Beberapa
fakta mengejutkan tentang remaja muncul dari tahun ke tahun. Salah satunya yang
ditunjukkan melalui survey komnas perlindungan anak indonesia (KPAI) beberapa
tahun lalu di 33 provinsi di indonesia. Hasil survey menunjukkan bahwa 62,7%
remaja usia SMP, tidak perawan. Dengan kata lain 62,7% remaja usia 13 s.d 15
tahun pernah melakukan hubungan seks diluar nikah, (maaf) alias ZINA!!!
Dari hasil
survey tersebut didapati juga fakta bahwa 93,7% remaja SMP dan SMA pernah
(maaf) berciuman, (maaf) genital simulation (meraba alat kelamin) dan oral
seks; 21,2% remaja mengaku pernah aborsi dan 97% pernah menonton film porno.
Hasil
penelitian tersebut muncul kembli disusul beberapa terbaru lainnya, dipicu
makin merebaknya video porno dengan pelaku para pelajar yang tersebar bebas.
Fakta-fakta tersebut seolah melengkapi catatan tentang tawuran antar geng
pelajar, kasus pencurian, kasus perkosaan yang berawal dari minuman keras,
penyalahgunaan narkoba, dan lain-lain. Fakta-fakta tersebut semakin mengukuhkan
istilah “kenakalan”, yang sepertinya telah melekta dalam diri remaja. Tanpa
bermaksud menghakimi, fakta ini penting dicermati. Fakta ii menunjukkan betapa
telah terjadi dekadensi moral yang sangat mengkhawatirkan dikalangan ramaja. Tidak
menutup kemungkinan, bahwasanya berbagai kenakalan remaja tersebut dilakukan
mayoritas oleh para remaja muslim. Kalau boleh disebut bahwa kenakalan
tertinggi ada pada seks bebas, dengan sedikit mengabaikan yang lainnya; berarti
banyak remaja kita telah melakukan zina yang notabene adalah dosa besar.
Tawuran saking biasanya mungkin dianggap sebagai kenakalan yang lumrah
dilakukan remaja. Tapi, bagaimana dengan zina??
Kenakalan remaja atau
kenakalan orang tua??
Arus modernisasi
dan teknologi akan semakin berkembang, tanpa bisa dicegah. Dunia teknologi yang
semakin canggih; disamping memudahkan dalam mengetahui berbagai informasi
diberbagai media, disisi lain membawa dampak negatif yang cukup meluas karena
segala informasi dapat diakses tanpa batas. Salah satunya bagi remaja. Hal ini
sering menjadi kambing hitam, penyebab kenakalan remaja. Terpaan teknologi
informasi yang begitu bebas, memicu remaja berperilaku menyimpang.
Hal ini perlu
ditelaah lebih dalam. Jika memang terpaan ‘pesan atau gaya hidup’ negatif dari
lingkungan tidak terhindarkan, lalu kenapa ada remaja yang ‘bisa baik-baik
saja’ sementara ada yang ‘nakal’??
Kenakalan
remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani
proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa
kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat,
dengan perkembangan fisik,psikis,emosi yang begitu cepat. Secara psikologis,
kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan
dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja para pelakunya. Seringkali
didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak
menyanangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungan,
seperti kondisi ekonomi yang membuatnya rendah diri. Selain itu, proses
perkembangan kematangan ruhaniyah dan penanaman nilai-nilai moral (akhlak) yang
tidak sempurna semakin membuat anak tidak cukup memiliki filter yang kuat
terhadap terpaan negatif dari lingkungan.
Dari sini,
jawabanya cukup jelas. Bahwa kenakalan remaja tidak akan ada jika remaja
sempurna menjalani proses perkembangan jiwanya, menjalani kemudian
menyelesaikan konflik yang terjadi dalam dirinya secara wajar, terbebas dari
berbagai hal traumatis, dan mendapatkan ‘asupan’ serta peneguhan nilai-nilai
moral yang cukup. Dan semua proses itu, bisa didapatkan dirumah, dari orangtua,
sebagai sosok dan lingkungan pertama yang dikenal oleh remaja sejak masa
kanak-kanaknya.
Saat
berbicara masalah kenakalan remaja, ada hukum kausalitas. Kenakalan remaja
selalu dikristalkan menuju faktor eksternal lingkungan dan pergaulan, padahal
faktor lingkungan terdekat adalah orangtua. Saat bicara mengenai kenakalan
remaja, terungkap pula mengenai lemahnya iman. Padahal mengenai iman, sekali
lagi kita temukan pengaruh orangtua didalamnya. Didikan orangtua yang salah
bisa saja menjadi faktor sosiopsikologis utama dari timbulnya kenakalan pada
diri seorang remaja.
Betapa banyak
orangtua yang tidak dapat berperan sebagai orangtua yang seharusnya. Mereka
hanya menyediakan materi dan sarana serta fasilitas bagi anak tanpa memikirkan
kebutuhan batinnya. Rumah seolah hanya menjadi ‘rumah singgah’, dimana
penghuninya datang dan pergi tanpa saling memperhatikan. Karena cuek, bisa jadi
perilaku yang mengarah pada kesalahan dibiarkan sehingga menjadi kebiasaan.
Selain cuek, orangtua sering lupa bahwa perilakunya berakibat pada
anak-anaknya.
Orangtua
melarang anak bicara kasar, padahal ia sering berkata-kata kasar padanya dan orang
lain. Orangtua melarang anak tawuran atau ringan tangan, padahal ia sering
menganiaya mereka secara fisik, kasar terhadap orang lain didepannya. Orangtua
melarang anaknya berbohong, padahal sudah berapa kebohongan yang ia ciptakan
kepadanya. Orangtua menyuruh anaknya hemat atau melarang mereka merokok,
padahal ia sering membakar uang dengan merokok didepannya. Orangtua marah
ketika anaknya tidak sholat, padahal ia suka melalaikan sholat. Orangtua sering
menghimbau anaknya untuk tidak menonton tayangan pornografi, padahal ia
menyimpan videonya dengan dalih kedewasaan. Orangtua sering berkata kasar,
menghujat, memaki, menjadi provokator untuk melakukan perlawanan ketika anak
diganggu orang lain, menyakiti anak secara fisik dan psikis, dan sebagainya.
Ini adalah kenakalan orangtua.
Apa yang
dilakukan anak, bisa jadi karena hal itulah yang terekam dalam alam bawah
sadarnya. Nilai-nilai perilaku ataupun sikap yang mereka tangkap dari orangtua.
Jika tak ada teladan baik, para orang tua jangan berharap anaknya menjadi baik.
Remaja Tanpa Cinta
Orangtua
“Kullu
mauluudin yuladu alal fitrah. Faawabahu.” Setiap anak lahir dengan fitrah,
bergantung bagaimana dia dibentuk oleh orang tuanya. Berarti tidak satupun anak
ketika lahir berniat menghancurkan masa depannya. Tidak ada satupun bayi ketika
lahir berniat, “ ah, jika besar nanti, aku mau kena narkoba”, “aku akan hobi
tawuran”, “ aku mau membangkang pada ayah dan ibu”. Tidak ada. Karena setiap
anak yang diturunkan ALLAH ke dunia awalnya cenderung pada kebaikan.
Jika anak
lucu dan menggemaskan setelah seranjak remaja menjadi beban keluarga dan
masalah bagi lingkungan, orangtua perlu introspeksi diri. Bagaimana keteladanan
dan perlakuan yang kita berika kepada anak??
Sebagian anak
justru dijatuhkan harga dirinya dirumah, bukan diluar rumah. Sebagian kita
mungkin pernah memukul tubuhnya, seolah tubuh anak adalah pelampiasan amarah.
Pernah menampar pipinya, seolah dia tempat empuk bagi telapak tangan kita.
Pernah membentaknya, seolah ingin berkata bahwa kitalah yang berkuasa atas
mereka. Atau mungkin, kita tak pernah melakukan sesuatu itu namun jarang sekali
anak kita lolos dari kita salahkan. Sehingga, jatuh harga dirinya. Mungkin
telinganya tidak dengan jeweran kita karena sudah kebal, tapi hati bisa jadi
terluka karena merasa selalu salah.
Sebenarnya
anak bisa patuh tanpa diteriaki. Senang berbuat baik tanpa diminta. Anak akan
belajar tanpa dipaksa. Anak dapat mandiri tanpa digurui. Anak punya ketahana
diri tanpa diisolasi. Karena anak bisa diberitahu, dijelaskan, diberi
teladandan diberi inspirasi.
Orang tua
sering menuntut banyak hal tetapi lupa untuk memberikan contoh yang baik bagi
si anak. Banyak orangtua yang memukul, memarahi, dan melakukan kekerasan pada
anaknya karena mendapat nilai jelek. Orangtua berfikir bahwa dengan memarahi
maka remaja akan menjadi baik. Sayangnya memukul, justru akan membuat anak
remaja tidak betah dirumah. Rumah baginya hanya tempat tidur sementara.
Dia lalu
mencari harga diri, berkelana mencari ‘surga’. Mencari orang yang menghargai
dirinya. Saat anak tak menemukan tokoh idola atau tokoh panutan dirumah
(orangtua), maka remaja akan menempatkan kepercayaan tertinggi pada orang lain.
Pada teman-teman gengnya yang ternyata bisa menghargainya jika ia pamer perkasa
dengan menghisap ganja. Pada teman dekat wanitanya atau laki-lakinya yang
selalu memujanya. Dan akhirnya orangtua hanya bisa berkata,” lingkungan telah
merenggut anak-anakku”.
Saatnya Ayah ‘Bergerak’
Peran ayah
dalam keluarga sangat besar, terutama pada proses mendidik anak. Karena kesadaran
ini, pria dinegara-negara maju kini juga mengambil cuti saat “menjadi ayah”
karena ingin memberikan waktu lebih besar bagi anak. Berbagai riset tentang
perkembangan anak menunjukkan, pengaruh seorang ayah dimulai sejak usia yang
sengat dini. Misalnya pada bayi 5 bulan yang memiliki banyak wktu dengan
ayahnya, menjadi jauh lebih nyaman berada diantara orang-orang dewasa, lebih
banyak mengoceh dan menunjukkan kerelaan untuk digendong dibandingkan dengan
bayi yang ayahnya kurang terlibat. Meski demikian, saat anak masih bayi peran
ibu lebih dominan.
Pada anak
remaja, peran ayah jadi lebih dominan. Disini yaitu dalam membentuk
perkembangan emosi anak, menanamkan nilai-nilai keagamaan, serta kepercayaan
dalam keluarga. Ayah memiliki pengaruh lebh kuat karena perannya yang beragam,
yaitu sebagai pemberi nafkah, ibu, pemegang kendali dan sebagai ‘hukum’
dirumah. Umumnya, peran ibu sebagai pengemong lebih bersifat konstan, sementara
ketika ayah ada dirumah, peran dan ‘kekuatan’ ibu jadi berkali lipat. Selain
itu menurut beberapa ahli, ayah memiliki kemampuan mengenali dan menanggapi
emosi anak secara konstruktif dibanding ibu, sehingga jauh lebih ‘jago’
menasehati. Bagi anak perempuan, kedekatan dengan ayah ternyata mampu membuat
mereka lebih pandai menjaga diri.
Sebuah studi
di Columbia Univercity menyatakan bahwa remaja yang mempunyai hubungan yang
buruk dengan ayah mereka, 68% kemungkinannya untuk menjadi pecandu minuman
keras dan obat bius. Studi terbaru lainnya manemukan bahwa para remaja (11-15
tahun) didapati cenderung berkata ‘tidak’ untuk tawaran merokok yang mungkin
diberikan lingkungan atau teman mereka. Mereka yang cenderung menolak didapati
lebih sering membicarakan masalah tersebut dangan sang ayah. Studi ini
seolah-olah menjadi terobosan baru bagi pentingnya peran ayah dalam keluarga.
Intinya,
bukan untuk melemahkan peran salah satu orangtua melainkan untuk menunjukkan
bahwa peran keduanya sangat penting, remaja membutuhkan teman mencurahkan hati,
yaitu ibu. Namun, ia juga butuh figur dan bijak yang dapat menuntunnya untuk
melihat segala sesuatu dengan pikiran positif, itulah ayah.
Hal konkrit
sebagai awalan yang perlu dilakukan ayah adalah membina hubungan. Seorang ayah
seharusnya belajar dan yang intim dengan anak-anak mereka. Prinsip 3T (terlibat,
terbuka, dan tersedia). Terlibat dalam semua hal yang terkait dengan anak
adalah penting. Meski sibuk dengan aktivitas lain, keterlibatan dalam
waktu-waktu yang terbatas menjadikan pertemuan dengan anak yang berkualitas.
Ini menunjukkkan, penerimaan seorang ayah menolong anak-anak percaya bahwa ayah
akan mengasihi merekaapapun yang terjadi. Itu mengajarkan anak-anak bahwa
mereka dikasihi untuk keberadaan mereka lebih daripada karena apa yang mereka
lakukan. Ketika remaja diterima oleh ayah mereka, mereka akan suka untuk
membagikan isu-isu sensitif dengan ayah mereka.
Terbuka,
berarti membuka untuk memberi dan menerima ekspresi kasih sayang. Kejutan
mnyenangkan, hadiah kecil, sentuhan sayang, aktivitas bersama seolah mengatakan
bahwa mereka penting bagi ayah. Ketika seorang ayah tidak tersedia bagi
anak-anaknya, itu sama saja dengan mengatakan kepada anak-anaknya: “ saya
mengasihimu tapi maaf, hal penting lainnya datang mendahului kamu”.
Semakin
banyak orangtua menghabiskan waktu bersama anak-anak, semakin sedikit waktu
yang mereka habiskan diluar pengawasan orang tua. Juga, ketika orang tua
menyisihkan waktu untuk berbincang dengan anak-anak, meraka akan mempelajari
nilai-nilai yang dimiliki orangtuanya. Dan mereka akan lebih banyak berpikir
sebelum bertindak. Mereka akan memikirkan apa yang akan pikir tentang mereka
sebelum mereka
memutuskan melakukan
tindakan-tindakan tertentu.
Belum
terlambat bagi setiap orang tua (khususnya ayah yang sering kali berada diluar
rumah karena pekerjaan) untuk belajar memulai dari sekarang. Any man can be
a father. But it takes someone special... to be a Dad...
Manajemen Nasihat
“Barang
siapa diserahi tanggung jawab dalam pemeliharaan (keluarga, kerabat atau kaum
muslimin keseluruhan) tetapi lalai membimbingnya dengan nasihat ia akan
dihalangi masuk surga”. (HR Baihaqi).
Menasihati
adalah salah satu jalan mendidik anak, selain memberi teladan, memotivasi, dan
lain-lain. Semua nasihat pasti memiliki tujuan yang baik. Namun, jika tidak
pandia mengelolanya, nasihat justru akan membuat anak terpuruk pada keburukan.
Meski tujuannya baik, berlebihan dalam memberikan nasihat justru bisa
menjatuhkan harga diri mereka. Karena nasihat yang overdosis pada waktu, tempat
dan kondisi yang tepat, bisa jadi hanya lewat di telinga anak. Mereka pun tidak
betah duduk berlama-lama bersama orangtuanya, tanpa ada tempat baginya untuk
bersuara. Misal: saat nilai ulangannya jelek. Anak sudah sangat kecewa.
Ditambah lebih sedih lagi dengan nasihat orangtuanya yang lebih tepat lagi
dengan “menghakiminya”.
Sebetulnya,
bukan banyak nasihat atau seberapa sering orangtua memberi nasihat. Namun pada
cara dan waktu yang tepat. Mengacu pada 2 hal ini, dapat dirangkum 2 tips
menasihati:
Pertama,
undang anak bicara, baru orangtua bicara. Anak usia remaja terlihat kurang
mendengarkan nasihat orangtuanya, namun fakta bahwa mereka sebenarnya sangat
menyimak. Ini yang seharusnya diperhatikan orangtua. Dengan catatan, sebagian
nasihat tidak masuk ke dalam diri anak karena memang banyak orangtua yang
terlalu banyak bicara sehingga anak menutup hatinya.
Karenanya,
agar nasihat diterima dalam pikiran anak undanglah anak untuk bicara terlebih
dahulu. Buat dia nyaman berbicara kepada kita selaku orang tua meski kita gemas
ingin mengeluarkan pendapat. Jika anak sudah nyaman bicara, akan terjadi
kedekatan emosional dan keakraban secara ruhiyah. Sehingga dia siap menerima
asupan pesan dari orangtuanya. Keterampilan ini perlu di latih, karena jika
anak tidak nyaman berbicara dengan orangtua , anak akan mencari tempat nyaman
lain untuk bercerita.
Kedua, waktu
yang sesuai. Orangtua mampu memilih saat yang tepat agar hati anak dapat
menerima dan terkesan dengan nasihat orangtua. Rasulullah Saw memberi contoh
menasihati anak pada waktu-waktu berikut: pada saat jalan-jalan diatas
kendaraan, waktu makan, waktu anak sakit, waktu sebelum tidur dan bangun tidur.
Dari ibnu
abbas, ia berkata: pada suatu hari aku (dibonceng) di belakang Rasulullah Saw,
lalu beliau bersabda: “Wahai remaja, sungguh aku akan mengajarkan kepadamu
beberapa kalimat: “peliharalah Allah, niscaya engkau akan dipeliharaNya. Dan
peliharalah Allah niscaya engkau akan menemukanNya di hadapanmu. Apabila engkau
meminta, mintalah kepada Allah dan apabila engkau memohon pertolongan, mohonlah
kepada Allah. Ketahuilah bahwa sekiranya semua manusia bersatu untuk memberikan
sesuatu keuntungan kepadamu, niscaya mereka tidak akan dapat melakukannya
sedikitpun selain yang telah Allah takdirkan untukmu. Dan sekiranya mereka
bersatu untuk mencelakakan kamu, niscaya mereka tidak akan dapat melakukannya
sedikitpun kecuali yang telah Allah takdirkan kepadamu. Semua pena telah
diangkat dan kertas-kertas telah menjadi kering”. (HR. Turmudzi)
Selain itu,
yang harus dicatat dalam menasihati adalah bahwa pesan yang desampaikan harus
yang meninggikan, bukan merendahkan anak.
Jika kiat
menginginkan anak sholeh, maka orangtuanya harus sholeh. Mari hormati jiwa
anak-anak kita, tanamkan nilai-nilai aqidah dengan kuat, dan beri mereka
teladan yang baik. Perkataan dan perbuatan penuh cinta dari orang tua adalah
warisan terindah untuk masa depan mereka.
disadur dari majalah hadila.. :)
0 comments:
Post a Comment