Aku anak desa,
bapakku petani biasa. Petani desa yang tak pernah mendapatakan
teori-teori pertanian di bangku kuliah. Petani kuno yang menanam padi sesuai
dengan tradisi desa yang turun-temurun. Aku kagum dengan petani-petani desa,
terutama dengan bapakku. Dia punya filosofis yang menakjubkan.
“Sejak dulu hingga sekarang, petani selalu menjadi
masyarakat yang tingkat ekonominya menengah ke bawah. Tapi kenapa kami tak
berganti profesi. Karena petani bahagia bisa melihat padi yang ditanam bisa
tumbuh dengan hijaunya. Itu sama dengan menghidupkan satu nyawa,” begitu kata
bapakku suatu waktu.
Yang buatku kagum
dengan petani lagi karena mereka tak pernah risau dengan pergantian penguasa
negara, tak iri melihat PNS yang digaji negara.
Pagi-pagi buta setelah berzikir sholat subuh, para petani
sudah melangkahkan kakinya ke sawh. Hasil panen mereka tergantung kerajinan dan
keuletan dalam bertani. Beda jauh dengan PNS. Malas atau tidak dalam bekerja,
gaji yang mereka dapatkan pun sama.
Sementara ibuku hanya ibu rumah tangga biasa. Wanita
pedesaaan yang selalu setia menyeduhkan kopi maupun teh untuk suaminya. Tiap
pagi sebelum sang suami pergi ke sawah. Sama seperti bapak, ibuku menjalankan
tugas sebagai ibu rumah tangga tanpa teori-teori modern. Ibuku tak kenal
feminisme atau isu gender. Tapi dia bisa menjadi ibu yang baik untuk suami dan
anak-anaknya
Bapak dan ibuku sejak lahir beragama Islam karena dalam
lingkungan Islam. Keduanya cukup taat agama. Bisa dilihat dari sholat lima
waktu yang dijalankan rutin meski jarang jamaah karena memang lumayan jauh juga
dari surau kampung . Ajaran Islam yang didapatkan oleh bapak dan ibuku didapatkan
dari modin dan kiai kampung. Ajaran Islam dapat dilakukan bak sebuah tradisi.
Tahlil rutin, yasinan rutin dan kegiatan rutin lainnya
sampai sekarang masih berjalan di desaku meski mereka, warga kampungku tak
mengenal pemikir Islam modern semacam Jamaluddin al Afghani, Fazlur Rahman,
Muhammad Abduh, Muhammad Arkoun dan Nurcholis Madjid. Apalagi tokoh-tokoh pemikir
Barat seperti Karl Marx, Max Webber, Emile Durkheim dan Habermas. Tak satu pun
yang mereka kenal. Namun mereka lancar dalam mendongeng kisah Walisongo atau
karomah kiai ini atau kiai itu.
Aku terlahir dalam lingkungan yang damai seperti demikian.
Wajar jika sejak kecil aku sudah lancar baca al Quran. Sejak usia empat tahun,
anak-anak di desaku sudah diajari al Quran.
Kami masyarakat petani yang rata-rata kekayaannya
menengah ke bawah. Tapi itu sangat cukup untuk hidup. Kedamaian dan
ketenteraman dapat dirasakan sebab kami tak mengenal materialisme dan
kapitalisme.
Meski aku bukan anak orang yang istimewa. Bukan anak
professor, bukan anak pengusaha, bukan anak seorang pengacara, dosen atau
seorang guru, entah kenapa Tuhan menganugerahiku kelebihan. Aku dapat menghitung dengan cepat dan mampu menghafal rumus-rumus dengan baik. Awalnya aku tak tahu
kelebihan itu. Hingga suatu ketika
“Hanif! Minggu depan ada lomba matematika tingkat
kecamatan. Kamu mewakili sekolah!” pinta guru matematika.
“Iya, Bu!” hanya jawaban singkat itu yang bisa
kulontarkan.
“Mulai besok, kamu harus datang ke rumah ibu. Kamu akan
kuberi pelajaran matematika tambahan. Untuk persiapan lomba,”
“Iya, Bu!” lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk patuh.
Tapi sayang, seminggu setelahnya aku kalah. Yang lebih
menyakitkan lagi, aku kalah dengan seorang gadis cantik dari sekolah lain.
Sejak upacara pembukaan perlombaan aku sudah meliriknya. Ternyata dia jadi
juara. Seandainya dia tahu aku mengagumi kecantikannya, aku akan bertambah malu
karena kalah dengannya.
***
Tiga tahun selanjutnya, saat aku kelas tiga MTs, aku
kembali terpilih mewakili sekolah dalam olimpiade matematika bergengsi se-Karesidenan.
Aku adalah salah satu di antara lima orang dari seribu siswa sekolahku. Sedikit
pun tak ada apresiasi dari orang tuaku untukku. Ucapan selamat pun tidak
terucap. Tapi aku yakin mereka terus mendoakanku.
Saat olimpiade, aku berjumpa lagi dengan gadis cantik
yang menjuarai lomba matematika tingkat SD. Aku mulai berani mendekati dan
berkenalan dengannya lewat temanku.
“Mutia. Kenalkan ini Hanif. Hanif, kenalkan ini Mutia.”
Fatimah mengenalkanku. Mengembang senyum indah di wajah Mutia. Aku sangat
senang.
Lima kali mewakili MTs, dua kali aku memenangi olimpiade.
Pertama dalam olimpiade yang ketiga tingkat provinsi di Semarang, aku
menjuarainya. Untuk pertama kalinya aku mengangkat tropi sebesar tubuhku yang kerdil.
Lagi-lagi karena orang tuaku orang yang biasa-biasa saja. Bukan aku
diberi hadiah, malah hadiah yang kudapatkan dari penyelenggara lomba
diambilnya dariku. Tak apa-apa, jika tidak demikian, apalagi yang akan
kupersembahkan kepada kedua orang tuaku?
Selanjutnya
olimpiade se-karesidenan Surakarta. Pesertanya dari SMP dan Mts
se-karesidenan Surakarta, Jogja dan Purwodadi. Merasa di atas angin
setelah menjuarai olimpiade se-provinsi, aku agak sedikit
sombong. Hanya
saja, saat itu aku sedang dirundung cinta dengan
Mutia. Targetku bukan lagi menjuarai olimpiade, tapi untuk menemuinya di
sela-sela istirahat olimpiade.
“Mutia. Besok kamu ikut lomba kan?” tanyaku lewat telpon.
“Iya. Kamu juga pasti mewakili sekolahmu!” aku tersenyum
mendengarnya.
“Besok kita ketemu lagi dong?”
“Pasti,”
“Sampai berjumpa esok. Berani berlomba denganku? Siapa
nanti yang akan juara?” tantangku
“Siapa takut!” percakapan di telpon berhenti dengan
tantangan.
“Mungkinkah aku mengalahkan Mutia?”
Tak mungkin dia menyukaiku. Dia cantik dan cerdas. Anak
kaum borjuis kaya raya di kecamatanku. Entah orang tuanya penganut paham
kapitalis atau tidak, yang kutahu dia anak orang kaya.
Tak ada yang bisa kupamerkan kepadanya selain mengangkat
tropi olimpiade di hadapannya? Fisik anak petani sepertiku nampaknya tak akan
menarik perhatian anak pengusaha kaya sepertinya. Ya. Hanya tropi yang bisa
kujadikan nilai tawar untuk pantas menyukainya.
***
Keesokan harinya. Apa yang terjadi? pada babak seleksi nilai Mutia
tertinggi. Sedang aku hanya di urutan kelima. Tanpa sengaja aku dan Mutia berjumpa di depan papan pengumuman.
“Lolos seleksi, Mut?” tanyaku.
“Itu. Aku di urutan teratas.” Wajahnya ceria dan senang.
“Gimana denganmu?” tanya Mutia.
“Alhamdulillah lolos. Aku berada di urutan kelima,”
“Perlombaan belum selesai. Kita masih bersaing. Sampai
jumpa,” dia kembali menantangku. Dalam suasana lomba sepert ini, bukan waktunya
belajar. Saatnya menunggu campur tangan Tuhan melalui keberuntungan.
Doaku terkabul. Pada babak final, soal yang diberikan
panitia cukup mudah buatku. Aku dapat mengerjakan dengan mudah. Kulihat Mutia
seperti orang kesulitan. Wajahnya serius dengan tangan yang tak henti-hentinya
menggerak-gerakkan pulpen. Aku optimis bisa mengalahkannya.
Ketika waktu sudah habis, dia masih saja mengerjakan
soal. Tandanya dia masih belum bisa menyelesaikan. Yes. Aku pasti
mengalahkanmu, Mutia.
Ada waktu tiga puluh menit menunggu pengumuman. Aku
berkumpul dengan peserta lain dari sekolahku. Kulihat Mutia juga sama. Dia
berkumpul dengan guru dan teman-teman satu sekolahnya.
Pengumuman dibacakan bersamaan penutupan lomba. Tak
henti-hentinya aku membaca doa untuk mengatut detak jantungku yang tak menentu.
Kalau bukan karena bersaing dengan Mutia, mungkin aku tak bergetar seperti ini.
“Juara harapan ketiga, Iqbal Maulana dari SMP 1 Purwodadi,”
tepuk tangan bergemuruh dalam ruangan. Aku masih deg-degan. Keringat dingin
mulai keluar.
“Juara harapan kedua, Mutia Ramadhani dari SMP 1
Surakarta.” Tepuk tangan kembali bergemuruh. Aku agak lega. Mutia hanya bisa
mendapat juara harapan. Mudah-mudahan aku bisa melebihinya.
Nama-nama juara telah disebut. Tinggal juara pertama. Aku
memejamkan mata. Mulutku terus membaca doa. Membaca al fatihah, membaca
sholawat, tasbih, tahlil dan semua dzikit kubaca.
“Juara pertama. Hanif Fatih Al-Huda dari MTs Negeri 1
Surakarta.” aku langsung tersungkur meletakkan kepalaku di tanah. Sejenak aku
bersujud. Merasakan kebahagiaan. Akhirnya dapat mengalahkan Mutia.
Semua pemenang maju ke depan. Kulirik Mutia dengan
senyuman. Dia mendatangiku.
“Selamat, Hanif. Kau menang hari ini. Hebat!” aku tak
bisa berucap apa-apa. Piala kuangkat setinggi-tingginya.
“Mutia. Bisakah kita foto berdua dengan membawa piala?”
ajakku. Mutia hanya mengangguk. Kusuruh temanku memotoku.
Aku pulang setelah acara selesai. Piala yang kudapat
hanya bisa kubawa sebentar. Selanjutnya menjadi milik sekolah. Aku hanya
mendapat uang dan sertifikat. Barang itu tak dapat kupamerkan kepada orang
tuaku. Lagi pula barang itu juga tak penting.
“Alhamdulillah, Bu. Aku dapat juara satu. Ini hadiahnya,”
hadiahnya langsung kuberi kepada ibuku. Bapak dan ibu menerima uang itu tanpa
bicara. Tanpa memberi selamat. Malah bertanya jumlah uang yang kudapat.
“Dapat uang berapa?”
“Tak tahu. Uangnya belum kubuka,” amplop berisi uang itu
dibuka kedua orang tuaku.
“Alhamdulillah dapat lima ratus ribu,” ibu mau memberiku
seratus ribu.
“Lima puluh ribu saja, Bu,” aku tahu kebutuhan di rumah
masih banyak. Aku juga belum perlu uang itu. Asal aku bisa sekolah tiap hari,
aku sudah bersyukur.
***
Sebentar lagi pendaftaran SMA. Aku bukan mendaftar di SMA
favorit, aku malah masuk pesantren salaf. Namun orang tuaku sangat bahagia
punya anak yang belajar di pesantren. Yang diinginkan orang tua di desa cukup
sederhana. Punya anak sholih yang mendoakan kedua orang tuanya. Kehidupan
duniawi bisa dicari dengan mudah.
“Aku ingin punya anak yang mau berjuang untuk agama. Tapi
ingat! Untuk memperjuangkan agama, harus siap hidup melarat dan susah,” begitu
kata bapakku. Aku sendiri kurang tahu apa maksudnya.
Sebenarnya ada alasan lain kenapa aku memutuskan masuk
pesantren. Masalah biaya. Di pesantren biaya pendidikan lebih murah.
Di pesantren, aku masih bisa sekolah di madrasah aliyah
swasta. Pelajaran agama mendominasi, sedang Matematika dianggap
sebagai pelajaran tak penting. Katanya, Matematika itu pelajaran duniawi. aku masih menganggap matematika sebagai pelajaran favoritku. Apalagi
dengan Matematika aku bisa mendekati Mutia.
Sekarang aku tak tahu bagaimana kabar Mutia. Kabar
terakhir yang kudapat, dia masuk sekolah akselerasi favorit di Semarang. Apa
yang tidak bisa dia dapatkan. Selain cerdas dia juga anak orang kaya. Sekolah
manapun dapat dia masuki.
Dalam pengamatanku, guru yang mengajar Matematika di
pesantren kurang berkompeten. Bahkan sering tak masuk. Biasanya teman-teman
memintaku maju dan mengajari para santri jika guru tak hadir. Aku pun
tak segan-segan maju ke depan dan menerangkan Matematika kepada mereka. Meski
agak susah.
Cerita
mengajarku dikelas didengar oleh salah seorang ustazd di
pesantren.
“Hanif. Di MTs ada satu kelas unggulan. Saya minta kamu
mengajar mereka tiap malam.”
“Iya, Ustadz,”
Ternyata mengajari siswa-siswa unggulan lebih mudah.
Mereka dapat memahami keteranganku dengan mudah. Aku pun kembali bersemangat.
Hingga berbulan-bulan aku mengajari mereka sampai lulus pesantren.
Tapi ternyata kemampuanku
hanya bisa menguasai pelajaran SMP. Tidak pelajaran sekelas SMA. Buktinya saat aku mencoba
nekat mengikuti olimpiade matematika di tingkat kabupaten. Aku tak mampu lolos
seleksi. Aku yakin tak lagi bisa bersaing dengan Mutia. Tak
ada lagi yang bisa kuandalkan untuk mendekati Mutia. Aku pantas menjauh
darinya.
Sampai lulus pesantren, akhirnya aku bisa menjadi apa
yang diinginkan oleh orang tuaku. Menjadi pejuang agama dengan mengajar Islam
di beberapa lembaga pendidikan agama. Tiap pagi aku membantu orang tua ke
sawah. Sore hingga malam aku mengajar sebagai wujud pengabdianku terhadap Islam.
Matematika hanya jadi kenangan. Sama seperti Mutia, dia hanya jadi kenangan
manis dalam hidupku. Aku sekarang menjadi seorang Petani yang tak berhenti
mengabdi untuk agamaku.
Menegakkan agama di kampungku, selain petani aku juga
menjadi ustadz bagi para warga kampungku. Inilah yang diinginkan oleh orang
tuaku hidup dalam kesederhanaan dan selalu ingat dan taat pada agama islam.
Akhirnya pun aku menikah dengan seorang muslimah dari desa seberang yang juga aku
tak mengenal siapakah dia? Aku mengenalnya pada waktu ta’aruf sebelum menikah.
Allah Maha Kuasa semua takdir tiap manusia memang berada pada Allah. Aku pun
bahagia dengan kehidupanku bersama keluargaku. Inilah aku anak petani desa
dengan kesederhanaanku dan keluargaku.
Hari jum’at tanggal 6 april
2012 waktu mabit di masjid abd jiddin totosari..
0 comments:
Post a Comment