Jam setengah
tiga malam, Sa’id menginjakkaan kaki di desanya. Suara binatang-binatang malam
menyambut kedatangannya bersama suara dari masjid dan musholla desa yang sudah
memutar rekaman lantunan ayat Quran Syekh Sudais untuk membangunkan warga
kampung yang masih tertidur pulas.
Sa’id
meletakkan tas besar dan kardusnya sembari menghirup nafas panjang. Matanya
terpejam, merasakan udara pagi yang menyegarkan pikiran. Dia menggerak-gerakkan
badannya. Melemaskan otot-ototnya yang kaku setelah berjam-jam berada dalam
bus.
Meski baru
dua bulan, aku sudah merindukan desa ini. Sudah lama tak menghirup udara
sesegar ini.
Dia menenteng
tas, berjalan ke rumahnya.
“Tok..tok...tok...
Assalamu alaikum, Ummi. Sa’id pulang,” tak ada yang menjawab. Diulanginya lagi. “Sa’id pulang, Ummi,”
Assalamu alaikum, Ummi. Sa’id pulang,” tak ada yang menjawab. Diulanginya lagi. “Sa’id pulang, Ummi,”
Terdengar
suara sandal terseok mendekati pintu rumah. Klek. Pintu terbuka. Sa’id meraih
tangan Ummi dan diciumnya.
Ummi
tersenyum sambil memegangi bahu Sa’id yang lebih tinggi darinya. “Kok tambah
kurus, Nak?”
“Inggih, Mi. Abi
kemana?” baru saja Sa’id bertanya, Abi sudah muncul. Disambutnya tangan Abinya
lalu dicium tangannya. Mengembang senyum di bibir Abi.
“Berangkat
jam berapa dari Yogya?” tanya Abinya
“Jam sembilan,
Bi.”
“Bagaimana
kuliahmu?”
“Alhamdulillah
semester depan wisuda, Bi.”
Sa’id menaruh
barang-barangnya ke dalam kamar. Abi dan Umminya kembali tidur ke dalam kamar.
“Istirahat
dulu, Nak!” perintah Abi. Sa’id mengabaikannya. Dia kembali ke ruang tamu,
meng-charge ponsel. Beberapa saat kemudian dia menelpon Mutia, sahabat
karibnya.
“Assalamu
alaikum. Hallo, Mut. Aku sudah di rumah.” Cerocos Sa’id tak peduli Mutia sudah
bangun atau belum.
“Uhm....”
dari seberang suara Mutia masih serak. Dia mengambil kaca mata di meja belajar.
Matanya nampak indah meski masih merah. Terpampang nama Sa’id di layar ponsel.
Seketika rasa kantuknya hilang.
“Sudah sampai
rumah?” Mutia semangat.
“Sudah,” hati
Mutia bergetar tak karuan. Sebentar lagi dia bisa bertemu sahabatnya. Mereka
berbicara kesana kemari layaknya sahabat yang telah lama tak berjumpa.
“Besok kita
ke Ngawen yuk. Ke rumah Safa.” ajak Mutia.
“Baru saja
pulang, Mut. Kau sudah ajak aku ke Ngawen.”
“Aku kangen Safa.”
“Kangen Safa??
Kangen Safa atau aku?” goda Sa’id
“Hehehe.”
Mutia hanya tertawa. Mereka ngobrol lewat telpon hingga birunya langit subuh
menjadi cerah.
***
Sa’id dan
Mutia berjanji bertemu di salah satu ATM di pasar Sambong. Hari ini mereka akan
pergi ke rumah Safa. Abi dan Ummi memaklumi kepergian Sa’id meski baru beberapa
jam berada di rumah. Sa’id sudah dewasa. “Remaja yang semakin dewasa tak akan
betah berlama-lama di rumah.” begitu kata Abi beberapa waktu lalu.
Sa’id datang
lebih dahulu. Dia menunggu di dalam ATM sambil menikmati dinginnya AC ATM.
Aktifitas pasar Sambong
sudah rame. Mutia datang naik becak dengan mata berbinar-binar menatap Sa’id
yang telah menyambutnya dengan senyuman.
“Kok lama?”
tanya Sa’id.
“Nanti saja
kuceritakan di dalam bus.” Meski tanpa janji kedua remaja itu nampak serasi
dengan pakainnya yang dikenakan. Sa’id dengan baju biru tua dan Mutia memakai
baju dan jilbab biru muda. Selisih tinggi badan juga tak terlalu mencolok.
Sayang mereka hanya sahabat. Tak ada yang berani mengungkapkan perasaan
sebenarnya. Hanya mampu menyimpan perasaan itu dalam-dalam.
Mereka
memasuki bus. Duduk berdua berdampingan mesra bak sepasang kekasih.
“Gimana tadi
kok terlambat?” Sa’id membuka pembicaraan.
“Tadi aku
diantar Abi kesini. Katanya beliau mau nungguin aku sampai dapat bus. Aku kan
nggak mau kalau nanti ketahuan keluar sama kamu.”
“Lalu?” tanya
Sa’id.
“Aku
pura-pura minta diantarkan ke rumah Hayati.” Mutia mengambil dua cocolatos dari
tasnya. Untuk dinikmati berdua.
“Terus Abi
kemana?”
“Pulang lagi
ke Kedungtuban,”
Bus melaju
kencang menuju ke arah Purwodadi. Di dalam bus mereka becanda. Sambil makan
cocolatos. Sa’id mengambil ponsel.
“Coba dengar
lagu ini,” Sa’id menyodorkan heandset ke telinga Mutia yang tertutupi oleh
jilbab biru mudanya.
Bilakah dia tahu apa yang telah terjadi
Semenjak hari itu hati ini miliknya
Mungkinkah dia jatuh hati
Seperti apa yang kurasa
Mungkinkah dia jatuh cinta
Seperti apa yang kudamba
Bilakah dia mengerti apa yang telah terjadi
Hasratku tak tertahan tuk dapatkan dirinya
Mungkinkah dia jatuh hati
Seperti apa yang kurasa
Mungkinkah dia jatuh cinta
Seperti apa yang kudamba
Tuhan yakinkan dia tuk jatuh cinta
Hanya untukku
Andai dia tahu
Hati Mutia
berbunga-bunga mendengar lagu itu. Sa’id lah satu-satunya lelaki dapat duduk
berdekatan dengannya. Wanita hanya diam dan menunggu. Tak mau dia memulai meski
terkadang perasaan wanita lebih besar dari pada kesedihan seorang pria saat
ditolak cintanya.
Sa’id ingin
mengungkapkan perasaannya pada Mutia dengan lagu itu. Tapi Mutia tak mau ke
Ge-eran dulu, dianggapnya lagu itu hanya lagu untuk teman perjalanan.
Setengah jam
mereka sampai di pertigaan Ngawen.
Disana mereka dijemput oleh Hani dan saudaranya dengan dua motor. Jalur
pertigaan Banjarejo utara-Ngawen utara
tak ada kendaraan umum. Sama dengan jalur Kedungtuban utara-Sambong selatan. Harus naik kendaraan
pribadi atau ojek yang ongkosnya mahal.
Di rumah Safa,
Sa’id dan Mutia lebih sering ngobrol berdua dari pada bicara dengan Safa.
Untungnya Safa menyadari keadaan teman-temannya.
“Ngawen panas
juga ya?” Mutia berbasa-basi. Merasa tak etis membiarkan sendiri tuan rumah tak
diajak bicara malah ditinggal melepas rindu berdua.
“Ya
beginilah. Kalau siang pasti panas. Sama dengan Kedungtuban juga. Sebentar aku ke
belakang dulu.”
“Hehehe,”
Mutia tertawa dibuat-buat.
Safa datang
membawa Pecel makanan khas daerahnya. Sebelum masuk ruang tamu, dia mengintip
kedua temannya. Mutia nampak cekikikan dan sesekali mencubit lengan Sa’id. Sa’id
membalas cubitannya dengan gemas.
“Tambah sip
saja.” Safa datang. Spontan Sa’id menarik jarinya yang masih menempel di lengan
Mutia.
Safa datang
membawa tiga piring Pecel.
“Aku sudah
kenyang. Nanti kalau makan lagi nggak habis.” kata Mutia.
“Kita makan sepiring
berdua saja,” ajak Sa’id.
“Oke.” mereka
bertiga menikmati Pecel bertiga. Cuaca cerah Ngawen semakin siang semakin
terasa panas. Keringat mulai keluar dari kening Sa’id. Dengan penuh kasih
sayang Mutia mengambil tisu dari tas kecilnya.
“Pedwasnya
mwantap. Di Ywogyaakwarta susah cwari makwanan pwedas.” Sa’id masih mengunyah Pecel
dengan isi berbagai daun-daun sayuran.
Mutia
tersenyum melihat Sa’id. Bibirnya bertambah merah karena pedasnya Pecel.
“Wajar,” kata
Safa.
Selesai
makan, adzan Dzuhur berkumandang. Sa’id dan Mutia izin sholat dulu. Kedua
sahabat itu sholat dzuhur berjamaah. Muta membayangkan bagaimana seandainya
Sa’id benar-benar menjadi pasangan hidupnya. Tapi tak mungkin. Dia tak mau
berharap terlalu tinggi. Dia bukan siapa-siapa. Sa’id adalah cowok cerdas,
bermasa depan jelas bahkan mempunyai hafalan yang lumayan banyak walau belum
menjadi seorang Hafidz tapi bacaannya begitu menyejukkan hati bagi orang yang
mendengarkannya. Sedang dia hanya gadis kampung yang hanya sekolah di pondok
pesantren dan hanya dapat mendapat hafalan 23 Juz.
Sa’id juga
terbersit dalam hatinya mengandai jika Mutia menjadi pasangan hidupnya.
Kecantikan dan kesholehahannya Mutia membuatnya minder. Tentu banyak pemuda Tanjung
yang sudah mapan dan tampan siap mempersuntingnya. Hanya bisa memendam perasaan
yang tak terungkapkan. Dia juga tak mau persahabatannya rusak gara-gara cinta.
Seperti pengalaman sebelumnya bersama
Aini dan Nur.
Seusai sholat
Sa’id dan Mutia berpamitan pulang.
Dalam bus, Mutia
ngantuk dan tak sengaja tertidur di pundak Sa’id. Sa’id memandangi wajah cantik
Mutia. Semakin lama memandang semakin hatinya merasakan besarnya perasaannya
ada Mutia. Tak ingin momentum itu berlalu begitu saja. Inilah kali pertama dia
merasa sangat nyaman berada di samping seorang gadis meski beberapa kali dia
pernah jatuh cinta.
Mata Sa’id
memandangi tangan Mutia yang putih berada dalam pangkuannnya. Dia mencoba
memeganginya. Sesaat dia melepaskannya karena Mutia belum menjadi miliknya .
Lalu dia menatap Mutia yang asyik tertidur di pundaknya tak tega Sa’id
membangunkan Mutia. Kembali hatinya dilanda perasaan yang indah. Tak ingin
rasanya dia berpisah dari Mutia. Saat itu pula dia tak sengaja menyentuh
jari-jari Mutia yang lembut. Semakin lama menatap mata Mutia kemudian Sa’id
tersadar dari lamunannya.
Mutia tak
terbangun hingga sampai di pasar Sambong.
Mereka turun lalu ke musholla. Sholat Ashar dan istirahat di sana. Kembali
perasaan berkecamuk saat mereka asyik berjamaah berdua. Betapa indahnya dapat
berjamaah dengan kekasih impian. Namun lagi-lagi rasa mindernya membuatnya tak
mau berharap untuk mendapatkan Mutia. Sa’id tak mau persahabatannya hancur
gara-gara cinta. Selesai sholat, Mutia tertidur lagi. Sa’id duduk di teras Musholla
membaca buku Sang Bidadari Subuh. Sebuah novel yang menceritakan kehidupan seorang
perempuan yang mempunyai hati begitu lemah lembut kepada siapapun.
Jam Lima sore
Sa’id masuk ke dalam musholla membangunkan Mutia.
“Mut....bangun.
Sudah sore. Ayo pulang!” Mutia diam tak berekspresi. Wajahnya pucat.
“Bangun,
Mut!” Sa’id menggoyang-goyangkan lengan Mutia. Tak ada ekspresi. Sa’id mulai
panik. Dipeganginya pergelangan tangan Mutia. Masih berdenyut.
“Bangun Mut.
Ayo pulang!” tak juga Mutia bangun. Sa’id menatap dalam wajah Mutia yang pucat.
“Perutku
sakit sekali.” suara Mutia terdengar berat.
“Ayo pulang,”
“Aku tak kuat
bangun.” Dengan terpaksa dan susah payah Sa’id mencoba mendudukkan Mutia.
Matanya malah terpejam lagi.
Kembali Sa’id
dilanda kepanikan. Dia keluar. Mencari toko membeli air dan obat sakit perut.
Setengah berlari dia mencari-cari toko. Semua sudah tutup karena sore. Wajahnya
nampak sekali seperti orang kebingungan. Akhirnya dia menemukan toko. Dia beli
air dan obat sakit perut. Tak tahu apa sebenarnya sakit yang melanda Mutia.
Sa’id berlari
lagi ke musholla. Mutia masih terbaring.
“Mut. Bangun.
Minum dulu!” Sa’id memaksa Mutia bangun. Tapi tak bisa. Dia menelpon kakak
Mutia.
“Hallo, Mas.
Mutia pingsan,”
“Afwan Id.
Aku lagi ada acara di Purwodadi,” telpon langsung ditutup.
Sa’id tak
punya cara lain kecuali memaksa Mutia bangun. Tak terasa sudut matanya dingin.
Sa’id duduk di samping Mutia menunggu sampai sadar sambil berdoa.
Mutia
tersadar, “Minum dulu, Mut!”
Mutia
menggeleng. “Sudah sore. Ayo pulang. Ini minum dulu.” hanya sedikit air yang
masuk di mulutnya. Dia mencoba bangun. Tapi tak bisa. Tubuhnya terhuyung jatuh
ke depan. Alhamdulillah Sa’id ada di depannya.
Sa’id
menidurkan Mutia. Dia keluar lagi mencari bantuan untuk mengantar Mutia sampai Kedungtuban. Kembali dia haru
berlari-lari menuju pangkalan angkot. Di sana masih ada empat angkot yang
masing mangkal. Dia menghampiri salahsatu sopir dan menjelaskan keadaan Mutia.
***
Jam tujuh
malam Mutia tersadar. Sa’id berada di ruang bersama Abi dan saudara-saudara
Mutia.
“Saya tak
tahu kenapa Mutia pingsan. Saya kira tadi hanya tidur di Musholla,”
“Tadi belum makan?”
tanya Abi Mutia.
“Sudah, Pak.
Tadi siang makan Pecel di Ngawen.”
“Pedas?”
tanya Abi Mutia lagi.
“Iya, Pak.”
“Itu dia nak
Sa’id. Sakit maagnya kambuh kalau makan pedas. Ya sudah, nak Sa’id. Saya
berterima kasih karena telah menolong Mutia. Malam ini nak Sa’id tidur di sini
saja,”
“Aku
dipanggil nak Sa’id?” gumam Sa’id dalam hati. Dia senang luar biasa dipanggil
‘nak’ oleh Abi Mutia. Dia senyum-senyum sendiri.
Sa’id pamitan
pulang. Tapi ditahan oleh keluarga Mutia karena tak ada kendaraan malam untuk
sampai ke desa Sambong.
Akhirnya Sa’id terpaksa menginap disana.
Senin pagi
yang cerah. Udara pagi di Kedungtuban lebih segar dari Sambong selatan. Lokasinya di tengah
sawah menjadikan udara masih steril jauh dari asap kendaraan. Sa’id keluar
halaman memandang pepohonan berembun yang rindang. Mutia datang menemaninya.
Sa’id tahu
langkah Mutia di belakangnya. Dia mengatur nafasnya untuk memperlancar bicara.
Hatinya sudah tak bisa dibohongi lagi. Tak ingin dia berlama-lama terjun dalam
kemunafikan cinta,
“Tak pernah
ada pagi seindah ini dalam hidupku.” pandangan Sa’id mendongak ke atas mengamati mangga yang ranum.
Tak berani dia menatap mata Mutia.
“Kenapa Id?”
tanya Mutia.
“Pohon yang
indah, udara yang sejuk, rumah yang permai.”
“Hanya itu?”
sela Mutia. Sa’id mendekati pohon mangga membasahi tangannya dengan dedaunan
yang berembun.
“Tidak.”
“Lalu?”
“Seorang
sahabat yang lama kurindukan kini berada di dekatku bukan hanya dalam
khayalanku.”
“Siapa dia?”
Mutia memancing agar Izwan menyatakan cinta.
“Dia adalah
seorang gadis yang sangat kusayangi dan kucintai. Sayang aku tak mau berpadu
kasih dengannya.
Deg. Hati
Mutia terasa ada yang memukul keras. Dia mendekati bunga-bunga untuk menghibur
hatinya. Dia diam, memegangi bunga-bunga yang masih basah. Dia benar-benar
kecewa. Matanya melirik ke arah Sa’id yang masih asyik bercengkerama dengan
daun-daun basah. Mutia memejamkan mata dan mengatur nafas. Dia mencoba mengatur
suara hanya untuk bertanya, “Kenapa?”
Sa’id menoleh
ke arah Mutia. “Karena ini adalah saat yang tepat untuk melamarnya. Aku akan
menikahinya.”
Deg. Kembali
ada yang memukul hatinya. Mutia tak berani menatap Sa’id. Dia menundukkan
kepala memandangi ujung jari-jari kakinya. Dia mencoba bicara tapi berat. Tak
ada satu pun kata-kata yang terucap dari mulutnya.
Sa’id
meletakkan tangannya ke dagu dan menolehkan wajah Mutia yang memerah merona.
Sa’id tersenyum, Mutia ikut tersenyum.
Sa’id beranjak
masuk ke rumah menemui Abi dan Ummi Mutia yang masih sibuk menyiapkan sarapan.
Sa’id meminta dengan hormat kepada orang tua untuk sejenak ke ruang tamu karena
ada sesuatu yang penting untuk disampaikannya.
Tanpa
basa-basi Sa’id lalu mengutarakan segala keinginannya untuk menikahi Mutia.
Suasana menjadi tegang. Sesaat ayah bilang
“Tak bisa
kuterima lamaranmu sebelum kau selesaikan kuliahmu.” Mutia hanya diam membisu.
Sudut matanya basah namun tak terlihat karena tertutupi air mata.
“Semester
depan saya sudah wisuda, Pak. Saya akan segera menyelesaikan kuliah.”
“Tapi ada
satu syarat?”
“Apa itu,
Pak?” tubuh Sa’id bergetar menunggu syarat yang ditentukan Abi Mutia. Dia
mencoba tetap tenang meski hatinya bergelora.
“Jangan
sekali-kali menemui Mutia lagi sebelum kalian resmi menjadi suami-istri.” Sa’id
seperti kehilangan daya. Matanya memandangi Mutia. Sejenak dia merasa ragu jika
selama enam bulan tak bertemu. Mutia melirik Sa’id memberi tanda dengan matanya
yang cantik agar Sa’id segera bicara.
“Inggih, Pak.
Saya terima syarat itu.” semua yang ada di rumah mengucap hamdalah hampir
bersamaan.
Setelah
lamarannya diterima dengan syarat Sa’id dan Mutia pun menjalani persyaratannya.
Mereka hanya berhubungan lewat telpon dan sms. Begitu indah cinta mereka berdua
meski tak bertemu. Semua berlalu tanpa harus berjalan berdua, bergandeng tangan
apalagi berciuman. Sa’id dan Mutia menjaga cinta dan hati mereka tanpa noda
nafsu agar tak melanggar adat dan agama. Dan terasa sangat indah saat waktunya
tiba. Waktu dimana pernikahan mereka telah mereka jalani.
*Kisah
persahabatan sejak kecil yang berbuah manis pada akhirnya ketika kedua insan
tersebut menjaga hati dan cinta mereka tanpa nafsu dan dosa. Sebuah rumah
tangga idaman akan terbentuk dengan sendirinya jika memang itu sudah jodoh yang
di tentukan oleh Allah SWT dan sudah dengan usaha dan kematang dari keduanya
untuk menjalani ibadah untuk melengkapi keislaman.
0 comments:
Post a Comment