Dua hari lagi
usia Mulyadi
genap dua puluh satu. Usia muda, masih cerah dengan harapan-harapan yang
menyeruak dalam pikiran. Dia mengharapkan sesuatu yang spesial hadir di ulang
tahunnya.
Mulyadi
melamun di belakang rumahnya sambil mendengar lantunan surat Ali Imran dari
ponselnya. Begitu indah susunan ayat-ayatnya, begitu menakjubkan hati
makna-maknanya. Dalam lamunannya, dia masih berusaha melakukan aktifitas dengan
memberikan makan ternak ayam dan burung dara. Tangannya menggenggam jagung yang
telah digiling khusus untuk makan ternak. Ya, tiap hari kerjaannya hanya
sebagai peternak ayam dan kambing.
“Mul. Memangnya kau sudah
makan? Pagi-pagi seperti ini sudah kasih makan ayam dan kambing?” sapa Yanto mengganggu lamunannya.
“Memangnya
masakan istrimu sudah matang?”
“Ya belum lah, Mul. Ayo kita ke warung kopi
saja. Sarapan disana!”
“Duluan saja.
Aku mau kasih makan ayam-ayamku dan kambing-kambingku dulu.”
Mulyadi
kembali diam. Dalam lanjutan kenangan masa lalu, dia teringat pesan ibunya.
Saat ibunya dalam kondisi kritis, Mulyadi
diberi pesan khusus agar bisa kuliah di Kairo. Saat itu dia masih kelas enam
SD. Sejujurnya saat itu dia ingin melanjutkan sekolah di SMP negeri. Namun tak
mungkin dia menolak keinginan ibunya yang sedang kritis. Tak mungkin dia
menjadi anak durhaka di depan ibunya yang telah menghadapi ajal. Dengan
terpaksa, dia mengiyakan keinginan ibunya meski akhirnya kini dia hanya bisa
menjadi peternak ayam dan kambing.
Ibu.... Maafkan
aku tak bisa memenuhi keinginanmu. Terlalu berat bagiku menjadi orang seperti
Buya Hamka atau Quraisy Shihab. Aku hanya mampu jadi peternak ayam dan kambing bu.
Selama ini
dia berhasil merahasiakan tanggal lahirnya hingga tak ada satupun
teman-temannya yang tahu kapan dia lahir. Wajar jika tak ada satupun ucapan
selamat ulang tahunnya. Hanya Nuha
yang pernah mengucapkan selamat. Dia adalah kekasih Nuha saat masih nyantri di Solo. Itupun hanya sekali.
Setelah putus hubungan, Nuha
tak pernah lagi mengucapkan selamat. Menghubunginya pun jarang. Tapi itu sudah
cukup membuatnya senang.
“Makan dulu cung!”
Suara berat bapak membuyarkan lamunannya.
“Inggih pak.
Bapak makan dulu saja!”
“Bapak ingin
makan bareng kamu cung!” Mulyadi
menghentikan aktifitasnya dan makan bersama bapak.
Mulyadi
makan sambil memandangi wajah bapak yang renta. Dia merasa sudah tak lama lagi
bisa hidup bersama bapak. Semakin sedih dia saat makan.
Untuk menghilangkan
kesedihannya, Mulyadi
menyalakan radio di hapenya dan mengeraskan suaranya. Tiap pagi, Mulyadi dan bapak mendengar
Radio Perusada yang menyiarkan pengajian kitab-kitab islam. Petuah-petuah dalam
kitab-kitab menjadi salah satu siraman rohani pagi hari
kedua bapak-anak itu.
“Bapak ingin Mul nanti juga jadi da’i!”
pinta bapak.
“Mulyadi kan sudah jadi da’i Pak,”
Mulyadi
membela.
“Maksudku, Mul bisa jadi da’i yang
siaran di radio. Seperti pak Slamet.”
“Oh. Insya
Allah pak. Sekarang, cukup jadi da’i keliling untuk acara nikahan dan hari
besar Islam dulu saja pak. Mul
sudah cukup kok Pak. Ilmu Mul
juga sepertinya tak membandingi pak Slamet.
“
“Mul kan masih muda. Jangan
berhenti belajar!” bapak menambahi.
“Inggih pak”
Kelihaian Mulyadi dalam beretorika mampu
diasahnya dengan baik saat masih di pesantren selama enam tahun. Itu yang
menjadikannya sebagai alatnya untuk menebarkan ilmunya saat di rumah.
Para santri
dan alumni pasti tahu siapa Mulyadi.
Dengan ketenarannya saat di pesantren, teman-teman se-almamater selalu
mengundangnya sebagai dai dalam peringatan-peringatan hari besar Islam, acara
pernikahan dan khitanan.
Setelah
makan, Mulyadi
kembali ke belakang melanjutkan memberi makan hewan ternaknya. Dia sangat
senang beternak. Hanya ayam-ayam itu yang tahu kegundahan hatinya.
“Yam. Di
ulang tahunku yang ke dua puluh, aku hanya ingin banyak orang yang
mengucapkannya padaku. Aku ingin diberi ucapan selamat oleh kenalanku. Ucapan
selamat itu akan menjadi kado specialku. Selama ini tak ada orang yang
mengucapkan selamat,” kata Mulyadi
seolah mengajak ayam itu berdiksusi.
Ayam hanya
bisa berkokok dan petok-petok. kambing juga hanya mampu mengembik seakan
berkomentar atas curhatan majikannya.
“Tapi aku
masih ingin ke Kairo untuk melaksanakan wasiat ibu,” hati kecilnya masih
memiliki angan untuk bisa ke Kairo. Kemampuannya cukup tapi dananya yang tidak
cukup. Lagi-lagi masalah dana menghambat keinginan seseorang untuk melanjutkan
studi.
“Sholatun bisalamin mubin...” ada telpon masuk.
“Assalamualaikum
Ustazd Mul,”
“Waalaikumsalam
pak,”
“Lagi sibuk
apa ustazd?”
“Kasih makan
ayam. Pak Andi
apa kabar?”
“Alhamdulillah
baik.”
“Saya cuma
mau mengingatkan. Jangan lupa nanti acara walimah di desa adikku di Jatinom. Mampir ke rumah saya ya
Ustazd!”
“Insya Allah,”
“Saya tunggu.
Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Mulyadi
menghentikan aktifitasnya, lalu itirahat sembari membaca bahan
untuk persiapan ceramah nanti malam.
Lantaran di
daerahnya musim walimah, hari ini dia mendapat dua job. Dia cukup
mempersiapkan satu pidato untuk dua tempat yang berbeda. Letak satu tempat dan
tempat yang lain jauh.
Setelah
Ashar, Mulyadi
mengajak Yanto pergi
ke Ceper.
Ceramah pertamanya ada di sebuah desa terpencil di sana.
“Yan. Nanti kamu ikut masuk, ya.
Jangan di luar saja. Bisa makan enak nanti.”
“Santai saja Mul. Tanpa disuruh pun, aku
akan ikut masuk kok. Katanya malam ini kamu ceramah dua kali? Setelah dari Ceper kemana Mul?” tanya Yanto.
“Ke desa Jatinom Yan. Oh iya Yan. Kita mampir ke warnet
dulu ya. Aku mau buka facebook sebentar.”
Kedua remaja
itu berangkat ke Ceper.
Sesuai arahan Mulyadi,
Yanto
berhenti di warnet di pertigaan Pakis.
Mulyadi
masuk warnet sementara Yanto
ngopi di warung dekat warnet. Mulyadi
memperbaiki data profil facebooknya. Tanggal lahirnya ditampakkan sesuai
tanggal lahir aslinya. Seperti yang diinginkannya tadi pagi, dia berharap dapat
ucapan selamat ulang tahun dari teman-temannya.
Mulyadi
juga up date statusnya. BARANG SIAPA MEMPERSULIT URUSAN TEMANNYA SAMA
HALNYA MEMPERMUDAH URUSAN MUSUHNYA.
Hanya lima
belas menit dia di warnet. Lalu keluar menyusul Yanto di warung, ngopi.
“Aku sejak pagi
ke sawah belum istirahat Mul.
Mataku ngantuk. Kalau nggak ngopi bisa pusing kepalaku.” tutur Yanto.
“Aku sejak
pagi juga belum istirahat kok. Tapi nggak ngantuk. Biasa saja kok Yan.” kata Mulyadi.
“Yo beda to
kang!”
Sesudah
menikmati seduhan kopi hitam asli luar jawa
mereka melanjutkan perjalanan menuju Ceper.
Melewati persawahan luas. Hamparan padi yang ranum, menghijau menyegarkan mata.
Sayangnya, pemandangan itu tak dapat dinikmati lantaran jalanan banyak yang
berlubang.
Di jalan, Mulyadi mempersiapkan diri untuk
ceramah nanti. Dibukanya kertas catatannya. Lalu berbicara sendiri seolah
berada di depan khalayak ramai.
“Hadirin
rahimakumullah. Hari ini Islam harus bisa menjadi solusi atas kemiskinan yang
terjadi di Indonesia khususnya di daerah kita ini. Kemiskinan finansial maupun
kemiskinan moral.” Meski di atas sepeda motor, Mulyadi semangat sekali berlatih. Yanto diam berkonsentrasi
mencari jalan yang tak berlubang.
Jalur Pakis-Ceper memang sempit, namun
banyak kendaraan berlalu lalang melewatinya sehingga aspal pun mudah rusak.
Hampir tiap tahun jalan itu diperbaiki. Seolah menjadi agenda tahunan.
“Nggak bisa
dipercepat Yan!”
“Jalannya
nggak enak Mul!
Banyak Lubang,”
“Ya gimana
caranya lah Yan!
Yang penting tidak terlambat!”
Yanto
mempercepat laju motornya dengan berzig-zag mencari jalan yang mulus tak
berlubang. Dia sudah lihai menyelip kendaraan demi kendaraan yang ada di
depannya. Sementara Mulyadi masih berlatih seraya memegangi kertas catatannya.
Dia tak memperhatikan laju motor yang dikendarai Yanto.
Dan tanpa
terkira, sebuah sedan yang akan diselip Yanto
ngerim mendadak menghindari lubang. Yanto
pun ikut mengerem motornya, namun terlambat, karena saking cepatnya motornya
menabrak bagian belakang sedan. Kedua pemuda itu terpental. Yanto lompat ke kiri. Sedang Mulyadi yang masih memegangi
catatan kecilnya terpental ke kanan. Naasnya di belakang motor, sebuah tronton
melaju dengan cepat. Sopir tronton sempat menghindari tubuh Mulyadi dengan membanting setir
ke arah kanan. Namun,
“Brak....”
keputusan sopir tronton salah. Tubuh Purwanto terlindas ban tronton tepat di
bagian perutnya.
Saat itu Yanto masih tersadar melihat Mulyadi. Tapi dia tak bisa
apa-apa. Hanya bisa berteriak dan membiarkan air matanya keluar.
“Mulyadi!!!!”
“Mulyadi saudaraku!!!”
Tronton
berhenti. Sedan yang ditabrak, melaju kencang meninggalkan tanggung jawab.
Pengendaranya ketakutan. Kejadian itu berada di daerah yang jauh dari
perkampungan. Perut Mulyadi mengalirkan darah membasahi bajunya dan memerahkan
aspalnya. Wajahnya masih cerah, memancarkan rona kepuasan sebab bisa memejamkan
matanya. Tangannya sudah tak memegangi catatan kecilnya. Entah terbang
kemana.
Sopir tronton
dan beberapa kendaraan yang kebetulan melintas di sana berhenti.
“Tolong
temanku Pak!! Tolong!!” Yanto
berteriak dan menangis. Beberapa orang mengangkatnya memasukkan ke dalam mobil
untuk dibawa ke rumah sakit.
Tiada yang
tahu apakah Mulyadi
masih hidup atau telah tiada. Orang-orang yang menolong Mulyadi masih optimis bisa
menyelamatkan nyawa Mulyadi.
Tapi Yanto
berkata lain. Dia seolah tahu kalau Mulyadi
telah meninggal. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Yanto sudah mengucapkan
istirja' dalam hati. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Dia merasa bersalah.
Semua tentang Mulyadi
menyeruak dalam pikirannya. Untuk meyakinkan hatinya, dia berusaha memberanikan
diri memegang pergelangan tangan Mulyadi.
“Innalillahi
wa inna ilaihi roji'un,”
“Inna lillahi
wa inna ilaihi roji'un,”
“Inna lillahi
wa inna ilaihi roji'un,”
Akhirnya Yanto yakin kalau Mulyadi telah tiada. Urat nadi
yang dipeganginya tak berdenyut lagi. Nafas segarnya tak terasa lagi. Tiada
udara yang keluar masuk hidungnya. Mulyadi
meninggal dunia.
Dua
hari setelahnya. Tepat di ulang tahunnya. Ratusan ucapan ulang tahun dan doa
disampaikan oleh teman-temannya melalui facebook dan sms. Masih banyak yang
belum tahu kematian Purwanto. Sehingga belasan gurauan masih terlihat di
dinding facebook Mulyadi
sebagai ucapan ulang tahun.
“Selamat
ulang tahun kawan. Semoga semakin sukses.”
“Ternyata kau
masih bisa ulang tahun, Mul.
Jangan lupa traktiran dan semakin sukses.”
“Semoga kau
tenang di sana, Mul.
Selamat Ulang tahun. Hiks....hiks...”
“Ribuan
kenangan bersamamu takkan terlupa, Mul.
Semoga amal ibadah dan kebaikanmu diterima Allah dan dosamu diampuni-Nya.
Selamat Ulang tahun,”
“Mul. Selamat ulang tahun Ya.
Biasanya kau paling pintar merangkai kata-kata untuk teman yang ulang tahun.
Kutunggu traktirannya.”
“Happy
Birthday,”
“Sanah helwah.”
Hadiah ulang
tahun yang diharapkannya terkabul pada hari itu. Hadiah yang sangat sederhana
bagi seorang Mulyadi.
Ucapan selamat ulang tahun. Namun sayang dia sudah berada di dunia yang
berbeda. Kini bapak hidup sebatang kara di rumah. Karena usianya sudah tua dan
pikirannya terganggu oleh kepergian Mulyadi.
Bapak pun jatuh sakit. Dua minggu kemudian bapak menyusul Mulyadi. Inna lillahi wa inna
ilaihi roji'un. Faidza ja'a ajaluhum la yasta'khiruna sa'atan wala yastaqdimun.
Jika ajal telah tiba, waktu tiada bisa ditunda dan didahulukan.
*cerita
fakta cuma berbeda nama saja dan latar (^_^)
0 comments:
Post a Comment