Untuk kesekian kali, aku berusaha
menguasai relung hati seorang gadis dengan suaraku. Suara sumbang yang jika
terdengar di telpon mampu membandingi suara Mario Ginanjar, vokalis Kahitna.
Dulu Rina, Uhti, Nida dan Vera pernah kutaklukkan dengan suaraku.
Kadang pula, kumenikam hati seorang
gadis dengan tulisan-tulisan indahku. Icha, Nia dan Nita pernah mengangguk
bahagia setelah kujerat hatinya dengan puisi-puisi cintaku. Tapi Nur, belasan
puisiku belum juga mampu meluluhkan kasihnya. Lagu-lagu romantisku sedikitpun
tak menyentuh cintanya.
Suara merduku pernah didengarnya berulang
kali. Hampir tiap hari. Jika malam tiba, kutembangkan lagu-lagu mesra lewat
telpon hingga suaranya tak lagi kudengar karena lelap dalam tidurnya. Sesekali
kuberpuisi untuknya.
Baru tadi malam, lagu terakhir yang
mengantarnya ke dalam mimpi berhasil memunculkan sebuah tanya karena
lirik-liriknya yang tulus.
“Judulnya apa lagu tadi malam, Tsan?”
tanya Nur sebelum kami kuliah. Sudah jadi kebiasaan, tiap di sela istirahat
kuliah kujumpainya.
“Yang mana?” aku sudah tahu lagu tadi
malam. Untuk memperlama obrolan kupura-pura tak tahu.
“Yang terakhir. Sebelum aku tidur.”
“Kau Ubah Hariku. Ini lagunya ada di
ponselku,” kusodorkan ponselku padanya.
“Mau dengar, Nur?”
Nur diam, memandangiku sekejap, “Tak
usah. Aku mau kamu menyanyikannya lagi untukku.”
“Pasti. Aku akan menyanyikannya sebelum
tidur.”
“Nyanyikan untukku nanti malam saat Makrab
mahasiswa jurusan.” pinta Nur.
Deg. Aku terdiam sesaat. Sampai saat
ini aku masih belum percaya diri bernyanyi di depan umum gara-gara aku pernah
dihujani kata “Huuuuu” oleh semua audience saat bernyanyi di atas panggung.
Entah mengapa muncul kekuatan hebat
yang mendorongku mengeluarkan suara YA di hadapan Indah meski hatiku berkata
TIDAK. AKU TAK BISA.
“Oke. Nanti malam kutunggu. Aku mau masuk
kelas dulu.” Nur pergi melangkah menjauhiku hingga sosoknya tak nampak lagi
oleh mataku.
Keringat dingin membasahi kulitku.
Bisakah aku bernyanyi lagi. Di hadapan Nur, di hadapan smua mahasiswa jurusan.
Mampukah aku?
Aku mencari tempat sepi, mendengar Kau
Ubah Hariku berkali-kali dan mengingat traumaku diputuskan Nida gara-gara
diteriaki turun penonton di atas panggung. Akankah terulang lagi pengalaman
pahit itu di saat aku belum menjalin cinta dengan Nur.
Aku berpikir hingga air mineral dalam
botol yang kubawa habis kuminum. Kutemukan sebuah ide agar Indah tak kecewa.
Aku mencari alasan lain untuk menggagalkan rencana gila ini. Mencari ide agar
bisa mengurungkan niat Nur untuk mendengarkanku bernyanyi di depan umum.
Sepulang kuliah kutemui Nur di samping
gedung perpustakaan.
Dengan berat hati kubohongi Nur.
“Tampaknya aku belum bisa bernyanyi, Nur. Kata panitia tak ada waktu. Semua terjadwal
dengan pasti.” alasan yang brilian meski dusta..
“Oh. Ya sudah.” Nur agak kecewa. Raut
mukanya menyiratkan harapan yang dalam untuk mendengarku bernyanyi langsung.
Aku merasa tak enak hati. Beraninya
aku mendustainya. Padahal ini kesempatanku untuk membuktikan betapa aku rela
melakukan apapun untuk dia sebagai wujud tulusnya perasaanku. Kucoba mencari
ide lain agar Nur bisa tersenyum karenaku.
Kami berjalan berdua masuk ke dalam
perpustakaan. Nur hanya diam kecewa. Maafkan aku, Nur. Aku tak ingin membuatmu
lebih kecewa lagi dengan mendengar suara sumbangku.
Aku dan Nur menuju rak perpustakaan yang
berbeda. Hatiku merasa tak tenang melihatnya. Aku tak bisa konsentrasi dengan
tumpukan rapi buku-buku di perpustakaan. Serba salah. Bagaimana kalau
kupersembahkan puisi untuknya? Ide hebat. Puisiku akan menggetarkannya.
Kudekati Nur yang sudah asyik dengan
sebuah novel di tangannya. Aku tak berani bicara dulu. Kubiarkan dia asyik
membaca. Aku hanya memandanginya dari samping. Benar-benar penuh pesona gadis
ini.
“Ada apa, Tsan?” Nur menutup bukunya,
memandangiku. Aku kaget dan salah tingkah.
“Oh. Uhm.” kupejamkan mata lebih lama dari
kedipan biasa untuk memberanikan diri berbohong.
“Aku baru saja dihubungi panitia.”
Wajah Nur nampak lebih cerah dari
sebelumnya. Seolah harapannya akan terwujud, “Kamu dapat waktu untuk
bernyanyi?” lagi-lagi aku dibuatnya diam. Ternyata ia berharap agar bisa
mendengarku bernyanyi.
“Bukan. Panitia kekurangan puisi. Aku
diminta membuatnya. Sebagai gantinya, aku akan membuat puisi yang
kupersembahkan khusus untukmu.”
Raut mukanya kembali berubah.
Kekecewaannya kali ini diekspresikannya dengan membuka novelnya. Aku tak bisa
berbuat apa-apa lagi kecuali berucap.”Maaf, Nur,”
“Tak apa. Lain kali mungkin masih
bisa.” Kulihat lesung pipi Nur tampak menawan saat dia memaksakan bibirnya
untuk tersenyum di hadapanku. Meski hanya senyuman retorik.
Lantaran tak kuat melihat kekecewaan
di itu, aku beranjak keluar berpikir ulang. Kuputuskan untuk membuat surprize
untuk Nur. Kutemui Ade, memintanya mendengar lagu Kau Ubah Hariku berulang kali
sampai dia bisa menirukan denting piano. Dua, tiga kali Ade mencobanya. Dia
bisa. Luar biasa. Tinggal aku yang berlatih vokal.
Lima temanku kuberi sms yang sama. Kuminta
mereka nanti berulah seolah memaksaku bernyanyi di depan demi menutupi
kebohongan yang telah kuucapkan pada Nur.
Sore hari, aku mencoba bernyanyi
diiringi piano Ade. Bisa berjalan lancar. Tapi kutak tahu dengan suaraku. Enak
atau tidak. Ade juga tak berkomentar.
“Oke, Tsan. Nanti aku bisa mengiringimu
bernyanyi.” hanya kalimat itu yang diucapkan Ade saat aku akan bersiap mencari
busana yang tepat untuk makrab nanti malam.
***
Malam berbintang cerah. Tapi tak bisa
kupandangi keindahannya sebab kokasi makrab berada di dalam auditorium yang
disulap oleh panitia bak taman bunga. Cahaya temaram lampu dibiarkan redup
dengan lilin-lilin kecil di sudut-sudut gedung. Ratusan mahasiswa berada dalam
gedung. Ada yang bergerombol, ada pula yang hanya berdua seperti aku dan Nurh.
Sesuai rencana, setelah pentas seni, lima
temanku berteriak sambil bertepuk tangan memprovokasiku untuk menyanyi di depan
seluruh mahasiswa jurusan.
“Ketua BEM jurusan kita harus menyanyi,
menghibur kita malam ini.” teriak seorang dari tengah kerumunan mahasiswa.
“Iya, Mas Tsan harus maju ke panggung.”
sahut mahasiswa lain.
Sontak, mahasiswa lain ikut menyoraki dan dengan
kompak memintaku maju.
“Tsan....!Tsan....!Tsan....!” suara
mahasiswa serentak.
Nur yang ada di sampingku ikut
memintaku maju. Kulirik wajah ayunya. Lesung pipinya lebih indah karena
senyuman aslinya.
“Ayo. Maju sana!” katanya sambil
mendorongku.
Aku masih deg-degan. Demi dirimu,
Nur. Aku akan bernyanyi.
Aku maju ke depan dengan langkah
bergetar. Gemuruh tepuk tangan membuatku grogi. Kupegangi microphone, dan
mengambil nafas dalam-dalam. Kupandangi wajah Nur sejenak.
“Lagu ini kupersembahkan buat orang
yang membuatku terpaksa maju kesini.” tepuk tangan semakin keras. Teman-teman
tahu siapa yang kumaksud. Otomatis mereka memandangi Nur yang wajahnya memerah
malu.
Nurh ikut bertepuk tangan
menghilangkan kecanggungannya. Kupejamkan mataku lagi. Kuberi Ade kode untuk
memulai memainkan piano. Dentingnya menggema di seluruh sudut ruangan yang
disetting panitia agak gelap membuat suasana agak romantis. Semua penonton
diam. Kulirik Nur sejenak dan mulai mengeluarkan suara.
Kubertanya adakah aku yang ada
di hatimu
Tak mengapa jikalau aku tak pasti di
benakmu
Aku tak tahu mengapa dirimu
Yang datang saat aku meresah
Meskipun aku tak mungkin miliki
Namun kuakui kau ubah hariku
Ada getar saat kumenatapmu ada
di sana
Kuyakini mata hatiku tak akan pernah
salah
Aku tak tahu mengapa dirimu
Yang datang saat aku meresah
Meskipun aku tak mungkin miliki
Namun kuakui kau ubah hariku
Aku bertanya dan tanya kepada diri
Salahkah hatiku yang mengharapkan
cintamu
Aku tak tahu mengapa diriku
Yang datang saat aku meresah
Meskipun aku tak mungkin miliki Namun
kuakui kau ubah hariku
Namun kuakui kau ubah hariku
Tepuk tangan dalam ruangan itu semakin
menggema. Kulihat Nur tersipu-sipu apalagi saat kuucap Kau ubah
hariku dengan memandangi dan menunjuknya. Kepercayaan diriku semakin
membesar menjadi semangat baru. Kumanfaatkan kesempatan ini untuk berpuisi.
Demi Nur.
Saat penonton masih sibuk dengan
tepuk tangan. Kudekati Ade.
“Tolong iringi musik. Aku mau berpuisi,”
Ade hanya mengacungkan jempol.
Kembali ruangan menjadi hening.
Hanya terdengar suara piano dengan nada sendu. Kuambil nafas dalam-dalam.
Memejamkan mata dan berbicara, “Nur. Kau Ubah Hariku.” Tak ada tepuk tangan.
Kulanjutkan puisi hingga beberapa bait. Masih tak ada tepuk tangan. Dan ironis.
Di tengah puisi, bukan pujian atau tepuk tangan yang kudapat. Aku menyadari
paduan denting piano dan suaraku tak bisa menyatu. Suaranya jadi kacau. Aku
dicaci.
“Huuuuuu......” penonton menyeru.
Tak kupedulikan. Kulanjutkan puisi. Namun ketidakpuasaan orang-orang dalam
gedung mengkristal menjadi kemarahan.
“Merusak pesta! Turun!” tiga benda
keras melesat di hadapanku. Sekilas kulihat seperti sepatu. Tak jelas siapa
yang melempar.
Sebelum mahasiswa semakin brutal,
aku turun dan bersembunyi di belakang panggung. Sendiri.
Ade bisa menenangkan kondisi dengan
permainan piano. Sedang aku menjadi bulan-bulanan perasaanku sendiri.
Kegagalanku memberikan sesuatu kepada Nur.
Deg. Di luar prediksi, Nur
mendatangiku. Kembali bergetar tubuhku. Tak berani kumemandanginya.
“Tsan.” Nur memanggilku. Sudah terlanjur
malu. Tak kuhiraukan dia.
“Tsan. Kau juga telah mengubah hariku.”
aku masih diam. Aku pasti salah dengar. Pendengaranku pasti rusak gara-gara
rasa malu yang tak terdefinisikan.
“Tsan. Tak usah malu. Aku hanya mengharap
lagumu. Bukan puisimu.”
“Kenapa?” aku mulai berani melirik wajah
Tsan.
“Karena kau juga mengubah hariku. Ya, kau
ubah hariku seperti lagumu.” mataku berkaca-kaca mendengar tutur lembutnya.
Kukumpulkan keberanian untuk memegang tangannya. Sekejap, apa yang baru
saja terjadi hilang. Kuanggap hanya sebagai mimpi buruk. Aku bak seorang pelaut
yang tiba-tiba melihat daratan setelah berhari-hari terjebak di tengah
samudera. Sangat bahagia.
“Kenapa puisimu hancur? Sedang lagumu bisa
sehebat itu?” tanya Nur.
“Karena ada dua yang bernyanyi. Aku dan
hatiku.” kataku.
“Kalau begitu, juga dua yang berpuisi.
Kamu....” tatapan Nur tajam memandangku.
”Dan...... Kesombonganmu,”
Nur berucap tegas saat menyebutkan KESOMBONGANMU. Lalu dia tersenyum. Aku
baru tahu ternyata ada rasa tinggi hati merasuki
naluriku tanpa sadar saat aku mulai percaya diri. Terima kasih, Nur. Kau telah
menyadarkanku.
sifat sombong yang tak di sadari. sombong tak kan
berguna untuk hal-hal seperti itu. ^^
0 comments:
Post a Comment