bertanya. Disuruh belajar nggak mau. Kalau
ada tugas, baru menghubungiku.”
Karena
kebingunganku, kudatangi Nada,
orang yang pernah dekat dengannya. Kuberanikan untuk bertanya tentang
kepribadian Nia
yang sebenarnya.
Sepulang
kuliah kudatangi Nada
di kantin.
“Da, aku sedang dikecewakan
temanmu.” Kataku dengan nada agak marah
“Siapa Mid?”
“Siapa lagi
kalau bukan Nia
si eksploitator.”
“Jangan
begitulah. Kata-katamu menyebutnya eksploitator itu aku nggak setuju” Nada tak terima.
“Nyatanya
demikian kok,”
“Kamu itu
belum kenal dia. Jadi jangan mudah menilai orang sebelum kenal jauh. Aku
sendiri belum mengenal dia jauh.”
“Lha bukannya
kamu sudah berteman dengannya lama?” tanyaku
“Memang. Tapi
dia itu orangnya aneh, tertutup dan nggak jelas. Mungkin ketidakjelasannya itu
yang mengecewakanmu. Sepertinya dia punya masalah yang tak bisa diceritakan
pada orang lain.”
Obrolanku dan
Nada
berlangsung lama. Aku masih kecewa. Dia masih menjadi sosok eksploitator
buatku, tapi aku juga tak bisa membohongi diri kalau aku suka dia.
Nada
belum bisa menjawab pertanyaanku. Tiada jalan lain lagi kecuali aku sendiri
harus bisa bertanya langsung pada Nia.
Aku pulang
sambil mendengar lagu yang kuanggap sesuai dengan kejadian yang menderitaku.
Dulu kumencintaimu terasa bahagia
namun kau hilang tanpa jejak
membuat bertanya
apa salah diriku
Akal sehatku berhenti kala menatap indah matamu
hingga melumpuhkan jiwa
peduli perhatian dan sayangmu
tak kan lagi kuyakini semua
Sore hari ada
agenda diskusi di kampus, aku datang kesana. Kuhubungi Nia agar dia juga ikut
diskusi. Aku sudah rindu menunjukkan kehebatanku dalam beretorika di forum
diskusi. Tema diskusi sudah kupelajari dengan baik, tentang hubungan negara dan
agama. Kajian ini sudah kupelajari awal kuliah disini.
Diskusi sudah
dimulai. Nia
tidak juga datang. Hadi berbicara panjang lebar tentang negara dan agama.
“Ada tiga
model hubungan negara dan agama. Integralistik, Sekularistik dan simbiotik.
Integralistik adalah menyatukan
negara dengan agama. Dalam hal ini agama dijadikan sebagai dasar negara.
Istilah lainnya adalah teokrasi. Contohnya seperti Vatikan.
Sedangkan
sekularistik memisahkan negara dengan agama. Agama tidak boleh ikut campur
dalam urusan negara. Contohnya negara Turki. Terakhir adalah simbiotik, yakni
suatu negara yang menjadikan nilai-nilai agam sebagai landasan moral saja.
Bukan menjadi dasar negara.” Hadi menjelaskan. Apa yang disampaikan Hadi sudah
kuhafal. Aku tak terlalu risau untuk mengalihkan konsentrasiku untuk Nia. Aku risau menunggu
kedatangannya.
Setelah forum
membuka sesi tanya jawab, Nia
datang. Seperti tadi pagi, dia masih menundukkan kepalanya. Dia duduk
disampingku. Wajahnya ditutupi dengan tisu. Sehingga kecantikannya hanya
terpancar dari matanya yang indah. Aku curiga, sepertinya ada sesuatu yang
ditutupi di wajahnya. Dengan nada lirih kutanyai Nia.
“Kenapa
wajahnya kok ditutupi?”
“Di wajahku
keluar bintik-bintik hitam setelah kemarin demam,” jawabnya.
“Sudah dibawa
ke dokter?”
“Sudah.
Katanya aku kena panas dalam.”
Aku diam
lagi. Mendengar tanya jawab dalam diskusi. Kulirik ponsel Nia. “Kok hpnya ganti ya?”
tanyaku dalam hati. Kuberanikan bertanya
“Hapemu ganti
Ni?”
tanyaku.
“Iya mas.
Hapeku rusak. Ini pinjam temanku,” kuambil hp asing itu. Ternyata tidak ada
nomerku disana.
“Kok nomerku
nggak ada?” tanyaku.
“Nomer
sampean tersimpan di memori hp yang rusak. Makanya aku nggak tahu siapa yang
kirim sms aku. Lha makanya aku nggak balas sms sampean. Soalnya aku nggak
berani hubungi nomer nggak jelas.”
Agaknya dia
ingin menjelaskan alasannya tidak bisa kuhubungi.
“Lha masa
nggak hafal nomerku?”
“Ya nggak
hafal mas. Aku malas menghafal angka.”
Spekulasiku
pecah menjadi kepingan premis-premis tak berharga. Kucoba mencari
kebenaran-kebenaran lain sesuai apa yang diucapkan Nia. Dia tak menghubungiku
bukan karena mengeksploitasiku tapi ada sebab lain yang pernah dikisahkannya
padaku. Klaim negatif yang membabi buta tentang Nia menunjukkan emosi yang
seharusnya tak kuteruskan. Cemburu berlebihan tanpa sebab menghasilkan
ketidaksukaanku padanya.
Seusai
diskusi Nia
mengajakku makan di warung. Dia anak orang kaya, makannya pun berbeda denganku.
Aku biasanya cuma makan di angkringan, makan nasi kucing semarangan. Dia
mengajakku makan di warung Soto Lamongan selera kalangan menengah ke atas. Aku
ikut saja agar aku tahu ada apa gerangan dengannya akhir-akhir ini.
“Tiiiit
Tiiiiit Tiiiit....”
Ada yang
menelpon Nia.
Dia tak mengangkatnya. Sampai tiga kali. Akhirnya kuraih hpnya. Kuangkat
telponnya.
“Halo,”
“Iya halo,” suara
laki-laki dari seberang. Langsung ditutup. Kulihat nomernya nomer rumahan.
“Siapa sih Ni?”
“Sudahlah.
Nggak usah bahas dia,”
“Kenapa?” kupancing
dia agar mau cerita. Mimik wajah Nia
berubah.
“Dia itu.
Sudahlah tak usah dibahas.”
“Kau mau
terus nggak jelas seperti ini terus Ni?
Ceritakan saja. Nanti mungkin bisa bantu.”
“Tapi jangan
bilang teman-teman ya?”
“Ya,”
“Waktu aku
ada acara di Balaikota. Aku diajak kenalan salah satu staff walikota. Awalnya
dia biasa saja. Kenalan biasa saja. Tapi sejak tiga hari ini, dia telpon-telpon
aku terus.” terang Nia
“Lha terus
apa masalahnya?” tanyaku.
“Usianya
sudah 31 tahun. Belum menikah,”
“So?”
“Dia ngajak
nikah aku.”
Deg. Hatiku
berdesir. Orang ini pasti serius mengajak Nia menikah. Staf walikota pasti
sudah mapan. Usianya saja sudah 31 tahun.
“Dia kaya ya?
telponnya saja pakai nomor rumah. Kan mahal?”
“Bukan nomer
rumah mas. Itu nomer kantor yang dipakainya.”
“What? nomer
kantor? Emang ada urusan perkantoran ya telpon kamu pakai nomer kantor.”
“Ya nggak
tahu. Pokonya kalau telpon dia membujukku untuk menikah denganku.” terang Nia.
Dasar
koruptor. Fasilitas kantor dipakai kepentingan pribadi
“Sebenarnya
dia yang buatku takut hubungi nomer-nomer tanpa nama. Aku takut dia yang
menghubungiku,” lanjut Nia.
Akhirnya
semua jelas. Alasannya tak menghubungiku selama tiga hari tidak lain karena
Staf walikota korup itu. Aku yakin dia tak hanya berani menggunakan fasilitas
kantor untuk kepentingan pribadi, dia pasti koruptor muda kelas kakap. Aku akan
mengusut kasus ini.
Seminggu
setelahnya aku mendapat kabar Staf walikota bernama Rinto itu semakin berani
saja. Dia menghubungi orang tua Nia.
Entah dari mana dia tahu informasi tempat tinggal orang tuanya. Dari keterangan
yang kudengar, Rinto akan pergi ke rumah Nia
di Banyuanyar.
Dia akan melamar Nia
langsung ke orangtuanya. Agaknya ini bisa berbahaya. Orang tua Nia pasti menerima
lamarannya. Sekilas, Rinto tak kurang satupun. Pria kaya, hidup mapan, ganteng
pula. Orang tua Nia
tak akan berpikir panjang lagi. Sebentar lagi Nia lulus kuliah. Kalau orang tua Nia menerimanya otomatis
setelah lulus kuliah, Nia
pasti akan dinikahkan. Jika terjadi demikian, tamatalah riwayat cintaku.
Sebelum itu
terjadi aku harus bisa memberi tahu orang tua Nia tentang tindakan korup Rinto.
“Tiiiit Tiiit
Tiiiit.” Sms dari Nia
“Bisa ke
perpustakaan sekarang mas?”
“Siap Ni!”.
Di
perpustakaan aku tak berminat membaca buku. Nia pun demikian. Kami membicarakan
rencana Rinto yang mau melamarnya. Aku masih menyembunyikan perasaanku darinya.
Nia
masih belum tahu cinta yang kubiarkan tumbuh di hati.
“Mas.
Sepertinya kalau Rinto jadi ke rumahku, ortuku pasti memaksaku menikah. Ortuku
mikirnya agak primitif sih masalah jodoh. Solusinya gimana nih Mas?” tanya Nia.
“Aku juga tak
tahu Ni.
Menurutku ini urusanmu dengan keluargamu.” kataku
“Kok gitu?”
“Aku kan tak
berhak ikut campur masalah ini,”
Aku tak tahu.
Aku menyerah begitu saja. Tak bisa apa-apa. Sepertinya aku juga berpikir
primitif soal cinta. Biarkan orang yang kucintai bahagia dengan orang lain.
karena cinta tak harus miliki. Kalimat ini sudah kujadikan prinsip dalam
bercinta. Prinsip yang buruk bagi seorang pecinta.
Lama-lama aku
berpikir, akhirnya kudapatkan cara untuk meyakinkan orang Tua Nia. Aku akan merusak citra
Rinto dengan mengeluarkan isu atas tindak korupsi yang dilakukannya. Meski yang
kutahu korupsinya hanya menggunakan layanan kantor tidak semestinya. Ku sms
semua teman-temanku. Kuajak mereka diskusi di kampus membicarakan tentang
tindakan korup pejabat-pejabat Semarang.
Saat diskusi
hanya sepuluh orang yang datang. Aku pesimis. Kupimpin jalannya diskusi.
Kuutarakan rencanaku untuk melakukan aksi pemberantasan korupsi yang dilakukan
oleh pejabat-pejabat kota Semarang. Alhamdulillah tanpa kusangka, semua peserta
diskusi mendapatkan data-data valid yang bisa menambah bukti tindakan korupsi
mereka. Aku menyarankan teman-teman agar besok pagi segera menggalang aksi di
depan balai kota Semarang dan masing-masing orang harus bisa mengumpulkan massa
sebanyak-banyaknya.
Pagi harinya,
tiga puluh orang berkumpul dengan spanduk-spanduk anti korupsi. Beberapa
wartawan siap meliput aksi kami. Belasan polisi menjaga ketat pintu gerbang
membentuk barikade yang tak bisa kami bendung.
“INDONESIA BERSIH
TANPA KORUPSI!”
“PECAT
PEJABAT YANG MELAKUKAN KORUPSI”
“HUKUM MATI
PARA KORUPTOR!” dan spanduk-spanduk lainnya.
Kami berorasi
satu persatu. Aku menjadi koordinator lapangan. Lima mahasiswa berorasi panjang
dengan inti sama, menginginkan agar pejabat bersih dari korupsi dan yang
memiliki indikasi koruptor harus bisa dipecat. Para polisi hanya diam seperti
patung atau lebih tepatnya seperti anak TK yang berseragam polisi. Tak bicara
hanya menyaksikan kami berorasi.
Hampir tiga
puluh menit kami berorasi, Walikota mendatangi kami lalu kami diajak masuk
gerbang dan audiensi langsung dengan pihak walikota.
“Saya sangat
apresiatif dengan aksi rekan-rekan mahasiswa yang mendukung program-program
kami memberantas korupsi. Beberapa pejabat korupsi sudah kukantongi namanya,” jelas
Pak Walikota.
“Kalau boleh
tahu siapa saja pak? Kami juga ingin tahu dan para wartawan yang hadir disini
biar tahu juga siapa saja orang-orang itu,“ kataku.
“Iya pak!”
Para wartawan serempak mendukungku. Mereka menyodorkan kamera kehadapanku.
Sepertinya
aku akan masuk
tivi dan koran.
Walikota
meminta ajudannya mengambil lampiran yang berisi nama-nama koruptor. Para
wartawan menyerbunya dengan kamera. Aku tak mau kalah. Salah satu temanku
merangsek mengambil lampiran itu.
“Hidup Pak
Walikota!” salah satu mahasiswa senang sekali atas tindakan walikota.
“Semarang
bersih dari korupsi!” mahasiswa lain menimpali.
“Hidup
mahasiswa!” teman-temanku berteriak. Aku merinding mendengar semangat
teman-temanku di siang hari untuk berjihad melawan kebatilan. Semoga mereka tak
tahu motif utamaku agar mereka tak kecewa.
Aku bersama
mahasiswa lain melihat nama-nama itu. Ada delapan nama. Dan ternyata Rinto
masuk dalam jajaran nama koruptor itu. Aku senang sekali. Rencanaku berhasil.
Hari ini juga orang tua Nia
akan tahu siapa itu Rinto. Kapan pun Rinto melamar, orang tua Nia pasti menolaknya
lantaran sudah tahu latar belakang Rinto dari media. Koruptor muda.
Kukabari Nia tentang kejadian itu.
Dia senang bukan kepalang. Ribuan terima kasih diucapkan kepadaku. Tapi sayang
aku belum bisa mendapatkan cintanya. Tak apa. Memandang senyumnya yang indah
sudah cukup membuatku bahagia. Aku mulai menyadari akan cinta. Memang benar kata
teman ku di kerohanian dulu, cinta membuat kita jadi aneh, kita jadi berubah,
entah jadi baik apa jadi buruk. Semua cinta yang abadi hanya pada Yang Maha
Kuasa. Kini kukembalikan semua pada alur yang terbaik untuk kehidupanku ini. Semua yang akan menuntunku kembali pada kenikmatan abadi pula. Sebelum semuanya
terlambat dan terlanjur.
ahahaha.. pengalaman pribadi to mas bos.. wkwkkwkwkw.. good job. lanjutkan.
ReplyDeletewkwk.. ya bukan lah mbak bos besar.. :D hanya imaji pengarang :d hahaha
ReplyDeletekesan pertama baca ini, menurutku tokoh utama laki-lakinya itu terlalu gampang buat 'menyimpulkan' sifat dan sikap seseorang, tapi akhirnya dia bisa dengan benar membuktikan 'simpulannya' tentang sikap dan sifat si Rinto . good job :D
ReplyDelete