Malam ini kudapat melihat kejora nan indah di langit. Dalam sendiri,
kulihat foto-foto Nisa. Satu persatu kulihat wajah ayunya. Sangat
menawan. Aku heran kenapa gadis secantik dia mau menjadi kekasihku.
“Tiiiiit....,” nada sms masuk membuyarkan lamunanku. Dari Nisa.
“Aku nggak bisa tidur, Mas,”
Kubiarkan sms itu. Aku ingin berkontemplasi tanpa ada yang mengganggu.
Pokoknya malam ini aku harus bisa memutuskan. Melanjutkan hubungan atau
mengakhirinya.
“Aku tahu kamu belum tidur. Maaf mengganggu,” dia berkirim pesan singkat lagi. Tak kubiarkan.
Empat bulan aku menjalin hubungan dengan Nisa. Bukan bertambah mesra,
aku malah merasa berdosa. Rasanya seperti orang yang musyrik. Bagaimana
tidak, tiap salat, berzikir, baca al-Quran wajahnya selalu terbayang
dalam kepalaku. Bukan Allah yang kuingat.
Sejujurnya aku masih
menyayangi Nisa. Namun aku tak mau terus-terusan seperti ini. Saat
meresapi makna-makna Quran, selalu saja ada ayat yang menyindir untuk
beribadah tulus, harus bisa mencintai Allah, harus selalu mengingat-Nya.
Jika tidak, sama saja dengan orang fasik. Menduakan cinta-Nya sama
dengan musyrik. Astaghfirullah.
Kenapa aku dulu mau menjadi
kekasihnya, bukannya aku sudah bahagia dengan status sebagai sahabat
yang saling menyayangi. Rupanya janji yang kulanggar telah menjelma
menjadi hukum kausalitas. Seringkali kuucapkan pada diriku dan orang
lain, cinta adalah perusak persahabatan. Nyatanya aku sendiri yang jatuh
cinta.
Dulu Nisa adalah sahabat terbaik dalam hidupku yang
bisa mengertiku dan bisa kumengerti. Selalu melengkapi serta tak pernah
sekalipun bertikai meski berbeda pendapat. Sebagai lelaki, aku selalu
jadi pelindungnya, sementara Nisa setia menjadi penenang emosiku. Lambat
laun perasaanku mengkristal menjadi cinta. Mulai saat itu pula masalah
demi masalah muncul.
Meski hubungan jarak jauh membuatku
jarang melakukan maksiat, tapi batin ini semakin tersiksa saat dia
berucap. “I miss u,” atau “I wait u,” dan ungkapan-ungkapan rindu
lainnya. Kucoba berhenti menghubunginya, tak bisa. Entah cinta atau
nafsuku yang tak tahan untuk berkomunikasi.
“Sudah selesai tugasmu, Nas??” Furqon menyapa. Kontemplasiku buyar.
“Belum, Fur.”
“Besok dikumpulkan, Nas!”
“Kamu sudah?” tanyaku.
“Belum, ayo kerjakan bareng. Aku mau ke rental,”
"Ayo," kami mahasiswa miskin yang tak mampu beli laptop atau sekedar komputer kuno.
Tugas yang kukerjakan melupakan semua tentang Nisa. Jam tiga malam
tugas baru selesai. Aku sholat malam lalu membaca Quran surat Yusuf.
Kubaca ayat-demi ayat sembari mentadabburi maknanya. Dalam kehidupanku
rasanya aku menjadi Yusuf yang digoda sosok Zulaikha yang diperankan
Nisa. Dia selalu mengangguku. Nampaknya ini adalah petunjuk Allah agar
memiliki ketegasan seperti Yusuf. Lebih memilih Allah daripada Zulaikha.
Semoga aku bisa lebih memilih Allah dari pada Nisa.
Kembali
terjadi perang batin dalam diriku hingga akhirnya tak tahan kumeneteskan
air mata. Tak ingin perang ini berlanjut. Aku tidur.
Saat bangun tidur kubuka ponsel. Sms baru dari Nisa.
“Sayang, aku tahu kita tak sering bertemu. Walau kamu jauh. Hatiku untukmu.
Jangan pernah kau dustai hatiku. Aku resah jalani waktu tanpamu. Jangan
pernah kau ragukan cintaku, aku tak kan membuatmu terluka,”
Tidak. Kenapa dia harus membuatku semakin merana dengan kata-kata itu.
Teman-temanku sudah terbangun. Salah seorang dari mereka mengamatiku.
Dia mendekat lalu memandangi mataku.
“Matamu merah, Nas. Sakit?”
“Tidak,” jawabku singkat. Tak ingin mereka tahu tangisanku semalam.
“Besok nggak pulang?” Besok tanggal merah. Kita libur empat hari. Jumat kita kosong.” Furqon menanyaiku.
***
Sepulang kuliah, Ambar, adiknya Nisa menelponku.
“Assalamualaikum,” suara Ambar dari seberang.
“Wa'alaikumsalam, ada apa Mbar?”
“Mas Anas lagi ada masalah dengan Mbak Nisa?”
“Nggak ada. Kenapa?”
“Dari pagi mbak Nisa nggak keluar kamar. Biasanya dia kan keluar rumah
terus, Mas. Sampai kulitnya hitam,” Udara panas. Aku mencari tempat
duduk di sudut kantin sambil meneguk air putih.
“Terus?”
“Kulihat status di facebooknya, sepertinya sedang ada masalah denganmu,
Mas,” Aku jarang facebook lagi. Malas berkomunikasi dengan dunia maya.
“Memangnya bagaimana statusnya?” tanyaku.
“Sebentar, Mas. Kubuka fb dulu,” ujar Ambar. Kumenunggunya sampai lima menit sambil membaca buku.
“Tiiiiit,” telpon dari Ambar.
“Begini, Mas. Kau tak tahu betapa aku merindukanmu. Keegoisanmu
membuatku terluka. Tapi Rasa sayangku akan melupakan semua. Sekejam
apapun dirimu padaku, saat bersamamu aku tenang dan aku senang.”
“Oke, terima kasih, Mbar,”
Telpon kututup. Kulihat jam tanganku. Sudah jam dua siang. Aku belum
sholat dhuhur. Langsung ku ke musholla, sholat, berzikir sebentar lalu
kembali memikirkannya.
“Ya Allah. Kau tahu hamba-Mu ini sedang
bingung. Aku tak ingin menyakiti wanita. Bagaimanapun dia juga
makhlukmu. Aku tertidur.” Dalam tidurku bermimpi bertemu dengan Nisa.
Dia menangis di depanku.
“Kau jahat, Mas Anas. Tak tahu kalau
aku sayang kamu. Sms saja tak pernah kau balas. Tapi aku akan terus
bertahan, Mas. Mempertahankan hubungan kita. Tak mau aku berpisah
denganmu,”
Aku terbangun saat terdengar adzan Ashar. Pipiku
basah oleh air mata. “Nampaknya setan mulai ikut campur dalam
hubunganku,” pikirku.
Tanpa persiapan, malam hari aku pulang ke
Babat Lamongan untuk menemui Nisa. Aku juga merindukannya. Setelah
berada dalam bis tujuh jam lebih, akhirnya aku sampai di rumah.
Kuberitahu Nisa dengan pesan singkat.
“Aku di rumah. Besok bisa bertemu?”
“Ya, bisa. Dimana? Jam berapa?”
“Seperti biasa,”
Sesuai janji, jam sepuluh pagi aku menunggu Nisa di pasar Babat.
Cuacanya panas sekali. Aku kecewa, dia baru datang jam setengah sebelas.
Aku sudah kepanasan di sana. Hatiku pun ikut panas gara-gara
keterlambatannya. Tapi dengan mudah dia bilang,”Maaf, Mas. Aku
terlambat. Habis nemani ibu.”
Kulihat kulitnya agak hitam. Benar
kata Ambar beberapa hari lalu. Aku juga sangat merindukannya meski tak
pernah mengungkapkannya.
“Kita ngobrol di warnet saja!” ajakku.
Aku dan Nisa berjalan ke warnet. Entah kenapa dia tak mau berjalan di
sampingku. Aku berada tiga langkah di depannya. Hatiku semakin panas.
Kedatanganku jauh-jauh dari Semarang tak dihargainya. Sikapnya membuat
hatiku getir.
Sesampainya di warnet kupandangai wajahnya.
“Jangan memandangiku seperti itu!” katanya. Aku kecewa mendengar kata-katanya.
“Katanya kangen aku, Nisa?” dia tak menanggapi.
“Ada kotoran nempel di samping matamu, Mas. Diam saja! kuambilkan,”
jari tangannya yang lentik mengambil kotoran. Kesempatanku untuk
memandanginya.
“Jangan memandangiku seperti itu!” pinta Nisa. Aku tak peduli tapi dia memalingkan wajah.
“Aku tak bisa lama, Mas. Setelah ini mau ketemu Ibu lagi. Tadi dia belanja banyak,” katanya.
“Katanya kau kangen? Kenapa hanya bias bertemu sebentar? Aku jauh-jauh
pulang dari Semarang agar kau tak kangen lagi. Aku juga kangen kau,
Nisa!”
Dia bangkit berdiri. “Nanti aku ke Malang ke rumah budeku selama seminggu,”
“Jadi kita hanya bisa bertemu sesingkat ini?” aku sangat kecewa hari ini.
“Ya, maaf,” Nisa berjalan keluar warnet. Aku mengikutinya. Tak sanggup kumarah.
“Jalan di depanku saja, Mas,”
Sekali lagi, Nisa tak mau berjalan di sampingku. Aku kesal. Kupercepat langkahku. Kutinggalkan dia hingga jauh di depannya.
Saat kuhentikan langkah di ujung jalan dia bilang, “Sampai di sini
saja, Mas. Aku mau ketemu ibu. Maaf,” saat itu kumatikan ponselku. Aku
yakin Nisa akan meminta maaf lagi. Hingga kukembali ke Semarang, aku tak
mengaktifkan handphoneku. Dengan demikian aku bisa beribadah lebih
khusyu' tanpa harus berbagi ruang hati.
Bagaimanapun kejadian
kemarin membuatku semakin kecewa dan membuatku untuk segera mengambil
keputusan untuk mengakhiri hubunganku dengannya. Terpikir olehku akibat
apa yang terjadi setelah kuberpisah dengannya. Kira-kira Nisa akan
mengikuti langkahku dengan semakin mendekatkan diri pada Allah atau
kemungkinan terbesar dia mencari penggantiku. Karena kutahu Nisa masih
membutuhkan kasih sayang. Kuharap dia memilih yang pertama atau yang
penting dia tak bunuh diri saja.
Setelah tiga hari kubuka ponselku. Belasan sms dari Nisa masuk.
“Maaf...maaf...maaf....maaf,”
“Aku minta maaf, Mas.”
“Mas,”
“Mungkin kau butuh waktu, Mas,”
“Kuharap kau tak menyiksaku seperti ini,”
“Terserah, Mas saja. I miss U,” dan lainnya. Perempuan ini aneh sekali.
Saat bertemu sikapnya acuh saat berpisah suka mengungkapkan rasa rindu
Sms dari Ambar juga masuk,”Mbak Nisa nangis terus ada apa, Mas? Matanya sampai merah dan bengkak, Mas,”
“Ah, kemarin kau tak tahu betapa aku dikecewakan. Jauh-jauh dari
Semarang hanya bisa bertemu sebentar. Padahal kumau perbaiki hubungan.
Tapi sikapmu seperti itu. I don't care,” batinku.
Langsung kutelpon Nisa, “Asslamualaikum, Nisa”
“Waalaikum salam. Apa kabar, Mas?”
“Baik. Kabarmu?”
“Kurang baik. Aku minta maaf atas kejadian kemarin,” suara Nisa berat.
“Ya. Hanya maaf? Kau hanya bisa maaf terus,” nada bicaraku agak tinggi.
“Lalu apa, Mas?” Nisa membela diri.
“Kau sudah dewasa. Pikir sendiri!” emosi membuatku tak bisa berpikir
jernih. Kata-kata keluar begitu saja tanpa kuhiraukan perasaan Nisa.
“Terserah kamu, Mas,”
“Oke. Aku juga minta maaf, Nisa.” Aku diam cukup lama. Lalu kubilang,
“Aku butuh waktu sendiri. Bye,” kata terakhirku persis dalam film From
Bandung With Love. Memang kusengaja menggunakan kata-kata itu. Kumatikan
langsung handphoneku untuk beberapa waktu.
Tiga bulan
setelahnya, kudapat kabar Nisa sudah memiliki kekasih baru. Fian, teman
baikku yang berulang kali menyatakan cinta pada Nisa. Aku hanya
tersenyum mendengar kabar itu. Prediksiku tepat meski aku menyesal
mendengarnya. Kucoba tetap dalam pendirianku
Di hari ulang
tahunnya, kukirimi Nisa sebuah surat atas khilafku, atas kekasaranku,
keegoisanku dan semua kesalahanku. Aku juga menghadiainya sebuah buku
tentang larangan berpacaran. Meski sudah lupa ulang tahunku, aku masih
ingin dia menempuh jalan sepertiku. Harapanku suatu saat nanti aku dan
dia kembali bersatu dalam ikatan resmi.
Harapanku sirna. Dua tahun
lebih Nisa masih berpadu kasih dengan Fian. Barangkali buku itu tak
dibacanya. Biarlah. Yang penting aku sudah berusaha agar dia menjadi
lebih baik. Aku pun sudah nyaman dengan jalanku sendiri.
Semakin
kubisa menjalani hidup hanya dengan Allah tanpa ada seorang pun yang
menggangguku dengan rindu, dengan sayang dengan cinta.
Dalam
relung hati masih terdengar bisikan.” Kisah ini belum berakhir, Nas.
Semua masih berproses. Tetaplah dalam pendirianmu di jalan Allah. Nisa
belum dimiliki siapapun.”
Lima tahun kemudian. Kubertemu Ambar
saat aku menghadiri sebuah seminar. Dia bilang sejak lama Nisa tak lagi
menjalin hubungan dengan siapapun. Kabar gembira itu kurespon dengan
mendatangi rumah Nisa. Dengan kepercayaan diri luar biasa karena aku
sudah mapan secara materi, kulamar saat itu juga. Alhamdulillah
lamaranku langsung diterima. Hanya berselang sebulan, Nisa resmi menjadi
pasangan hidupku. Allahu akbar.
Saat menikmati bulan madu. Nisa mengatakan,”Mas Anas. Buku yang sampean berikan itu menunjukkan jalanku. Aku memilih sendiri setelah baca buku itu,”
Subhanallah. Tak sia-sia yang kulakukan meski hasilnya baru terasa
selama bertahun-tahun. Kini Nisa menjadi milikku selamanya. Dalam
naungan dan perlindungan Allah tanpa takut berdosa.
jika jodoh pasti akan kembali. so, jangan engkau dekati zina ! :D
0 comments:
Post a Comment