INI LANGKAHKU

Saturday, April 7, 2012

INILAH AKU ANAK PETANI DESA


                             
Aku anak desa, bapakku petani biasa. Petani desa yang tak pernah mendapatakan teori-teori pertanian di bangku kuliah. Petani kuno yang menanam padi sesuai dengan tradisi desa yang turun-temurun. Aku kagum dengan petani-petani desa, terutama dengan bapakku. Dia punya filosofis yang menakjubkan.
“Sejak dulu hingga sekarang, petani selalu menjadi masyarakat yang tingkat ekonominya menengah ke bawah. Tapi kenapa kami tak berganti profesi. Karena petani bahagia bisa melihat padi yang ditanam bisa tumbuh dengan hijaunya. Itu sama dengan menghidupkan satu nyawa,” begitu kata bapakku suatu waktu.
 Yang buatku kagum dengan petani lagi karena mereka tak pernah risau dengan pergantian penguasa negara, tak iri melihat PNS yang digaji negara.
Pagi-pagi buta setelah berzikir sholat subuh, para petani sudah melangkahkan kakinya ke sawh. Hasil panen mereka tergantung kerajinan dan keuletan dalam bertani. Beda jauh dengan PNS. Malas atau tidak dalam bekerja, gaji yang mereka dapatkan pun sama.
Sementara ibuku hanya ibu rumah tangga biasa. Wanita pedesaaan yang selalu setia menyeduhkan kopi maupun teh untuk suaminya. Tiap pagi sebelum sang suami pergi ke sawah. Sama seperti bapak, ibuku menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga tanpa teori-teori modern. Ibuku tak kenal feminisme atau isu gender. Tapi dia bisa menjadi ibu yang baik untuk suami dan anak-anaknya
Bapak dan ibuku sejak lahir beragama Islam karena dalam lingkungan Islam. Keduanya cukup taat agama. Bisa dilihat dari sholat lima waktu yang dijalankan rutin meski jarang jamaah karena memang lumayan jauh juga dari surau kampung . Ajaran Islam yang didapatkan oleh bapak dan ibuku didapatkan dari modin dan kiai kampung. Ajaran Islam dapat dilakukan bak sebuah tradisi.
Tahlil rutin, yasinan rutin dan kegiatan rutin lainnya sampai sekarang masih berjalan di desaku meski mereka, warga kampungku tak mengenal pemikir Islam modern semacam Jamaluddin al Afghani, Fazlur Rahman, Muhammad Abduh, Muhammad Arkoun dan Nurcholis Madjid. Apalagi tokoh-tokoh pemikir Barat seperti Karl Marx, Max Webber, Emile Durkheim dan Habermas. Tak satu pun yang mereka kenal. Namun mereka lancar dalam mendongeng kisah Walisongo atau karomah kiai ini atau kiai itu.
Aku terlahir dalam lingkungan yang damai seperti demikian. Wajar jika sejak kecil aku sudah lancar baca al Quran. Sejak usia empat tahun, anak-anak di desaku sudah diajari al Quran.
Kami masyarakat petani yang rata-rata kekayaannya menengah ke bawah. Tapi itu sangat cukup untuk hidup. Kedamaian dan ketenteraman dapat dirasakan sebab kami tak mengenal materialisme dan kapitalisme.
Meski aku bukan anak orang yang istimewa. Bukan anak professor, bukan anak pengusaha, bukan anak seorang pengacara, dosen atau seorang guru, entah kenapa Tuhan menganugerahiku kelebihan. Aku dapat menghitung dengan cepat dan mampu menghafal rumus-rumus dengan baik. Awalnya aku tak tahu kelebihan itu. Hingga suatu ketika
“Hanif! Minggu depan ada lomba matematika tingkat kecamatan. Kamu mewakili sekolah!” pinta guru matematika.
“Iya, Bu!” hanya jawaban singkat itu yang bisa kulontarkan.
“Mulai besok, kamu harus datang ke rumah ibu. Kamu akan kuberi pelajaran matematika tambahan. Untuk persiapan lomba,”
“Iya, Bu!” lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk patuh.
Tapi sayang, seminggu setelahnya aku kalah. Yang lebih menyakitkan lagi, aku kalah dengan seorang gadis cantik dari sekolah lain. Sejak upacara pembukaan perlombaan aku sudah meliriknya. Ternyata dia jadi juara. Seandainya dia tahu aku mengagumi kecantikannya, aku akan bertambah malu karena kalah dengannya.
***
Tiga tahun selanjutnya, saat aku kelas tiga MTs, aku kembali terpilih mewakili sekolah dalam olimpiade matematika bergengsi se-Karesidenan. Aku adalah salah satu di antara lima orang dari seribu siswa sekolahku. Sedikit pun tak ada apresiasi dari orang tuaku untukku. Ucapan selamat pun tidak terucap. Tapi aku yakin mereka terus mendoakanku.
Saat olimpiade, aku berjumpa lagi dengan gadis cantik yang menjuarai lomba matematika tingkat SD. Aku mulai berani mendekati dan berkenalan dengannya lewat temanku.
“Mutia. Kenalkan ini Hanif. Hanif, kenalkan ini Mutia.” Fatimah mengenalkanku. Mengembang senyum indah di wajah Mutia. Aku sangat senang.
Lima kali mewakili MTs, dua kali aku memenangi olimpiade. Pertama dalam olimpiade yang ketiga tingkat provinsi di Semarang, aku menjuarainya. Untuk pertama kalinya aku mengangkat tropi sebesar tubuhku yang kerdil.
Lagi-lagi karena orang tuaku orang yang biasa-biasa saja. Bukan aku diberi hadiah, malah hadiah yang kudapatkan dari penyelenggara lomba diambilnya dariku. Tak apa-apa, jika tidak demikian, apalagi yang akan kupersembahkan kepada kedua orang tuaku?
Selanjutnya olimpiade se-karesidenan Surakarta. Pesertanya dari SMP dan Mts se-karesidenan Surakarta, Jogja dan Purwodadi. Merasa di atas angin setelah menjuarai olimpiade se-provinsi, aku agak sedikit sombong. Hanya saja, saat itu aku sedang dirundung cinta dengan Mutia. Targetku bukan lagi menjuarai olimpiade, tapi untuk menemuinya di sela-sela istirahat olimpiade.
“Mutia. Besok kamu ikut lomba kan?” tanyaku lewat telpon.
“Iya. Kamu juga pasti mewakili sekolahmu!” aku tersenyum mendengarnya.
“Besok kita ketemu lagi dong?”
“Pasti,”
“Sampai berjumpa esok. Berani berlomba denganku? Siapa nanti yang akan juara?” tantangku
“Siapa takut!” percakapan di telpon berhenti dengan tantangan.
“Mungkinkah aku mengalahkan Mutia?”
Tak mungkin dia menyukaiku. Dia cantik dan cerdas. Anak kaum borjuis kaya raya di kecamatanku. Entah orang tuanya penganut paham kapitalis atau tidak, yang kutahu dia anak orang kaya.
Tak ada yang bisa kupamerkan kepadanya selain mengangkat tropi olimpiade di hadapannya? Fisik anak petani sepertiku nampaknya tak akan menarik perhatian anak pengusaha kaya sepertinya. Ya. Hanya tropi yang bisa kujadikan nilai tawar untuk pantas menyukainya.
***
Keesokan harinya. Apa yang terjadi? pada babak seleksi nilai Mutia tertinggi. Sedang aku hanya di urutan kelima. Tanpa sengaja aku dan Mutia berjumpa di depan papan pengumuman.
“Lolos seleksi, Mut?” tanyaku.
“Itu. Aku di urutan teratas.” Wajahnya ceria dan senang.
“Gimana denganmu?” tanya Mutia.
“Alhamdulillah lolos. Aku berada di urutan kelima,”
“Perlombaan belum selesai. Kita masih bersaing. Sampai jumpa,” dia kembali menantangku. Dalam suasana lomba sepert ini, bukan waktunya belajar. Saatnya menunggu campur tangan Tuhan melalui keberuntungan.
Doaku terkabul. Pada babak final, soal yang diberikan panitia cukup mudah buatku. Aku dapat mengerjakan dengan mudah. Kulihat Mutia seperti orang kesulitan. Wajahnya serius dengan tangan yang tak henti-hentinya menggerak-gerakkan pulpen. Aku optimis bisa mengalahkannya.
Ketika waktu sudah habis, dia masih saja mengerjakan soal. Tandanya dia masih belum bisa menyelesaikan. Yes. Aku pasti mengalahkanmu, Mutia.
Ada waktu tiga puluh menit menunggu pengumuman. Aku berkumpul dengan peserta lain dari sekolahku. Kulihat Mutia juga sama. Dia berkumpul dengan guru dan teman-teman satu sekolahnya.
Pengumuman dibacakan bersamaan penutupan lomba. Tak henti-hentinya aku membaca doa untuk mengatut detak jantungku yang tak menentu. Kalau bukan karena bersaing dengan Mutia, mungkin aku tak bergetar seperti ini.
“Juara harapan ketiga, Iqbal Maulana dari SMP 1 Purwodadi,” tepuk tangan bergemuruh dalam ruangan. Aku masih deg-degan. Keringat dingin mulai keluar.
“Juara harapan kedua, Mutia Ramadhani dari SMP 1 Surakarta.” Tepuk tangan kembali bergemuruh. Aku agak lega. Mutia hanya bisa mendapat juara harapan. Mudah-mudahan aku bisa melebihinya.
Nama-nama juara telah disebut. Tinggal juara pertama. Aku memejamkan mata. Mulutku terus membaca doa. Membaca al fatihah, membaca sholawat, tasbih, tahlil dan semua dzikit kubaca.
“Juara pertama. Hanif Fatih Al-Huda dari MTs Negeri 1 Surakarta.” aku langsung tersungkur meletakkan kepalaku di tanah. Sejenak aku bersujud. Merasakan kebahagiaan. Akhirnya dapat mengalahkan Mutia.
Semua pemenang maju ke depan. Kulirik Mutia dengan senyuman. Dia mendatangiku.
“Selamat, Hanif. Kau menang hari ini. Hebat!” aku tak bisa berucap apa-apa. Piala kuangkat setinggi-tingginya.
“Mutia. Bisakah kita foto berdua dengan membawa piala?” ajakku. Mutia hanya mengangguk. Kusuruh temanku memotoku.
Aku pulang setelah acara selesai. Piala yang kudapat hanya bisa kubawa sebentar. Selanjutnya menjadi milik sekolah. Aku hanya mendapat uang dan sertifikat. Barang itu tak dapat kupamerkan kepada orang tuaku. Lagi pula barang itu juga tak penting.
“Alhamdulillah, Bu. Aku dapat juara satu. Ini hadiahnya,” hadiahnya langsung kuberi kepada ibuku. Bapak dan ibu menerima uang itu tanpa bicara. Tanpa memberi selamat. Malah bertanya jumlah uang yang kudapat.
“Dapat uang berapa?”
“Tak tahu. Uangnya belum kubuka,” amplop berisi uang itu dibuka kedua orang tuaku.
“Alhamdulillah dapat lima ratus ribu,” ibu mau memberiku seratus ribu.
“Lima puluh ribu saja, Bu,” aku tahu kebutuhan di rumah masih banyak. Aku juga belum perlu uang itu. Asal aku bisa sekolah tiap hari, aku sudah bersyukur.
***
Sebentar lagi pendaftaran SMA. Aku bukan mendaftar di SMA favorit, aku malah masuk pesantren salaf. Namun orang tuaku sangat bahagia punya anak yang belajar di pesantren. Yang diinginkan orang tua di desa cukup sederhana. Punya anak sholih yang mendoakan kedua orang tuanya. Kehidupan duniawi bisa dicari dengan mudah.
“Aku ingin punya anak yang mau berjuang untuk agama. Tapi ingat! Untuk memperjuangkan agama, harus siap hidup melarat dan susah,” begitu kata bapakku. Aku sendiri kurang tahu apa maksudnya.
Sebenarnya ada alasan lain kenapa aku memutuskan masuk pesantren. Masalah biaya. Di pesantren biaya pendidikan lebih murah.
Di pesantren, aku masih bisa sekolah di madrasah aliyah swasta. Pelajaran agama mendominasi, sedang Matematika dianggap sebagai pelajaran tak penting. Katanya, Matematika itu pelajaran duniawi. aku masih menganggap matematika sebagai pelajaran favoritku. Apalagi dengan Matematika aku bisa mendekati Mutia.
Sekarang aku tak tahu bagaimana kabar Mutia. Kabar terakhir yang kudapat, dia masuk sekolah akselerasi favorit di Semarang. Apa yang tidak bisa dia dapatkan. Selain cerdas dia juga anak orang kaya. Sekolah manapun dapat dia masuki.
Dalam pengamatanku, guru yang mengajar Matematika di pesantren kurang berkompeten. Bahkan sering tak masuk. Biasanya teman-teman memintaku maju dan mengajari para santri jika guru tak hadir. Aku pun tak segan-segan maju ke depan dan menerangkan Matematika kepada mereka. Meski agak susah.
Cerita mengajarku dikelas didengar oleh salah seorang ustazd di pesantren.
“Hanif. Di MTs ada satu kelas unggulan. Saya minta kamu mengajar mereka tiap malam.”
“Iya, Ustadz,”
Ternyata mengajari siswa-siswa unggulan lebih mudah. Mereka dapat memahami keteranganku dengan mudah. Aku pun kembali bersemangat. Hingga berbulan-bulan aku mengajari mereka sampai lulus pesantren.
 Tapi ternyata kemampuanku hanya bisa menguasai pelajaran SMP. Tidak pelajaran sekelas SMA. Buktinya saat aku mencoba nekat mengikuti olimpiade matematika di tingkat kabupaten. Aku tak mampu lolos seleksi. Aku yakin tak lagi bisa bersaing dengan Mutia. Tak ada lagi yang bisa kuandalkan untuk mendekati Mutia. Aku pantas menjauh darinya.
Sampai lulus pesantren, akhirnya aku bisa menjadi apa yang diinginkan oleh orang tuaku. Menjadi pejuang agama dengan mengajar Islam di beberapa lembaga pendidikan agama. Tiap pagi aku membantu orang tua ke sawah. Sore hingga malam aku mengajar sebagai wujud pengabdianku terhadap Islam. Matematika hanya jadi kenangan. Sama seperti Mutia, dia hanya jadi kenangan manis dalam hidupku. Aku sekarang menjadi seorang Petani yang tak berhenti mengabdi untuk agamaku.
Menegakkan agama di kampungku, selain petani aku juga menjadi ustadz bagi para warga kampungku. Inilah yang diinginkan oleh orang tuaku hidup dalam kesederhanaan dan selalu ingat dan taat pada agama islam. Akhirnya pun aku menikah dengan seorang muslimah dari desa seberang yang juga aku tak mengenal siapakah dia? Aku mengenalnya pada waktu ta’aruf sebelum menikah. Allah Maha Kuasa semua takdir tiap manusia memang berada pada Allah. Aku pun bahagia dengan kehidupanku bersama keluargaku. Inilah aku anak petani desa dengan kesederhanaanku dan keluargaku. 





Hari jum’at tanggal 6 april 2012 waktu mabit di masjid abd jiddin totosari..

0 comments:

Post a Comment