INI LANGKAHKU

Sunday, April 15, 2012

Keajaiban untuk Annisa


Nisa sedang asyik di dalam kamarnya. Dia memandangi kamar yang baru saja dimodifikasi orang tuanya. Kini ruangannya serba berwarna biru muda. Dari cat tembok, sprei, korden jendela dan semua barang-barang yang ada dalam ruangannya berwarna biru.
Esok hari, kelulusan SMA se-Nusantara akan diumumkan. Nisa termasuk salah satu siswa yang akan melihat namanya dalam papan pengumuman. Pada detik ini, dia sedang murung di kamar bukan karena kelulusan tapi memikirkan agenda perpisahan bersama tujuh rekan komplotannya.
Nisa berselancar di internet mencari lokasi-lokasi wisata menarik di Yogyakarta. Cukup lama dia mencari tak juga menemukan lokasi eksotis. Dia membuka facebook dan chat dengan beberapa orang. Beberapa usulan tempat wisata didapatkannya dari teman-temannya. Diantaranya adalah Gunung. Karena belum pernah mendaki gunung, usulan itu dipilihnya.  
Nisa mengambil handphone di meja belajar. Tujuh sahabatnya dikirimi pesan singkat yang sama,”Besok kita muncak yuuuuuk. Persiapkan semua. Kumpul di rumahku jam Empat sore!” dalam waktu yang hampir bersamaan, sahabat-sahabatnya menjawab dengan kompak, “Siap,” ada satu yang jawabannya tak sama. Rahma. “Aku tak bisa memutuskan sebelum mendapat izin dari orang tua,”
Keesokan harinya delapan sahabat berdiskusi di kantin sekolah menentukan gunung yang akan jadi tujuan.
“Nanti kita ke gunung mana?” Nita membuka obrolan.
“Terserah Nisa saja deh. Kan dia yang ngajak.” Irma menyela perbincangan.
“Siiip. Nanti surprise, ikut aku saja! Dijamin mantap deh tempatnya.” Nisa semangat.
“Tapi aku belum dapat izin dari ortu. gimana?” sahut Rahma.
“Nanti aku yang izinkan ke ortumu. Sepulang sekolah ke rumahmu,” kata Nisa
“Ide bagus. Oke,” kata Rahma.
“Nanti jam empat ke rumahku. Disiapkan semua. Mungkin nanti sampai empat hari di sana.”
“Hah!!! empat hari?” teman-temannya kaget.
“Kayaknya seru juga,” kata Irma. Tujuh gadis yang lain mengamininya.
Mereka bubar, pulang ke rumah masing-masing. Nisa langsung ke rumah Nurul. 
“Om, tante, saya mau ngajak Rahma rekreasi untuk perpisahan,”
“Kemana, Nis?” tanya ayah Rahma.
“Mau muncak,” jawab Nisa.
“Sama siapa saja? ibu menyela.
“Sama Irma, Nita, Nena, Elly, Ica, Indah,”
“Oh. Cewek semua?”
“Iya. Diizinkan ya, Tan? Om? Sekali ini saja. Sebelum kami daftar kuliah dan berpisah,”
“Tante terserah Rahma saja,” kata ibu.
“Iya. Om juga, Nis. Yang penting kalian hati-hati dan jangan macam-macam,” usaha Nisa berhasil.
Sesuai janji, jam empat sore delapan gadis bersahabat berkumpul di rumah Nisa. Rahma sangat bersemangat sore itu. Dia lah yang datang lebih awal di rumah Nisa.
“Sudah siap, ma?” tanya Nisa.
“Sudah dong! Nanti aku boncengan sama siapa?” tanya Rahma.
“Uhm. . . . Kamu sendirian. Yang lain sudah dapat boncengan. Aku juga ngajak adikku,” jelas Nisa.
“Memangnya nanti kemana, Nis?” tanya Rahma.
“Rahasia, ya. Nanti ke gunung Merbabu,”
“Sip. Aku sudah pernah kesana,”
“Wah. Bagus dong. Biar ndak nyasar, kamu nanti di depan. Jadi penunjuk jalan,”
“Siap!”
Sepuluh menit kemudian, semua sudah berkumpul. Mereka berangkat saat senja tiba. Lokasi puncak cukup jauh melewati hutan dan jalan-jalan berkelok nan curam.
Di perjalanan mereka bercanda membicarakan apapun. Irma mampir di sebuah toko membeli beberapa botol wiski dan sebungkus rokok. Mereka sudah terbiasa dengan miras. Hanya Nisa yang tak pernah meminumnya. Soalnya dia punya kanker otak yang berbahaya jika terkena miras.
Jam sebelas malam mereka baru sampai kaki gunung. Jalan semakin curam dan berkelok menanjak. Nampaknya mereka semakin menikmati perjalanan itu. Dianggapnya sebagai tantangan. Rahma memimpin perjalanan. Dia berada di depan kawan-kawannya. Karena sendirian, dia bisa lebih leluasa.
Di atas tengah malam, sebuah bis melaju kencang dari arah berlawanan. Rahma juga melaju kencang, saat berbelok, bis mengerim mendadak lantaran tahu sepeda motor melaju di depannya. Rahma mencoba menghidarinya, namun saking kencangnya, dia tak mampu mengendarai motor dengan baik.  “Braaaak,” Rahma terserempet bus, motor masih melaju hingga akhirnya terjatuh. Mengetahuinya, tujuh gadis lainnya syok luar biasa. Bus yang menabraknya tetap melaju. Tak ada yang mengejarnya.
Mereka berhenti kebingungan. Hanya air mata, ya air mata yang tak ikut bingung. Air mata langsung merespon kejadian itu. Sedangkan bagian tubuh lainnya masih tercengang, seolah tak percaya dengan apa yang dilihat. Mereka berteriak. Tak ada yang mendengar. Tubuh Rahma bersimbah darah terutama bagian kepala. Jasadnya terkapar di jalan. Innalillahi wainna ilaihi roji'un.
Tujuh gadis dengan susah payah mengangkat mayat darah ke pinggir jalan. Kondisi sudah malam dan berada di daerah kaki gunung yang jarang kendaraan lewat serta jauh dari perkampungan. Tujuh gadis itu memutarinya. Mereka saling berpandangan lalu berpelukan. Jam menunjukkan sekitar pukul satu malam. Mereka bingung tak tahu harus berbuat apa. Menghubungi orang tuanya? Tak ada yang berani. Tiada yang tahu siapa yang harus bertanggung jawab. Mereka hanya bisa menangis. Tangisan karena kehilangan sahabat di depan mata untuk selamanya. Rencana bersenang-senang pun gagal.
“Nanti biar aku yang bilang kepada orang tuanya,” kata Nisa. Suaranya berat menahan tangis.
Jam enam pagi, jasad Rahma baru bisa dievakuasi. Dengan berat hati, Nisa memberanikan diri bilang pada orang tua Rahma. Ibunya langsung pingsan. Bapaknya diam tak bisa berucap apapun. Bis yang menabraknya tak bisa terdeteksi sehingga tak ada yang bisa dimintai tanggung jawab.
Peristiwa itu merupakan pukulan keras bagi orang-orang dekat Rahma untuk Nisa. Kanker otak yang selama ini bisa dilupakan tiba-tiba kembali menyeruak dalam pikiran. Hingga dia merasa selalu dibayangi kematian. Kanker otaknya menjadi beban berat dalam hidup. Hingga beberapa minggu Nisa sering diam tak bicara. Bapaknya jarang pulang. Tiap hari keluar kota. Hanya ibunya yang di rumah.
Nisa semakin rajin memeriksakan penyakitnya. Tiap seminggu sekali Nisa memeriksakan kanker otak diantarkan ibunya. Minggu-minggu awal, Nisa masih diam membisu. Sebulan setelah kematian Rahma, ibu berani mengajak Nisa bicara.
“Kamu ndak bisa begini terus, Nis. Kamu harus segera daftar kuliah,” kata Ibunya. Nisa masih diam, mukanya pucat. Keceriaannya dirampas oleh bayangan kematian.
“Aku tak mau kuliah. Aku masuk ke pesantren saja, Bu,” kata Nisa. Ibunya tertegun mendengarnya.
“Aku ingin bersimpuh di hadapan Tuhan. Menikmati kebesaran-Nya dengan beribadah. Aku tak ingin mati tanpa bekal,”
“Ibu ndak salah dengar?”
“Ndak,”
“Alhamdulillah. Mau ke pesantren mana? di Krapyak atau di Sleman?” mata ibu berkaca-kaca. Tak disangka, di tengah kehidupan Yogyakarta yang kental dengan budaya hedonis serba hura-hura, anak gadisnya tiba-tiba ingin masuk pesantren.
“Ndak. Aku ndak mau hidup di Yogya lagi,”
Setelah lama berdiskusi, akhirnya Nisa memutuskan masuk pesantren Al-Mukmin di Ngruki Solo.
Pertama kali masuk pesantren, Nisa menggemparkan santri terutama santri putra. Dandanannya bak artis, menawan pandangan dengan celana ketat dan baju lengan panjang agak ketat. Rambutnya sudah ditutupi kerudung ala kadarnya. Dia belum tahu berpakaian ala muslimah yang baik. Selama beberapa hari, Nita belum bisa beradaptasi. Cara berpakaian dan kebiasaannya di Yogya belum bisa hilang. Namun bagaimanapun, tiap sepertiga malam terakhir harus dipaksa dibangunkan oleh pengurus pondok untuk tahajjud. Lalu berzikir sampai subuh. Tiap sholat harus jama'ah. Harus ikut ngaji dan kegiatan lainnya. Nita agak kesulitan membiasakan dirinya untuk mematuhi peraturan pondok pesantren, hanya saja tiap kali ingat kanker otak, dia ketakutan dan semakin khusyu' menghadap Allah.
Lama-lama pengalaman spiritual  membuat jiwa Nisa semakin tenang. Tiap hari dia mendapatkan pengetahuan yang banyak tentang Islam. Fikh, tasawuf, tauhid, bahasa Arab dan lainnya. Dia semakin sadar  apa yang dilakukannya di Yogya  seperti menghabiskan waktu dengan sia-sia, meremehkan ibadah, menyakiti orang lain, meremehkan orang miskin, tak taat pada orang tua adalah perbuatan dosa. Dosa yang harus segera dibersihkan dengan memohon ampunan pada Tuhan beserta menabah kualitas taqwa.
Tak jarang air mata Nisa mengalir saat mengingat masa lalunya yang sia-sia. Astaghfirullah, seringkali kata-kata itu terucap dari bibirnya yang indah.
Memasuki bulan Ramadhan, kegiatan ibadah bertambah padat. Zikir di malam hari bertambah panjang. Pengajian juga semakin lama. Aktifitas ini membuat kondisi kejiwaannya semakin meningkat. Dia merasa kedekatannya pada Tuhan seperti tak berjarak lagi. Seolah siap tercabut nyawanya untuk segera bertemu Tuhan.
Nisa bisa menangis saat membaca ayat-ayat mukjizat al Quran meski tak tahu maknanya. Saat semua santri tertidur dia membaca zikir sambil menangis, terus menangis. Hingga pada suatu malam, sekitar pukul dua malam dia tertidur dalam zikirnya dengan posisi duduk di musholla. Tiba-tiba ada sesosok berjubah hijau mendekatinya dan mengatakan
“Aku pinjam ruhmu,” Nisa tak mampu berkata apa-apa. Dia juga tak mampu melihat wajah sosok itu. Entah siapa orang itu, dia hanya manut saja.
Ruh Nisa dibawa terbang memasuki alam lain. Dia dibawa dalam peristiwa yang menggambarkan kejadian setelah kematian. Tentang siksa kubur. Betapa banyaknya orang berteriak, menjerit kesakitan disiksa oleh malaikat. Lalu Nisa diperlihatkan peristiwa bangkitnya manusia dari kematian. Dia dapat melihat dengan jelas bagaimana wajah manusia yang bermacam-macam. Ada yang seperti babi, ada yang seperti anjing. Ada yang perutnya membesar. Ada yang masih utuh.
“Wajah mereka sesuai amal ibadah dan lainnya,” sosok berjubah itu menjelaskan.
Peristiwa itu terlihat dengan jelas tanpa keraguan. Nisa melihat kejadian-kejadian itu dengan mata kepalanya. Dia ketakutan luar biasa. Tubuhnya merinding gemetaran meski di depannya masih ada sosok berjubah hijau sedang menuntunnya. Nisa merasa dirinya sudah mati. Air matanya berderai. Mau menjerit tak ada suara. Namun anggapannya salah setelah dia dibawa lagi ke alamnya lalu sosok hijau itu bilang,”Kukembalikan lagi ruhmu,” Nisa tersadar,
Saat ruhnya kembali, Nisa langsung sadar. Badannya menggigil ketakutan dan keringatan. Dia mencari sosok manusia itu di sekitarnya. Tapi sejauh mata memandang, sosok itu tak ada.
Nisa mencoba bertanya pada teman-temannya.
“Mbak. Bangun Mbak!!! Tadi lihat orang berjubah hijau kesini,” Nisa masih gemetaran.
“Tak tahu, aku ngantuk,” kata santri di sampingnya. Nisa membangunkan santri di belakangnya.
“Mbak!! Bangun mbak!! Tadi lihat ada orang berjubah hijau di sini?”
“Aku ndak tahu. Mimpi mungkin,” jawab santri lalu melanjutkan tidurnya lagi. Nisa masih ketakutan. Tak ada yang tahu kejadian tadi. Dia bingung harus bertanya pada siapa. Tak lama terdengar suara adzan subuh. Dalam sholat, dia menangis lagi mengingat kanker otak yang telah lama menjadi bom waktu dalam dirinya. Entah kapan bom waktu itu akan meledak. Setelah jama'ah, Nisa menemui kiainya. Diceritakannya apa yang terjadi malam itu dengan detali. Sang kiai hanya mampu menjawab.
“Wallahu a'alamu bis showab, Allah maha tahu akan kebenaran. Mungkin tadi malam adalah malam lailatul qodar,” Meski belum mendapat jawaban yang memuaskan, Nisa semakin menjadi hamba yang khusyu'.
Hari Jumat Nisa kontrol kankernya ke rumah sakit PKU Muhammadiyah di Solo sendirian. Saat itu dia puasa, wajahnya nampak pucat.
“Bagaimana kankerku, Dok?” tanya Nisa.
“Subhanallah, Nis. Ajaib.”
“Ada apa?”
“Kankermu hilang!!!”
Nisa tertegun tak percaya. “Jangan becanda, Dok!”
“Saya serius,” dokter memberikan hasil diagnosanya kepada Nisa. Nisa bertakbir lalu bersujud saat itu juga. Air matanya kembali berderai.
Kankernya yang hilang bukan berarti membuatnya tak takut akan kematian. Makin hari waktunya hanya dihabiskan untuk ibadah, membaca dan berbuat baik dengan orang-orang yang dikenalnya. Dalam hati dia mampu Memantapkan bahwa Allah lah dzat yang Maha Dahsyat. Tiada yang lain yang pantas dicintai. 

0 comments:

Post a Comment