Nisa sedang asyik di dalam kamarnya. Dia
memandangi kamar yang baru saja dimodifikasi orang tuanya. Kini ruangannya
serba berwarna biru muda. Dari cat tembok, sprei, korden jendela dan semua
barang-barang yang ada dalam ruangannya berwarna biru.
Esok hari,
kelulusan SMA se-Nusantara akan diumumkan. Nisa termasuk salah satu siswa yang
akan melihat namanya dalam papan pengumuman. Pada detik ini, dia sedang murung
di kamar bukan karena kelulusan tapi memikirkan agenda perpisahan bersama tujuh
rekan komplotannya.
Nisa berselancar di internet
mencari lokasi-lokasi wisata menarik di Yogyakarta. Cukup lama dia mencari tak
juga menemukan lokasi eksotis. Dia membuka facebook dan chat dengan beberapa
orang. Beberapa usulan tempat wisata didapatkannya dari teman-temannya.
Diantaranya adalah Gunung. Karena belum pernah mendaki gunung, usulan itu
dipilihnya.
Nisa mengambil handphone di
meja belajar. Tujuh sahabatnya dikirimi pesan singkat yang sama,”Besok kita
muncak yuuuuuk. Persiapkan semua. Kumpul di rumahku jam Empat sore!” dalam
waktu yang hampir bersamaan, sahabat-sahabatnya menjawab dengan kompak, “Siap,”
ada satu yang jawabannya tak sama. Rahma.
“Aku tak bisa memutuskan sebelum mendapat izin dari orang tua,”
Keesokan
harinya delapan sahabat berdiskusi di kantin sekolah menentukan gunung yang
akan jadi tujuan.
“Nanti kita
ke gunung mana?” Nita
membuka obrolan.
“Terserah Nisa saja deh. Kan dia yang
ngajak.” Irma
menyela perbincangan.
“Siiip. Nanti
surprise, ikut aku saja! Dijamin mantap deh tempatnya.” Nisa semangat.
“Tapi aku
belum dapat izin dari ortu. gimana?” sahut Rahma.
“Nanti aku
yang izinkan ke ortumu. Sepulang sekolah ke rumahmu,” kata Nisa
“Ide bagus.
Oke,” kata Rahma.
“Nanti jam
empat ke rumahku. Disiapkan semua. Mungkin nanti sampai empat hari di sana.”
“Hah!!! empat hari?” teman-temannya
kaget.
“Kayaknya
seru juga,” kata Irma. Tujuh gadis yang lain mengamininya.
Mereka bubar,
pulang ke rumah masing-masing. Nisa
langsung ke rumah Nurul.
“Om, tante,
saya mau ngajak Rahma
rekreasi untuk perpisahan,”
“Kemana, Nis?” tanya ayah Rahma.
“Mau muncak,”
jawab Nisa.
“Sama siapa
saja? ibu menyela.
“Sama Irma,
Nita,
Nena,
Elly, Ica, Indah,”
“Oh. Cewek
semua?”
“Iya.
Diizinkan ya, Tan? Om? Sekali ini saja. Sebelum kami daftar kuliah dan
berpisah,”
“Tante terserah
Rahma
saja,” kata ibu.
“Iya. Om
juga, Nis.
Yang penting kalian hati-hati dan jangan macam-macam,” usaha Nisa berhasil.
Sesuai janji,
jam empat sore delapan gadis bersahabat berkumpul di rumah Nisa. Rahma sangat bersemangat sore
itu. Dia lah yang datang lebih awal di rumah Nisa.
“Sudah siap, ma?” tanya Nisa.
“Sudah dong!
Nanti aku boncengan sama siapa?” tanya Rahma.
“Uhm. . . .
Kamu sendirian. Yang lain sudah dapat boncengan. Aku juga ngajak adikku,” jelas
Nisa.
“Memangnya
nanti kemana, Nis?”
tanya Rahma.
“Rahasia, ya.
Nanti ke gunung Merbabu,”
“Sip. Aku
sudah pernah kesana,”
“Wah. Bagus
dong. Biar ndak nyasar, kamu nanti di depan. Jadi penunjuk jalan,”
“Siap!”
Sepuluh menit
kemudian, semua sudah berkumpul. Mereka berangkat saat senja tiba. Lokasi puncak
cukup jauh melewati hutan dan jalan-jalan berkelok nan curam.
Di perjalanan
mereka bercanda membicarakan apapun. Irma mampir di sebuah toko membeli
beberapa botol wiski dan sebungkus rokok. Mereka sudah terbiasa dengan miras.
Hanya Nisa
yang tak pernah meminumnya. Soalnya dia punya kanker otak yang berbahaya jika
terkena miras.
Jam sebelas
malam mereka baru sampai kaki gunung. Jalan semakin curam dan berkelok
menanjak. Nampaknya mereka semakin menikmati perjalanan itu. Dianggapnya
sebagai tantangan. Rahma
memimpin perjalanan. Dia berada di depan kawan-kawannya. Karena sendirian, dia
bisa lebih leluasa.
Di atas
tengah malam, sebuah bis melaju kencang dari arah berlawanan. Rahma juga melaju kencang,
saat berbelok, bis mengerim mendadak lantaran tahu sepeda motor melaju di
depannya. Rahma
mencoba menghidarinya, namun saking kencangnya, dia tak mampu mengendarai motor
dengan baik. “Braaaak,” Rahma
terserempet bus, motor masih melaju hingga akhirnya terjatuh. Mengetahuinya,
tujuh gadis lainnya syok luar biasa. Bus yang menabraknya tetap melaju. Tak ada
yang mengejarnya.
Mereka
berhenti kebingungan. Hanya air mata, ya air mata yang tak ikut bingung. Air
mata langsung merespon kejadian itu. Sedangkan bagian tubuh lainnya masih
tercengang, seolah tak percaya dengan apa yang dilihat. Mereka berteriak. Tak
ada yang mendengar. Tubuh Rahma
bersimbah darah terutama bagian kepala. Jasadnya terkapar di jalan. Innalillahi
wainna ilaihi roji'un.
Tujuh gadis
dengan susah payah mengangkat mayat darah ke pinggir jalan. Kondisi sudah malam
dan berada di daerah kaki gunung yang jarang kendaraan lewat serta jauh dari
perkampungan. Tujuh gadis itu memutarinya. Mereka saling berpandangan lalu
berpelukan. Jam menunjukkan sekitar pukul satu malam. Mereka bingung tak tahu
harus berbuat apa. Menghubungi orang tuanya? Tak ada yang berani. Tiada yang
tahu siapa yang harus bertanggung jawab. Mereka hanya bisa menangis. Tangisan
karena kehilangan sahabat di depan mata untuk selamanya. Rencana
bersenang-senang pun gagal.
“Nanti biar
aku yang bilang kepada orang tuanya,” kata Nisa. Suaranya berat menahan tangis.
Jam enam
pagi, jasad Rahma
baru bisa dievakuasi. Dengan berat hati, Nisa memberanikan diri bilang pada
orang tua Rahma.
Ibunya langsung pingsan. Bapaknya diam tak bisa berucap apapun. Bis yang
menabraknya tak bisa terdeteksi sehingga tak ada yang bisa dimintai tanggung
jawab.
Peristiwa itu
merupakan pukulan keras bagi orang-orang dekat Rahma untuk Nisa. Kanker otak yang
selama ini bisa dilupakan tiba-tiba kembali menyeruak dalam pikiran. Hingga dia
merasa selalu dibayangi kematian. Kanker otaknya menjadi beban berat dalam hidup.
Hingga beberapa minggu Nisa
sering diam tak bicara. Bapaknya jarang pulang. Tiap hari keluar kota. Hanya
ibunya yang di rumah.
Nisa semakin rajin
memeriksakan penyakitnya. Tiap seminggu sekali Nisa memeriksakan kanker otak
diantarkan ibunya. Minggu-minggu awal, Nisa
masih diam membisu. Sebulan setelah kematian Rahma, ibu berani mengajak Nisa bicara.
“Kamu ndak
bisa begini terus, Nis.
Kamu harus segera daftar kuliah,” kata Ibunya. Nisa masih diam, mukanya pucat.
Keceriaannya dirampas oleh bayangan kematian.
“Aku tak mau
kuliah. Aku masuk ke pesantren saja, Bu,” kata Nisa. Ibunya tertegun mendengarnya.
“Aku ingin
bersimpuh di hadapan Tuhan. Menikmati kebesaran-Nya dengan beribadah. Aku tak
ingin mati tanpa bekal,”
“Ibu ndak
salah dengar?”
“Ndak,”
“Alhamdulillah.
Mau ke pesantren mana? di Krapyak atau di Sleman?” mata ibu berkaca-kaca. Tak
disangka, di tengah kehidupan Yogyakarta yang kental dengan budaya hedonis
serba hura-hura, anak gadisnya tiba-tiba ingin masuk pesantren.
“Ndak. Aku
ndak mau hidup di Yogya lagi,”
Setelah lama
berdiskusi, akhirnya Nisa
memutuskan masuk pesantren Al-Mukmin
di Ngruki
Solo.
Pertama kali
masuk pesantren, Nisa
menggemparkan santri terutama santri putra. Dandanannya bak artis, menawan
pandangan dengan celana ketat dan baju lengan panjang agak ketat. Rambutnya
sudah ditutupi kerudung ala kadarnya. Dia belum tahu berpakaian ala muslimah
yang baik. Selama beberapa hari, Nita belum bisa beradaptasi. Cara berpakaian
dan kebiasaannya di Yogya belum bisa hilang. Namun bagaimanapun, tiap sepertiga
malam terakhir harus dipaksa dibangunkan oleh pengurus pondok untuk tahajjud.
Lalu berzikir sampai subuh. Tiap sholat harus jama'ah. Harus ikut ngaji dan kegiatan
lainnya. Nita agak kesulitan membiasakan dirinya untuk mematuhi peraturan
pondok pesantren, hanya saja tiap kali ingat kanker otak, dia ketakutan dan
semakin khusyu' menghadap Allah.
Lama-lama
pengalaman spiritual membuat jiwa Nisa
semakin tenang. Tiap hari dia mendapatkan pengetahuan yang banyak tentang
Islam. Fikh, tasawuf, tauhid, bahasa Arab dan lainnya. Dia semakin sadar
apa yang dilakukannya di Yogya seperti menghabiskan waktu dengan
sia-sia, meremehkan ibadah, menyakiti orang lain, meremehkan orang miskin, tak
taat pada orang tua adalah perbuatan dosa. Dosa yang harus segera dibersihkan
dengan memohon ampunan pada Tuhan beserta menabah kualitas taqwa.
Tak jarang
air mata Nisa
mengalir saat mengingat masa lalunya yang sia-sia. Astaghfirullah, seringkali
kata-kata itu terucap dari bibirnya yang indah.
Memasuki
bulan Ramadhan, kegiatan ibadah bertambah padat. Zikir di malam hari bertambah
panjang. Pengajian juga semakin lama. Aktifitas ini membuat kondisi kejiwaannya
semakin meningkat. Dia merasa kedekatannya pada Tuhan seperti tak berjarak
lagi. Seolah siap tercabut nyawanya untuk segera bertemu Tuhan.
Nisa bisa menangis saat
membaca ayat-ayat mukjizat al Quran meski tak tahu maknanya. Saat semua santri
tertidur dia membaca zikir sambil menangis, terus menangis. Hingga pada suatu
malam, sekitar pukul dua malam dia tertidur dalam zikirnya dengan posisi duduk
di musholla. Tiba-tiba ada sesosok berjubah hijau mendekatinya dan mengatakan
“Aku pinjam
ruhmu,” Nisa
tak mampu berkata apa-apa. Dia juga tak mampu melihat wajah sosok itu. Entah
siapa orang itu, dia hanya manut saja.
Ruh Nisa dibawa terbang memasuki
alam lain. Dia dibawa dalam peristiwa yang menggambarkan kejadian setelah
kematian. Tentang siksa kubur. Betapa banyaknya orang berteriak, menjerit
kesakitan disiksa oleh malaikat. Lalu Nisa
diperlihatkan peristiwa bangkitnya manusia dari kematian. Dia dapat melihat
dengan jelas bagaimana wajah manusia yang bermacam-macam. Ada yang seperti
babi, ada yang seperti anjing. Ada yang perutnya membesar. Ada yang masih utuh.
“Wajah mereka
sesuai amal ibadah dan lainnya,” sosok berjubah itu menjelaskan.
Peristiwa itu
terlihat dengan jelas tanpa keraguan. Nisa
melihat kejadian-kejadian itu dengan mata kepalanya. Dia ketakutan luar biasa.
Tubuhnya merinding gemetaran meski di depannya masih ada sosok berjubah hijau
sedang menuntunnya. Nisa
merasa dirinya sudah mati. Air matanya berderai. Mau menjerit tak ada suara.
Namun anggapannya salah setelah dia dibawa lagi ke alamnya lalu sosok hijau itu
bilang,”Kukembalikan lagi ruhmu,” Nisa
tersadar,
Saat ruhnya
kembali, Nisa
langsung sadar. Badannya menggigil ketakutan dan keringatan. Dia mencari sosok
manusia itu di sekitarnya. Tapi sejauh mata memandang, sosok itu tak ada.
Nisa mencoba bertanya pada
teman-temannya.
“Mbak. Bangun
Mbak!!! Tadi lihat orang berjubah hijau kesini,” Nisa masih gemetaran.
“Tak tahu,
aku ngantuk,” kata santri di sampingnya. Nisa membangunkan santri di
belakangnya.
“Mbak!!
Bangun mbak!! Tadi lihat ada orang berjubah hijau di sini?”
“Aku ndak
tahu. Mimpi mungkin,” jawab santri lalu melanjutkan tidurnya lagi. Nisa masih ketakutan. Tak
ada yang tahu kejadian tadi. Dia bingung harus bertanya pada siapa. Tak lama
terdengar suara adzan subuh. Dalam sholat, dia menangis lagi mengingat kanker
otak yang telah lama menjadi bom waktu dalam dirinya. Entah kapan bom waktu itu
akan meledak. Setelah jama'ah, Nisa
menemui kiainya. Diceritakannya apa yang terjadi malam itu dengan detali. Sang
kiai hanya mampu menjawab.
“Wallahu
a'alamu bis showab, Allah maha tahu akan kebenaran. Mungkin tadi malam adalah
malam lailatul qodar,” Meski belum mendapat jawaban yang memuaskan, Nisa semakin menjadi hamba
yang khusyu'.
Hari Jumat Nisa kontrol kankernya ke
rumah sakit PKU Muhammadiyah
di Solo
sendirian. Saat itu dia puasa, wajahnya nampak pucat.
“Bagaimana
kankerku, Dok?” tanya Nisa.
“Subhanallah,
Nis.
Ajaib.”
“Ada apa?”
“Kankermu
hilang!!!”
Nisa tertegun tak percaya.
“Jangan becanda, Dok!”
“Saya
serius,” dokter memberikan hasil diagnosanya kepada Nisa. Nisa bertakbir lalu bersujud
saat itu juga. Air matanya kembali berderai.
Kankernya
yang hilang bukan berarti membuatnya tak takut akan kematian. Makin hari
waktunya hanya dihabiskan untuk ibadah, membaca dan berbuat baik dengan
orang-orang yang dikenalnya. Dalam hati dia mampu Memantapkan bahwa Allah lah
dzat yang Maha Dahsyat. Tiada yang lain yang pantas dicintai.
0 comments:
Post a Comment