INI LANGKAHKU

Monday, April 2, 2012

Cinta Kasih Di Kedungtuban



Jam setengah tiga malam, Sa’id menginjakkaan kaki di desanya. Suara binatang-binatang malam menyambut kedatangannya bersama suara dari masjid dan musholla desa yang sudah memutar rekaman lantunan ayat Quran Syekh Sudais untuk membangunkan warga kampung yang masih tertidur pulas.
Sa’id meletakkan tas besar dan kardusnya sembari menghirup nafas panjang. Matanya terpejam, merasakan udara pagi yang menyegarkan pikiran. Dia menggerak-gerakkan badannya. Melemaskan otot-ototnya yang kaku setelah berjam-jam berada dalam bus.
Meski baru dua bulan, aku sudah merindukan desa ini. Sudah lama tak menghirup udara sesegar ini.
Dia menenteng tas, berjalan ke rumahnya.
“Tok..tok...tok...
Assalamu alaikum, Ummi. Sa’id pulang,” tak ada yang menjawab. Diulanginya lagi. “Sa’id pulang, Ummi,”
Terdengar suara sandal terseok mendekati pintu rumah. Klek. Pintu terbuka. Sa’id meraih tangan Ummi dan diciumnya.
Ummi tersenyum sambil memegangi bahu Sa’id yang lebih tinggi darinya. “Kok tambah kurus, Nak?”
“Inggih, Mi. Abi kemana?” baru saja Sa’id bertanya, Abi sudah muncul. Disambutnya tangan Abinya lalu dicium tangannya. Mengembang senyum di bibir Abi.
“Berangkat jam berapa dari Yogya?” tanya Abinya
“Jam sembilan, Bi.”
“Bagaimana kuliahmu?”
“Alhamdulillah semester depan wisuda, Bi.”
Sa’id menaruh barang-barangnya ke dalam kamar. Abi dan Umminya kembali tidur ke dalam kamar.
“Istirahat dulu, Nak!” perintah Abi. Sa’id mengabaikannya. Dia kembali ke ruang tamu, meng-charge ponsel. Beberapa saat kemudian dia menelpon Mutia, sahabat karibnya.
“Assalamu alaikum. Hallo, Mut. Aku sudah di rumah.” Cerocos Sa’id tak peduli Mutia sudah bangun atau belum.
“Uhm....” dari seberang suara Mutia masih serak. Dia mengambil kaca mata di meja belajar. Matanya nampak indah meski masih merah. Terpampang nama Sa’id di layar ponsel. Seketika rasa kantuknya hilang.
“Sudah sampai rumah?” Mutia semangat.
“Sudah,” hati Mutia bergetar tak karuan. Sebentar lagi dia bisa bertemu sahabatnya. Mereka berbicara kesana kemari layaknya sahabat yang telah lama tak berjumpa.
“Besok kita ke Ngawen yuk. Ke rumah Safa.” ajak Mutia.
“Baru saja pulang, Mut. Kau sudah ajak aku ke Ngawen.”
“Aku kangen Safa.”
“Kangen Safa?? Kangen Safa atau aku?” goda Sa’id
“Hehehe.” Mutia hanya tertawa. Mereka ngobrol lewat telpon hingga birunya langit subuh menjadi cerah.
***
Sa’id dan Mutia berjanji bertemu di salah satu ATM di pasar Sambong. Hari ini mereka akan pergi ke rumah Safa. Abi dan Ummi memaklumi kepergian Sa’id meski baru beberapa jam berada di rumah. Sa’id sudah dewasa. “Remaja yang semakin dewasa tak akan betah berlama-lama di rumah.” begitu kata Abi beberapa waktu lalu.
Sa’id datang lebih dahulu. Dia menunggu di dalam ATM sambil menikmati dinginnya AC ATM. Aktifitas pasar Sambong sudah rame. Mutia datang naik becak dengan mata berbinar-binar menatap Sa’id yang telah menyambutnya dengan senyuman.
“Kok lama?” tanya Sa’id.
“Nanti saja kuceritakan di dalam bus.” Meski tanpa janji kedua remaja itu nampak serasi dengan pakainnya yang dikenakan. Sa’id dengan baju biru tua dan Mutia memakai baju dan jilbab biru muda. Selisih tinggi badan juga tak terlalu mencolok. Sayang mereka hanya sahabat. Tak ada yang berani mengungkapkan perasaan sebenarnya. Hanya mampu menyimpan perasaan itu dalam-dalam.
Mereka memasuki bus. Duduk berdua berdampingan mesra bak sepasang kekasih.
“Gimana tadi kok terlambat?” Sa’id membuka pembicaraan.
“Tadi aku diantar Abi kesini. Katanya beliau mau nungguin aku sampai dapat bus. Aku kan nggak mau kalau nanti ketahuan keluar sama kamu.”
“Lalu?” tanya Sa’id.
“Aku pura-pura minta diantarkan ke rumah Hayati.” Mutia mengambil dua cocolatos dari tasnya. Untuk dinikmati berdua.
“Terus Abi kemana?”
“Pulang lagi ke Kedungtuban,”
Bus melaju kencang menuju ke arah Purwodadi. Di dalam bus mereka becanda. Sambil makan cocolatos. Sa’id mengambil ponsel.
“Coba dengar lagu ini,” Sa’id menyodorkan heandset ke telinga Mutia yang tertutupi oleh jilbab biru mudanya.
Bilakah dia tahu apa yang telah terjadi
Semenjak hari itu hati ini miliknya
Mungkinkah dia jatuh hati
Seperti apa yang kurasa
Mungkinkah dia jatuh cinta
Seperti apa yang kudamba
Bilakah dia mengerti apa yang telah terjadi
Hasratku tak tertahan tuk dapatkan dirinya
Mungkinkah dia jatuh hati
Seperti apa yang kurasa
Mungkinkah dia jatuh cinta
Seperti apa yang kudamba
Tuhan yakinkan dia tuk jatuh cinta
Hanya untukku
Andai dia tahu
Hati Mutia berbunga-bunga mendengar lagu itu. Sa’id lah satu-satunya lelaki dapat duduk berdekatan dengannya. Wanita hanya diam dan menunggu. Tak mau dia memulai meski terkadang perasaan wanita lebih besar dari pada kesedihan seorang pria saat ditolak cintanya.
Sa’id ingin mengungkapkan perasaannya pada Mutia dengan lagu itu. Tapi Mutia tak mau ke Ge-eran dulu, dianggapnya lagu itu hanya lagu untuk teman perjalanan.
Setengah jam mereka sampai di pertigaan Ngawen. Disana mereka dijemput oleh Hani dan saudaranya dengan dua motor. Jalur pertigaan Banjarejo utara-Ngawen utara tak ada kendaraan umum. Sama dengan jalur Kedungtuban utara-Sambong selatan. Harus naik kendaraan pribadi atau ojek yang ongkosnya mahal.
Di rumah Safa, Sa’id dan Mutia lebih sering ngobrol berdua dari pada bicara dengan Safa. Untungnya Safa menyadari keadaan teman-temannya.
“Ngawen panas juga ya?” Mutia berbasa-basi. Merasa tak etis membiarkan sendiri tuan rumah tak diajak bicara malah ditinggal melepas rindu berdua.
“Ya beginilah. Kalau siang pasti panas. Sama dengan Kedungtuban juga. Sebentar aku ke belakang dulu.”
“Hehehe,” Mutia tertawa dibuat-buat.
Safa datang membawa Pecel makanan khas daerahnya. Sebelum masuk ruang tamu, dia mengintip kedua temannya. Mutia nampak cekikikan dan sesekali mencubit lengan Sa’id. Sa’id membalas cubitannya dengan gemas.
“Tambah sip saja.” Safa datang. Spontan Sa’id menarik jarinya yang masih menempel di lengan Mutia.
Safa datang membawa tiga piring Pecel.
“Aku sudah kenyang. Nanti kalau makan lagi nggak habis.” kata Mutia.
“Kita makan sepiring berdua saja,” ajak Sa’id.
“Oke.” mereka bertiga menikmati Pecel bertiga. Cuaca cerah Ngawen semakin siang semakin terasa panas. Keringat mulai keluar dari kening Sa’id. Dengan penuh kasih sayang Mutia mengambil tisu dari tas kecilnya.
“Pedwasnya mwantap. Di Ywogyaakwarta susah cwari makwanan pwedas.” Sa’id masih mengunyah Pecel dengan isi berbagai daun-daun sayuran.
Mutia tersenyum melihat Sa’id. Bibirnya bertambah merah karena pedasnya Pecel.
“Wajar,” kata Safa.
Selesai makan, adzan Dzuhur berkumandang. Sa’id dan Mutia izin sholat dulu. Kedua sahabat itu sholat dzuhur berjamaah. Muta membayangkan bagaimana seandainya Sa’id benar-benar menjadi pasangan hidupnya. Tapi tak mungkin. Dia tak mau berharap terlalu tinggi. Dia bukan siapa-siapa. Sa’id adalah cowok cerdas, bermasa depan jelas bahkan mempunyai hafalan yang lumayan banyak walau belum menjadi seorang Hafidz tapi bacaannya begitu menyejukkan hati bagi orang yang mendengarkannya. Sedang dia hanya gadis kampung yang hanya sekolah di pondok pesantren dan hanya dapat mendapat hafalan 23 Juz.
Sa’id juga terbersit dalam hatinya mengandai jika Mutia menjadi pasangan hidupnya. Kecantikan dan kesholehahannya Mutia  membuatnya minder. Tentu banyak pemuda Tanjung yang sudah mapan dan tampan siap mempersuntingnya. Hanya bisa memendam perasaan yang tak terungkapkan. Dia juga tak mau persahabatannya rusak gara-gara cinta. Seperti pengalaman sebelumnya bersama  Aini dan Nur.
Seusai sholat Sa’id dan Mutia berpamitan pulang.
Dalam bus, Mutia ngantuk dan tak sengaja tertidur di pundak Sa’id. Sa’id memandangi wajah cantik Mutia. Semakin lama memandang semakin hatinya merasakan besarnya perasaannya ada Mutia. Tak ingin momentum itu berlalu begitu saja. Inilah kali pertama dia merasa sangat nyaman berada di samping seorang gadis meski beberapa kali dia pernah jatuh cinta.
Mata Sa’id memandangi tangan Mutia yang putih berada dalam pangkuannnya. Dia mencoba memeganginya. Sesaat dia melepaskannya karena Mutia belum menjadi miliknya . Lalu dia menatap Mutia yang asyik tertidur di pundaknya tak tega Sa’id membangunkan Mutia. Kembali hatinya dilanda perasaan yang indah. Tak ingin rasanya dia berpisah dari Mutia. Saat itu pula dia tak sengaja menyentuh jari-jari Mutia yang lembut. Semakin lama menatap mata Mutia kemudian Sa’id tersadar dari lamunannya.
Mutia tak terbangun hingga sampai di pasar Sambong. Mereka turun lalu ke musholla. Sholat Ashar dan istirahat di sana. Kembali perasaan berkecamuk saat mereka asyik berjamaah berdua. Betapa indahnya dapat berjamaah dengan kekasih impian. Namun lagi-lagi rasa mindernya membuatnya tak mau berharap untuk mendapatkan Mutia. Sa’id tak mau persahabatannya hancur gara-gara cinta. Selesai sholat, Mutia tertidur lagi. Sa’id duduk di teras Musholla membaca buku Sang Bidadari Subuh. Sebuah novel yang menceritakan kehidupan seorang perempuan yang mempunyai hati begitu lemah lembut kepada siapapun.
Jam Lima sore Sa’id masuk ke dalam musholla membangunkan Mutia.
“Mut....bangun. Sudah sore. Ayo pulang!” Mutia diam tak berekspresi. Wajahnya pucat.
“Bangun, Mut!” Sa’id menggoyang-goyangkan lengan Mutia. Tak ada ekspresi. Sa’id mulai panik. Dipeganginya pergelangan tangan Mutia. Masih berdenyut.
“Bangun Mut. Ayo pulang!” tak juga Mutia bangun. Sa’id menatap dalam wajah Mutia yang pucat.
“Perutku sakit sekali.” suara Mutia terdengar berat.
“Ayo pulang,”
“Aku tak kuat bangun.” Dengan terpaksa dan susah payah Sa’id mencoba mendudukkan Mutia. Matanya malah terpejam lagi.
Kembali Sa’id dilanda kepanikan. Dia keluar. Mencari toko membeli air dan obat sakit perut. Setengah berlari dia mencari-cari toko. Semua sudah tutup karena sore. Wajahnya nampak sekali seperti orang kebingungan. Akhirnya dia menemukan toko. Dia beli air dan obat sakit perut. Tak tahu apa sebenarnya sakit yang melanda Mutia.
Sa’id berlari lagi ke musholla. Mutia masih terbaring.
“Mut. Bangun. Minum dulu!” Sa’id memaksa Mutia bangun. Tapi tak bisa. Dia menelpon kakak Mutia.
“Hallo, Mas. Mutia pingsan,”
“Afwan Id. Aku lagi ada acara di Purwodadi,” telpon langsung ditutup.
Sa’id tak punya cara lain kecuali memaksa Mutia bangun. Tak terasa sudut matanya dingin. Sa’id duduk di samping Mutia menunggu sampai sadar sambil berdoa.
Mutia tersadar, “Minum dulu, Mut!”
Mutia menggeleng. “Sudah sore. Ayo pulang. Ini minum dulu.” hanya sedikit air yang masuk di mulutnya. Dia mencoba bangun. Tapi tak bisa. Tubuhnya terhuyung jatuh ke depan. Alhamdulillah Sa’id ada di depannya.
Sa’id menidurkan Mutia. Dia keluar lagi mencari bantuan untuk mengantar Mutia sampai Kedungtuban. Kembali dia haru berlari-lari menuju pangkalan angkot. Di sana masih ada empat angkot yang masing mangkal. Dia menghampiri salahsatu  sopir dan menjelaskan keadaan Mutia.
***
Jam tujuh malam Mutia tersadar. Sa’id berada di ruang bersama Abi dan saudara-saudara Mutia.
“Saya tak tahu kenapa Mutia pingsan. Saya kira tadi hanya tidur di Musholla,”
“Tadi belum makan?” tanya Abi Mutia.
“Sudah, Pak. Tadi siang makan Pecel di Ngawen.”
“Pedas?” tanya Abi Mutia lagi.
“Iya, Pak.”
“Itu dia nak Sa’id. Sakit maagnya kambuh kalau makan pedas. Ya sudah, nak Sa’id. Saya berterima kasih karena telah menolong Mutia. Malam ini nak Sa’id tidur di sini saja,”
“Aku dipanggil nak Sa’id?” gumam Sa’id dalam hati. Dia senang luar biasa dipanggil ‘nak’ oleh Abi Mutia. Dia senyum-senyum sendiri.
Sa’id pamitan pulang. Tapi ditahan oleh keluarga Mutia karena tak ada kendaraan malam untuk sampai ke desa Sambong. Akhirnya Sa’id terpaksa menginap disana.
Senin pagi yang cerah. Udara pagi di Kedungtuban lebih segar dari Sambong selatan. Lokasinya di tengah sawah menjadikan udara masih steril jauh dari asap kendaraan. Sa’id keluar halaman memandang pepohonan berembun yang rindang.  Mutia datang menemaninya.
Sa’id tahu langkah Mutia di belakangnya. Dia mengatur nafasnya untuk memperlancar bicara. Hatinya sudah tak bisa dibohongi lagi. Tak ingin dia berlama-lama terjun dalam kemunafikan cinta,
“Tak pernah ada pagi seindah ini dalam hidupku.” pandangan Sa’id  mendongak ke atas mengamati mangga yang ranum. Tak berani dia menatap mata Mutia.
“Kenapa Id?” tanya Mutia.
“Pohon yang indah, udara yang sejuk, rumah yang permai.”
“Hanya itu?” sela Mutia. Sa’id mendekati pohon mangga membasahi tangannya dengan dedaunan yang berembun.
“Tidak.”
“Lalu?”
“Seorang sahabat yang lama kurindukan kini berada di dekatku bukan hanya dalam khayalanku.”
“Siapa dia?” Mutia memancing agar Izwan menyatakan cinta.
“Dia adalah seorang gadis yang sangat kusayangi dan kucintai. Sayang aku tak mau berpadu kasih dengannya.
Deg. Hati Mutia terasa ada yang memukul keras. Dia mendekati bunga-bunga untuk menghibur hatinya. Dia diam, memegangi bunga-bunga yang masih basah. Dia benar-benar kecewa. Matanya melirik ke arah Sa’id yang masih asyik bercengkerama dengan daun-daun basah. Mutia memejamkan mata dan mengatur nafas. Dia mencoba mengatur suara hanya untuk bertanya, “Kenapa?”
Sa’id menoleh ke arah Mutia. “Karena ini adalah saat yang tepat untuk melamarnya. Aku akan menikahinya.”
Deg. Kembali ada yang memukul hatinya. Mutia tak berani menatap Sa’id. Dia menundukkan kepala memandangi ujung jari-jari kakinya. Dia mencoba bicara tapi berat. Tak ada satu pun kata-kata yang terucap dari mulutnya.
Sa’id meletakkan tangannya ke dagu dan menolehkan wajah Mutia yang memerah merona. Sa’id tersenyum, Mutia ikut tersenyum.
Sa’id beranjak masuk ke rumah menemui Abi dan Ummi Mutia yang masih sibuk menyiapkan sarapan. Sa’id meminta dengan hormat kepada orang tua untuk sejenak ke ruang tamu karena ada sesuatu yang penting untuk disampaikannya.
Tanpa basa-basi Sa’id lalu mengutarakan segala keinginannya untuk menikahi Mutia. Suasana menjadi tegang. Sesaat ayah bilang
“Tak bisa kuterima lamaranmu sebelum kau selesaikan kuliahmu.” Mutia hanya diam membisu. Sudut matanya basah namun tak terlihat karena tertutupi air mata.
“Semester depan saya sudah wisuda, Pak. Saya akan segera menyelesaikan kuliah.”
“Tapi ada satu syarat?”
“Apa itu, Pak?” tubuh Sa’id bergetar menunggu syarat yang ditentukan Abi Mutia. Dia mencoba tetap tenang meski hatinya bergelora.
“Jangan sekali-kali menemui Mutia lagi sebelum kalian resmi menjadi suami-istri.” Sa’id seperti kehilangan daya. Matanya memandangi Mutia. Sejenak dia merasa ragu jika selama enam bulan tak bertemu. Mutia melirik Sa’id memberi tanda dengan matanya yang cantik agar Sa’id segera bicara.
“Inggih, Pak. Saya terima syarat itu.” semua yang ada di rumah mengucap hamdalah hampir bersamaan.
Setelah lamarannya diterima dengan syarat Sa’id dan Mutia pun menjalani persyaratannya. Mereka hanya berhubungan lewat telpon dan sms. Begitu indah cinta mereka berdua meski tak bertemu. Semua berlalu tanpa harus berjalan berdua, bergandeng tangan apalagi berciuman. Sa’id dan Mutia menjaga cinta dan hati mereka tanpa noda nafsu agar tak melanggar adat dan agama. Dan terasa sangat indah saat waktunya tiba. Waktu dimana pernikahan mereka telah mereka jalani.

*Kisah persahabatan sejak kecil yang berbuah manis pada akhirnya ketika kedua insan tersebut menjaga hati dan cinta mereka tanpa nafsu dan dosa. Sebuah rumah tangga idaman akan terbentuk dengan sendirinya jika memang itu sudah jodoh yang di tentukan oleh Allah SWT dan sudah dengan usaha dan kematang dari keduanya untuk menjalani ibadah untuk melengkapi keislaman.

0 comments:

Post a Comment