Setelah lulus
SMA dan kuliah di universitas sebelas maret selama satu tahun, Hamid juga
menjadi pengajar taman pendidikan Quran (TPQ) di masjid at Taqwa di Solo. Hamid
merasakan nikmatnya merawat anak-anak orang kaya yang masih mau diajarkan
membaca dan menulis al-Quran. Meski gajinya hanya empat ratus ribu rupiah
perbulan Hamid sudah merasa senang sebab sejak dulu Hamid memegang prinsip. “Khoirukum
man ta'allama al Quran wa 'allamahu”. Sebaik-baik manusia di antara kamu
adalah orang yang belajar dan mengajar quran.
Pengalaman
selama satu tahun itu membuatnya mengenal dekat anak-anak kecil itu beserta
orang tuanya. Seringkali orang tua mereka mengajaknya makan di rumah mereka.
Bahkan pernah ditawari menikah dengan salah satu pejabat pemerintah kota Solo.
Tapi Hamid menolaknya karena orang tuanya melarang menikah selama Hamid masih
menjadi mahasiswa. Kalau saja tawaran itu diberikan saat Hamid sudah lulus,
Hamid pasti menerimanya.
Seperti biasa
sore ini Hamid mengajar di TPQ. Biasanya jam lima sore Hamid sudah pulang. Tapi
kali ini Hamid terpaksa tak bisa pulang karena hujan deras hingga waktu maghrib
tiba.
Karena hujan
yang semakin deras, Hamid masuk ke dalam kamar penjaga kebersihan masjid. Hamid
berbincang-bincang dengan Pak Wardi, penjaga kebersihan masjid. Di saat asyik
ngobrol, salah seorang jamaah masjid ikut bergabung dengan kami.
Kami bertiga
berbincang-bincang kesana kemari. Ternyata bapak yang mengenalkan dirinya
dengan nama Juanda itu adalah salah satu orang tua santri TPQ. Dia sebelumnya
tak pernah kesini karena kesibukannya sebagai pejabat kota Solo.
Pak Juanda
memberinya informasi tentang beasiswa yang diberikan khusus kepada pengajar
TPQ. Jumlahnya lumayan. Dua juta rupiah per semester. Awalnya Hamid ragu akan
informasi itu. Tidak mungkin pertemuan secara kebetulan itu akhirnya berbuntut
dengan informasi yang mengejutkan.
Jangan-jangan pak Juanda ini koruptor yang sedang
menggarap proyek atas nama beasiswa. Mana mungkin ada beasiswa untuk pengajar
TPQ. Bukannya selama ini pengajar Quran selalu disepelekan. Tak ada yang
memperhatikannya apalagi pemerintah.
Namun nalar
Hamid berkata lain. Sebagai mahasiswa yang terkenal dengan organisasinya, Hamid
butuh uang itu. Akhirnya dengan serta-merta sekaligus kecurigaan, informasi itu
dianggapnya sebagai informasi yang menggiurkan.
“Segera
diurus semua persyaratannya. Paling lambat minggu depan. Ini kartu namaku,” kata-kata pak Juanda
ini membuatnya semakin tergiur meski Hamid masih berhati-hati.
Informasi
tadi diberitahukan kepada teman-teman kampusnya yang kebetulan juga ustazd dan
ustazdah TPQ yang menyebar di kota Solo. Karena mereka sulit bertemu langsung
karena kesibukan masing-masing, Hamid berikan informasi itu lewat sms. Semua
mahasiswa yang Hamid kenal disms olehnya. Sebagai antisipasi barangkali Hamid
tak tahu kalau diantara mereka adalah pengajar TPQ.
“Assalamualaikum.
Bagi ustazd-ustazdah TPQ se-kota Solo. Ada informasi beasiswa sebesar dua juta
rupiah dari pemerintah kota Solo. Bagi yang bersangkutan harap konfirmasi.
Syarat dan ketentuan berlaku.” Smsnya dikirimkan ke teman-temannya.
Dengan
memberikan informasi itu ke banyak orang, nanti bisa jadi saksi yang kuat untuk
melaporkan pak Juanda jika dia memang koruptor.
Beberapa
menit kemudian, Hamid dapat jawaban sms. Ada yang tidak percaya, ada yang tanya
persyaratannya dan lain sebagainya. Semua sms itu Hamid balas sama “Lebih baik
ke kosku saja, nanti kujelaskan. Kutunggu!!”
Benar.
Beberapa teman pergi ke kosnya. Dalam waktu yang hampir bersamaan.
“Kau dapat
informasi dari mana Mid?” tanya Farhan padanya.
“Nanti saja
kujelaskan. Kita tunggu semua teman-teman datang. Ini minum dulu. Maaf cuma
bisa kasih minum.”
jawabnya.
Sekitar lima
belas menit, dua puluh temannya datang. Yang akhwat juga ada. Beberapa memang
sudah kuketahui sebagai ustadzah, tapi ada juga yang tidak.
Kalau masalah uang, mudah sekali mengumpulkan orang.
“Assalamualaikum.
Jadi begini teman-teman. Salah satu walisantri di TPQ-ku adalah pejabat kota
Solo. Kata beliau, ada tunjangan untuk pengajar TPQ. Tiap orang dua juta.”
“Terus cara
dapatnya gimana?” Faizal menyela pembicaraannya.
“Sebentar
Mas, biar Hamid menjelaskan dulu sampai selesai. Kalau tanya nanti saja.” Mutia menimpali.
Sepertinya
mereka tak sabar lagi.
“Ya sudah.
Intinya tiap pengajar bisa mendapatkan uang sebesar dua juta. Syaratnya
mendapat rekomendasi dari lembaga TPQ tempat kita mengajar, membuat proposal
beserta CV lengkap dengan nomor rekening dan fotokopi ktp. Sudah itu saja
syaratnya.”
“CV itu apa
Mid?”
tanya Amin.
Mendengar
pertanyaan itu otomatis teman-teman yang lain tertawa merendahkan.
“Walah, Min. Mahasiswa kok nggak tahu CV.
Gimana sih?” kata Asri sambil tertawa kecil. Amin tersenyum malu.
“CV itu curriculum vitae alias identitas diri.” Andi menjawabnya.
“Ada
pertanyaan lagi? Semua data-data dikasihkan aku. Paling lambat minggu depan.”
Setelah semua
clear, teman-teman Hamid bubar. Hanya Arif, Khoirul dan Alfian yang
masih di kosnya. Ketiga orang itu memiliki pikiran yang sama dengannya. Mereka
curiga dengan proyek yang diberikan pak Juanda pada Hamid.
Selama ini
mereka dikenal sebagai aktifis yang kritis sehingga wajar jika mereka lebih
curiga pada pak Juanda dari pada Hamid. Hamid baru tahu kalau ketiga anak itu
juga mengajar di TPQ. Kami lama membincangkannya dengan penuh kecurigaan.
Intinya kami bertekad akan mengkasuskannya jika ada dugaan korupsi yang
dilakukan pak juanda.
***
Sebelum
seminggu semua berkas dari para ustazd diterima Hamid. Jumlahnya dua puluh
lima. Lebih banyak dari jumlah teman-teman Hamid yang kemaren ikut ke kosnya.
Tanpa diklarifikasinya
dan dilihatnya berkas-berkasnya semua diserahkannya kepada pak Juanda. Saat
memberikan informasinya Hamid masih menaruh curiga pada pak Juanda.
“Insya Allah
paling lambat dua minggu semua uang akan cair ke rekening masing-masing,” kata pak Juanda.
“Iya pak.
Terima kasih sebelumnya. Saya pamit ngajar dulu.”
“Iya Mid, Ini
sudah lengkap kan?” tanya pak Juanda.
“Sepertinya
sudah lengkap. Assalamualaikum pak,”
“Waalaikumsalam.”
Hamid
berangkat ke musholla tempat dirinya mengajar TPQ seraya berpikir, kira-kira
apa yang akan dilakukan dengan uang sebanyak itu. Yang pasti, bayar hutang
harus kunomersatukan setelah itu sedekah
dan selebihnya untuk kebutuhan lain saja.
Lima hari
setelahnya, Hamid dapat telpon pak Juanda.
“Assalamualaikum
Mid. Uangnya sudah cair,”
“Waalaikumsalam.
Injih, Pak. Alhamdulillah.”
Kebahagiaan
tak terperikan itu diekspresikannya dengan sujud syukur. Terima kasihku pada-Mu
ya Allah. Semua teman-teman yang kemarin ikut mengumpulkan berkas diberitahu
semuanya.
Sepulang
kuliah, Hamid langsung mengambilnya di ATM. Dia ambil semua uang. Sore hari
setelah ngajar TPQ, Hamid pergi ke toko buku besar di Slamet Riyadi.
Hamid beli enam buku yang sudah lama ingin dibelinya. Hilang sudah kecurigaannya
pada pak Juanda karena uang.
Saat itu juga
Hamid ingin nonton film di bioskop. Hamid pun langsung ke gedung bioskop yang
lokasinya tak jauh dari toko buku. Dan tanpa disengaja Hamid bertemu Arif,
Khoirul dan Alfian. Aku senang sekali bisa nonton film bersama..
“Nanti
setelah nonton ikut kami Mid. Nggak ada acara kan?”
“Ya. Nggak
ada. Mau kemana?” tanya Hamid.
“Nanti kamu
tahu sendiri kok. Dijamin senang lah. Kita refreshing. Andika dan Amin sudah
pergi duluan kesana. Mereka mempersiapkan acara kita.” kata Alfian.
“Andika dan
Amin?” tanyanya.
“Iya. Mereka
kan juga ikut mengajukan beasiswa Mid.”
Benar.
Setelah nonton bioskop, Kami menuju tempat yang telah dipersiapkan Andika dan
Amin. Lokasinya cukup jauh dari Slamet Riyadi.
Kelelahannya
hari ini menidurkannya dalam bis hingga Hamid tak tahu kemana diajak pergi.
“Mid. Bangun.
Kita sudah mau sampai.”
mendengar
suara orang membangunkannya. Hamid terbangun dengan pandangan kabur. dibenarkan
letak kaca matanya. Masih gelap. diambil minum dari tasnya. Akhirnya Hamid
sadar.
Bis berhenti
di depan sebuah gedung bertuliskan “Fresh Karaoke”.
“Ayo turun
Mid. Ayo kita nyanyi-nyanyi di sini. Santai saja. Yang bayarin kita kok. Anggap
saja sebagai ucapan terima kasih kita padamu,” ajak Arif.
“Iya. Terima
kasih.”
Hamid tak bisa mengelak ajakan itu. Terpaksa Hamid harus ikut masuk ke dalam.
“Aku tahu kok
kamu hobi nyanyi. Makanya kami ngajak kamu kesini.” Alfian menambahi.
dilihat kasir
penjaga karaoke cantik dan seksi. Usianya dua puluh lima tahunan.
“Selamat
datang bapak-bapak. Mau pesan kamar mana?” Kami dipanggil bapak-bapak olehnya.
Ya biarlah. Memang tampang kami kelihatan tua.
“Kami sudah
pesan kok mbak. Tempatnya Andika dan Amin.”
“Oh. Iya. Ada
di lantai dua. Kamar B3,”
kata gadis itu. Sepertinya dia sudah kenal dengan Andika dan Amin.
Hamid
tertarik kecantikan penjaga kasir itu. Namun kasihan sekali dia
dieksploitasi dengan kerja malam hari.
Kami masuk
kamar B3. Astaghfirullah. dilihatnya diantara Andika dan Amin ada wanita duduk
dipeluk mereka berdua. Di mejanya ada minuman keras. Tangan Andika juga
menggenggam satu botol.
Betapa biadabnya orang-orang ini. Uang beasiswa
dipakainya untuk melakukan perbuatan yang sangat menjijikkan.
Tak lama,
keluar wanita lagi dari kamar mandi. Perempuan itu langsung mendekati kami.
Hamid ingin marah tapi tak bisa. Entah apa yang ada di otak mereka. Hamid
berharap bahwa yang dilihat ini hanya mimpi. Dua dari mereka langsung menyergap
perempuan seks komersial itu.
Hamid berdiri
diam.
“Santai saja
Mid. Kita juga butuh bersenang-senang. Tak baik kan kalau kita hidup dengan buku-buku,
diskusi, kerjakan tugas kuliah. Ada saatnya untuk senang-senang.” Kata mereka lalu
tertawa.
“Iya, Mas. Pasti puas kok.” pelacur itu ikut bicara.
hamid masih membisu. Ingin marah tapi tak bisa. Hamid syok melihat
teman-temannya yang sering bersama mendiskusikan agama, moral bangsa dan
lainnya.
Lalu datang
pelacur lagi dari luar.
“Wah
ketinggalan nih aku,”
kata pelacur itu. Mereka berpakaian minim sekali. Lama-lama disana dirinya bisa
tergoda.
“Maaf
teman-teman. Aku tak bisa. Aku pulang dulu. Kalian nikmati sendiri saja. Terima
kasih tawarannya.” Hamid keluar kamar setengah lari. Melihat kelakuan para
bajingan itu aku benar-benar syok.
Hamid tak
tahu harus kemana. Hamid terus saja berjalan sambil memikirkan apa yang baru
saja dilihatnya. Mulutnya tak berhenti mendoakan mereka agar mendapat petunjuk
dari Allah. Kenapa mereka membohongi diri mereka sendiri. Mereka paling hebat
berbicara tentang moralitas sosial. Tapi tak melihat perilaku diri sendiri. Apa
benar mereka pengajar di TPQ? Hamid baru teringat saat Hamid kirim sms tanpa
berpikir panjang. Bahkan semua teman nya sms.
Di jalan
Hamid menjumpai masjid. Diputuskan untuk sejenak sujud disana. Sujud memohon
ampunan atas khilafnya yang menimbulkan bencana besar atas teman-temannya.
Mereka menyalahgunakan uang beasiswa tersebut. Uang yang didapat dari bantuan
negara. Maafkan aku Tuhan. Hamid bersujud hingga tertidur.
***
Empat hari
setelah kejadian malam itu, Hamid disuruh ke rumah pak Juanda. Entah ada apa
gerangan, sepertinya penting.
Sesampai di
rumah pak Juanda, Hamid dimarahinya.
“Kau ini
bagaimana Mid? Mau belajar jadi koruptor? Penampilanmu saja kayak ustadz, tapi
kelakuanku bejat. Munafik. Tak pantas kau jadi ustazd!” kulihat kemarahan pak
Juanda tak main-main. Awalnya Hamid hanya diam. Tak tahu apa maksudnya.
“Maksudnya
apa Pak? Saya tak terima kalau dibilang munafik Pak. Ngomong baik-baik Pak.”
katanya.
Pak Juanda
masih geram. Tapi dia mencoba menenangkan diri. Diambilnya rokok dari sakunya.
Mungkin itulah caranya untuk menenangkan diri.
“Maafkan aku, Mid. Ini kami di kantor
mendapatkan ada lima dokumen palsu. Dokumen dari nama-nama ini. Surat
rekomendasi dari TPQ palsu semua. Bahkan TPQ nya fiktif” pak Juanda agak
tenang.
“Boleh
kulihat pak?”
Diamatinya
satu persatu berkas-berkas palsu itu. Subhanallah. Arif, Khoirul dan Alfian,
Andika dan Amin. Ternyata benar dugaannya. Bajingan-bajingan itu bukan ustazd.
Hamid ikut marah sebab merasa dibohongi oleh penjahat-penjahat kelamin itu.
Hamid mencoba
memberanikan diri. Diutarakan semuanya pada pak Juanda. Siapa saja mereka. Dan
bagaimana kronologinya hingga mereka bisa ikut mengajukan beasiswa. Tapi Hamid
tak bercerita peristiwa malam itu. Biar Hamid saja yang tahu kelakuan bejat
mereka.
“Maafkan aku, pak. Gara-gara aku terlalu senang
dan butuh uang hingga kuterburu-buru menginformasikan pada orang yang salah”
katanya. Air matanya tak terbendung.
“Astaghfirullah.
Kalau begitu bukan salahmu Mid. Mereka yang perlu dikasih pelajaran. Biar
mereka tahu kalau anggaran negara tak bisa digunakan seenaknya.”
Pak Juanda
mengeluarkan hp.
“Halo pak
Selamat sore. Ternyata benar. Lima dokumen itu palsu. Besok kita gerebek saja
mereka,”
“Nelpon siapa
Pak?” tanyanya.
“Temanku di
polrestabes Semarang.”
Langkah yang
bagus. Hamid juga tak rela jika uang yang diperoleh dengan cara yang haram
dipakai untuk untuk perbuatan haram apalagi sampai mau menjerumuskannya juga.
Hari
berikutnya pak Juanda menelponnya. Ia memintanya untuk menunjukkan para polisi
di mana kos koruptor-koruptor masa depan itu. Awalnya Hamid sempat ragu. Mana mungkin
Hamid rela membiarkan teman-temannya ditangkap polisi. Benar-benar dilematis.
Sempat
dirinya berpikir lama sebelum memutuskan untuk membantu pak Juanda. Saat
dirinya mengingat-ingat kebersamaannya dengan mereka dalam sebuah forum
diskusi, dalam seminar, saat bermain bersama, dirinya tak tega membantu pak
Juanda. Baru setelah memori-memori otaknya memutar rekaman kejadian malam itu,
Hamid akhirnya mengiyakan permintaan pak Juandaa.
Hamid langsung
beranjak ke rumah pak Juanda lalu mengantarkan polisi ke tempat kos kelima
temannya. Agak sulit mencarinya sebab mereka tidak tinggal satu kos. Dengan
informasi yang Hamid dapatkan dari teman-teman kosnya, akhirnya polisi berhasil
menciduk mereka saat masih tertidur dalam kos.
Mereka
akhirnya divonis penjara selama setahun setengah atas tindakannya memalsukan
data. Otomatis hukuman neraka juga menunggu pezina dan pemabuk yang berkedok
menjadi aktifis yang kritis dan idealis. Itu jika mereka tak juga bertobat
hingga ajal. Semoga kalian diberi petunjuk Allah. Bertobatlah
sahabat-sahabatku. Jangan sampai kalian menjadi koruptor masa depan. Mengungkap
koruptor junior mulai dari sekarang. Hamid merasa senang telah menyelamatkan
dan menangkap para koruptor masa depan.
0 comments:
Post a Comment