INI LANGKAHKU

Wednesday, May 2, 2012

Cinta Tiada Duanya



Sudah tiga hari aku dibuat Nia gelisah. Tanpa alasan, Nia berubah. Biasanya tiap pagi dia sms aku meminta soal untuk ditanyakan pada gurunya. Sekalipun kelas kami berbeda, aku selalu mencoba menjadi sosok yang terbaik di hadapannya dengan menyuplai pertanyaan-pertanyaan brilian untuknya. Tak hanya itu, aku juga berusaha menjadi manusia jenius serta menjadi orang yang selalu perhatian padanya.
Tiga hari ini, setelah aku pulang kampung ke Solo, kutemukan ada yang berbeda dengannya. Padahal dulu dia memintaku tak berubah.
Memang seperti inilah resiko berhubungan tanpa status dengan Nia. Apa benar dugaanku selama ini, bahwa dia memang cewek tipe “ekspoitator”. Cewek yang hanya bisa memanfaatkan lelaki yang dekat dengannya. Jika memang demikian, maka malang sekali nasibku.
Tapi, kalau memang yang diinginkannya seperti itu, ya silahkan saja. Dia tak salah. Memang salahku sendiri menyukai gadis yang tak jelas sepertinya. Aku masih punya banyak kenalan wanita-wanita lain yang mau kuajak maju.
Hari ini aku masuk jam sembilan. Jam pertama kosong. Tapi aku ingin berangkat lebih awal. Jam delapan aku berangkat jalan kaki sendirian. Aktifitas kesukaanku, berjalan sendiri sambil berpikir atau sekedar melamun.
Ternyata di jalan, tanpa rencana kubertemu Nia bersepeda dengan teman sekelasnya. Sambil menunduk dia menyapaku.
“Mas,”
Aku sempat bingung menghadapinya. Ada banyak hal yang ingin kusampaikan. Tentang alasannya tak bisa dihubungi, tentang kesehatannya, tentang bukuku yang dipinjamnya, tentang semuanya. Jujur. Aku sudah rindu padanya.
“Nia! kartu perpusku??” Pertanyaan konyol terucap begitu saja. Hanya sebentar bisa menengok paras cantiknya, sudah membuatku canggung.
Sepertinya dia tak mendengar atau pura-pura tak mendengar. Acuh tak acuhnya membuatku ingin memarahinya. Dasar perempuan eksploitator kurang ajar. Mentang-mentang cantik, dengan mudahnya kau permainkan aku.
Huh. aku hanya bisa menghela nafas.
Tapi karena rasa sayangku padanya. Hatiku mencoba menerka apa gerangan yang membuatnya demikian.
“Janganlah demikian Mid. Tanyakan dulu padanya sebelum mengklaimnya seburuk itu.” Astaghfirullah. Aku hanya bisa begini. Bingung sendiri. Dan selalu seperti ini bila dengan wanita.
Ku sms dia.
“Mana kartu perpusku?”
Baru sepuluh menit dia menjawab dengan singkat.
“Di perpus.”
Kurangajar sekali Nia. Maksudnya apa dia sms demikian. Marahku sudah menguasai diri. Kudatangi perpustakaan. Dia tak ada. Ternyata kartu perpustakaan ditinggalkannya di penjaga perpustakaan.
“Kurang ajar. Oke lah kalau maumu begitu. Masih banyak orang lain yang mau belajar bersamaku. Aku juga rugi belajar dengan cewek bodoh sepertimu. Bisanya cuma bertanya dan bertanya. Disuruh belajar nggak mau. Kalau ada tugas, baru menghubungiku.”
Karena kebingunganku, kudatangi Nada, orang yang pernah dekat dengannya. Kuberanikan untuk bertanya tentang kepribadian Nia yang sebenarnya.
Sepulang kuliah kudatangi Nada di kantin.
Da, aku sedang dikecewakan temanmu.” Kataku dengan nada agak marah
“Siapa Mid?”
“Siapa lagi kalau bukan Nia si eksploitator.”
“Jangan begitulah. Kata-katamu menyebutnya eksploitator itu aku nggak setuju” Nada tak terima.
“Nyatanya demikian kok,”
“Kamu itu belum kenal dia. Jadi jangan mudah menilai orang sebelum kenal jauh. Aku sendiri belum mengenal dia jauh.”
“Lha bukannya kamu sudah berteman dengannya lama?” tanyaku
“Memang. Tapi dia itu orangnya aneh, tertutup dan nggak jelas. Mungkin ketidakjelasannya itu yang mengecewakanmu. Sepertinya dia punya masalah yang tak bisa diceritakan pada orang lain.”
Obrolanku dan Nada berlangsung lama. Aku masih kecewa. Dia masih menjadi sosok eksploitator buatku, tapi aku juga tak bisa membohongi diri kalau aku suka dia.
Nada belum bisa menjawab pertanyaanku. Tiada jalan lain lagi kecuali aku sendiri harus bisa bertanya langsung pada Nia.
Aku pulang sambil mendengar lagu yang kuanggap sesuai dengan kejadian yang menderitaku.
Dulu kumencintaimu terasa bahagia
namun kau hilang tanpa jejak
membuat bertanya
apa salah diriku
Akal sehatku berhenti kala menatap indah matamu
hingga melumpuhkan jiwa
peduli perhatian dan sayangmu
tak kan lagi kuyakini semua
Sore hari ada agenda diskusi di kampus, aku datang kesana. Kuhubungi Nia agar dia juga ikut diskusi. Aku sudah rindu menunjukkan kehebatanku dalam beretorika di forum diskusi. Tema diskusi sudah kupelajari dengan baik, tentang hubungan negara dan agama. Kajian ini sudah kupelajari awal kuliah disini. 
Diskusi sudah dimulai. Nia tidak juga datang. Hadi berbicara panjang lebar tentang negara dan agama.
“Ada tiga model hubungan negara dan agama. Integralistik, Sekularistik dan simbiotik. Integralistik adalah menyatukan negara dengan agama. Dalam hal ini agama dijadikan sebagai dasar negara. Istilah lainnya adalah teokrasi. Contohnya seperti Vatikan.
Sedangkan sekularistik memisahkan negara dengan agama. Agama tidak boleh ikut campur dalam urusan negara. Contohnya negara Turki. Terakhir adalah simbiotik, yakni suatu negara yang menjadikan nilai-nilai agam sebagai landasan moral saja. Bukan menjadi dasar negara.” Hadi menjelaskan. Apa yang disampaikan Hadi sudah kuhafal. Aku tak terlalu risau untuk mengalihkan konsentrasiku untuk Nia. Aku risau menunggu kedatangannya.
Setelah forum membuka sesi tanya jawab, Nia datang. Seperti tadi pagi, dia masih menundukkan kepalanya. Dia duduk disampingku. Wajahnya ditutupi dengan tisu. Sehingga kecantikannya hanya terpancar dari matanya yang indah. Aku curiga, sepertinya ada sesuatu yang ditutupi di wajahnya. Dengan nada lirih kutanyai Nia.
“Kenapa wajahnya kok ditutupi?”
“Di wajahku keluar bintik-bintik hitam setelah kemarin demam,” jawabnya.
“Sudah dibawa ke dokter?”
“Sudah. Katanya aku kena panas dalam.”
Aku diam lagi. Mendengar tanya jawab dalam diskusi. Kulirik ponsel Nia. “Kok hpnya ganti ya?” tanyaku dalam hati. Kuberanikan bertanya
“Hapemu ganti Ni?” tanyaku.
“Iya mas. Hapeku rusak. Ini pinjam temanku,” kuambil hp asing itu. Ternyata tidak ada nomerku disana.
“Kok nomerku nggak ada?” tanyaku.
“Nomer sampean tersimpan di memori hp yang rusak. Makanya aku nggak tahu siapa yang kirim sms aku. Lha makanya aku nggak balas sms sampean. Soalnya aku nggak berani hubungi nomer nggak jelas.”
Agaknya dia ingin menjelaskan alasannya tidak bisa kuhubungi. 
“Lha masa nggak hafal nomerku?”
“Ya nggak hafal mas. Aku malas menghafal angka.”
Spekulasiku pecah menjadi kepingan premis-premis tak berharga. Kucoba mencari kebenaran-kebenaran lain sesuai apa yang diucapkan Nia. Dia tak menghubungiku bukan karena mengeksploitasiku tapi ada sebab lain yang pernah dikisahkannya padaku. Klaim negatif yang membabi buta tentang Nia menunjukkan emosi yang seharusnya tak kuteruskan. Cemburu berlebihan tanpa sebab menghasilkan ketidaksukaanku padanya.
Seusai diskusi Nia mengajakku makan di warung. Dia anak orang kaya, makannya pun berbeda denganku. Aku biasanya cuma makan di angkringan, makan nasi kucing semarangan. Dia mengajakku makan di warung Soto Lamongan selera kalangan menengah ke atas. Aku ikut saja agar aku tahu ada apa gerangan dengannya akhir-akhir ini.
“Tiiiit Tiiiiit Tiiiit....”
Ada yang menelpon Nia. Dia tak mengangkatnya. Sampai tiga kali. Akhirnya kuraih hpnya. Kuangkat telponnya.
“Halo,”
“Iya halo,” suara laki-laki dari seberang. Langsung ditutup. Kulihat nomernya nomer rumahan.
“Siapa sih Ni?”
“Sudahlah. Nggak usah bahas dia,”
“Kenapa?” kupancing dia agar mau cerita. Mimik wajah Nia berubah.
“Dia itu. Sudahlah tak usah dibahas.”
“Kau mau terus nggak jelas seperti ini terus Ni? Ceritakan saja. Nanti mungkin bisa bantu.”
“Tapi jangan bilang teman-teman ya?”
“Ya,”
“Waktu aku ada acara di Balaikota. Aku diajak kenalan salah satu staff walikota. Awalnya dia biasa saja. Kenalan biasa saja. Tapi sejak tiga hari ini, dia telpon-telpon aku terus.” terang Nia
“Lha terus apa masalahnya?” tanyaku.
“Usianya sudah 31 tahun. Belum menikah,” 
“So?”
“Dia ngajak nikah aku.”
Deg. Hatiku berdesir. Orang ini pasti serius mengajak Nia menikah. Staf walikota pasti sudah mapan. Usianya saja sudah 31 tahun.
“Dia kaya ya? telponnya saja pakai nomor rumah. Kan mahal?”
“Bukan nomer rumah mas. Itu nomer kantor yang dipakainya.”
“What? nomer kantor? Emang ada urusan perkantoran ya telpon kamu pakai nomer kantor.”
“Ya nggak tahu. Pokonya kalau telpon dia membujukku untuk menikah denganku.” terang Nia.
Dasar koruptor. Fasilitas kantor dipakai kepentingan pribadi
“Sebenarnya dia yang buatku takut hubungi nomer-nomer tanpa nama. Aku takut dia yang menghubungiku,” lanjut Nia.
Akhirnya semua jelas. Alasannya tak menghubungiku selama tiga hari tidak lain karena Staf walikota korup itu. Aku yakin dia tak hanya berani menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi, dia pasti koruptor muda kelas kakap. Aku akan mengusut kasus ini. 
Seminggu setelahnya aku mendapat kabar Staf walikota bernama Rinto itu semakin berani saja. Dia menghubungi orang tua Nia. Entah dari mana dia tahu informasi tempat tinggal orang tuanya. Dari keterangan yang kudengar, Rinto akan pergi ke rumah Nia di Banyuanyar. Dia akan melamar Nia langsung ke orangtuanya. Agaknya ini bisa berbahaya. Orang tua Nia pasti menerima lamarannya. Sekilas, Rinto tak kurang satupun. Pria kaya, hidup mapan, ganteng pula. Orang tua Nia tak akan berpikir panjang lagi. Sebentar lagi Nia lulus kuliah. Kalau orang tua Nia menerimanya otomatis setelah lulus kuliah, Nia pasti akan dinikahkan. Jika terjadi demikian, tamatalah riwayat cintaku.
Sebelum itu terjadi aku harus bisa memberi tahu orang tua Nia tentang tindakan korup Rinto.
“Tiiiit Tiiit Tiiiit.” Sms dari Nia
“Bisa ke perpustakaan sekarang mas?”
“Siap Ni!”.
Di perpustakaan aku tak berminat membaca buku. Nia pun demikian. Kami membicarakan rencana Rinto yang mau melamarnya. Aku masih menyembunyikan perasaanku darinya. Nia masih belum tahu cinta yang kubiarkan tumbuh di hati.
“Mas. Sepertinya kalau Rinto jadi ke rumahku, ortuku pasti memaksaku menikah. Ortuku mikirnya agak primitif sih masalah jodoh. Solusinya gimana nih Mas?” tanya Nia.
“Aku juga tak tahu Ni. Menurutku ini urusanmu dengan keluargamu.” kataku
“Kok gitu?”
“Aku kan tak berhak ikut campur masalah ini,”
Aku tak tahu. Aku menyerah begitu saja. Tak bisa apa-apa. Sepertinya aku juga berpikir primitif soal cinta. Biarkan orang yang kucintai bahagia dengan orang lain. karena cinta tak harus miliki. Kalimat ini sudah kujadikan prinsip dalam bercinta. Prinsip yang buruk bagi seorang pecinta.
Lama-lama aku berpikir, akhirnya kudapatkan cara untuk meyakinkan orang Tua Nia. Aku akan merusak citra Rinto dengan mengeluarkan isu atas tindak korupsi yang dilakukannya. Meski yang kutahu korupsinya hanya menggunakan layanan kantor tidak semestinya. Ku sms semua teman-temanku. Kuajak mereka diskusi di kampus membicarakan tentang tindakan korup pejabat-pejabat Semarang.
Saat diskusi hanya sepuluh orang yang datang. Aku pesimis. Kupimpin jalannya diskusi. Kuutarakan rencanaku untuk melakukan aksi pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat kota Semarang. Alhamdulillah tanpa kusangka, semua peserta diskusi mendapatkan data-data valid yang bisa menambah bukti tindakan korupsi mereka. Aku menyarankan teman-teman agar besok pagi segera menggalang aksi di depan balai kota Semarang dan masing-masing orang harus bisa mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya.
Pagi harinya, tiga puluh orang berkumpul dengan spanduk-spanduk anti korupsi. Beberapa wartawan siap meliput aksi kami. Belasan polisi menjaga ketat pintu gerbang membentuk barikade yang tak bisa kami bendung.
“INDONESIA BERSIH TANPA KORUPSI!”
“PECAT PEJABAT YANG MELAKUKAN KORUPSI”
“HUKUM MATI PARA KORUPTOR!” dan spanduk-spanduk lainnya.
Kami berorasi satu persatu. Aku menjadi koordinator lapangan. Lima mahasiswa berorasi panjang dengan inti sama, menginginkan agar pejabat bersih dari korupsi dan yang memiliki indikasi koruptor harus bisa dipecat. Para polisi hanya diam seperti patung atau lebih tepatnya seperti anak TK yang berseragam polisi. Tak bicara hanya menyaksikan kami berorasi.  
Hampir tiga puluh menit kami berorasi, Walikota mendatangi kami lalu kami diajak masuk gerbang dan audiensi langsung dengan pihak walikota.
“Saya sangat apresiatif dengan aksi rekan-rekan mahasiswa yang mendukung program-program kami memberantas korupsi. Beberapa pejabat korupsi sudah kukantongi namanya,” jelas Pak Walikota.
“Kalau boleh tahu siapa saja pak? Kami juga ingin tahu dan para wartawan yang hadir disini biar tahu juga siapa saja orang-orang itu,“ kataku.
“Iya pak!” Para wartawan serempak mendukungku. Mereka menyodorkan kamera kehadapanku.
Sepertinya aku akan masuk tivi dan koran.
Walikota meminta ajudannya mengambil lampiran yang berisi nama-nama koruptor. Para wartawan menyerbunya dengan kamera. Aku tak mau kalah. Salah satu temanku merangsek mengambil lampiran itu.
“Hidup Pak Walikota!” salah satu mahasiswa senang sekali atas tindakan walikota.
“Semarang bersih dari korupsi!” mahasiswa lain menimpali.
“Hidup mahasiswa!” teman-temanku berteriak. Aku merinding mendengar semangat teman-temanku di siang hari untuk berjihad melawan kebatilan. Semoga mereka tak tahu motif utamaku agar mereka tak kecewa.
Aku bersama mahasiswa lain melihat nama-nama itu. Ada delapan nama. Dan ternyata Rinto masuk dalam jajaran nama koruptor itu. Aku senang sekali. Rencanaku berhasil. Hari ini juga orang tua Nia akan tahu siapa itu Rinto. Kapan pun Rinto melamar, orang tua Nia pasti menolaknya lantaran sudah tahu latar belakang Rinto dari media. Koruptor muda.
Kukabari Nia tentang kejadian itu. Dia senang bukan kepalang. Ribuan terima kasih diucapkan kepadaku. Tapi sayang aku belum bisa mendapatkan cintanya. Tak apa. Memandang senyumnya yang indah sudah cukup membuatku bahagia. Aku mulai menyadari akan cinta. Memang benar kata teman ku di kerohanian dulu, cinta membuat kita jadi aneh, kita jadi berubah, entah jadi baik apa jadi buruk. Semua cinta yang abadi hanya pada Yang Maha Kuasa. Kini kukembalikan semua pada alur yang terbaik untuk kehidupanku ini. Semua yang akan menuntunku kembali pada kenikmatan abadi pula. Sebelum semuanya terlambat dan terlanjur.

3 comments:

  1. ahahaha.. pengalaman pribadi to mas bos.. wkwkkwkwkw.. good job. lanjutkan.

    ReplyDelete
  2. wkwk.. ya bukan lah mbak bos besar.. :D hanya imaji pengarang :d hahaha

    ReplyDelete
  3. kesan pertama baca ini, menurutku tokoh utama laki-lakinya itu terlalu gampang buat 'menyimpulkan' sifat dan sikap seseorang, tapi akhirnya dia bisa dengan benar membuktikan 'simpulannya' tentang sikap dan sifat si Rinto . good job :D

    ReplyDelete