INI LANGKAHKU

Thursday, April 5, 2012

Remaja Tanpa Cinta Orang Tua

Beberapa fakta mengejutkan tentang remaja muncul dari tahun ke tahun. Salah satunya yang ditunjukkan melalui survey komnas perlindungan anak indonesia (KPAI) beberapa tahun lalu di 33 provinsi di indonesia. Hasil survey menunjukkan bahwa 62,7% remaja usia SMP, tidak perawan. Dengan kata lain 62,7% remaja usia 13 s.d 15 tahun pernah melakukan hubungan seks diluar nikah, (maaf) alias ZINA!!!
Dari hasil survey tersebut didapati juga fakta bahwa 93,7% remaja SMP dan SMA pernah (maaf) berciuman, (maaf) genital simulation (meraba alat kelamin) dan oral seks; 21,2% remaja mengaku pernah aborsi dan 97% pernah menonton film porno.
Hasil penelitian tersebut muncul kembli disusul beberapa terbaru lainnya, dipicu makin merebaknya video porno dengan pelaku para pelajar yang tersebar bebas. Fakta-fakta tersebut seolah melengkapi catatan tentang tawuran antar geng pelajar, kasus pencurian, kasus perkosaan yang berawal dari minuman keras, penyalahgunaan narkoba, dan lain-lain. Fakta-fakta tersebut semakin mengukuhkan istilah “kenakalan”, yang sepertinya telah melekta dalam diri remaja. Tanpa bermaksud menghakimi, fakta ini penting dicermati. Fakta ii menunjukkan betapa telah terjadi dekadensi moral yang sangat mengkhawatirkan dikalangan ramaja. Tidak menutup kemungkinan, bahwasanya berbagai kenakalan remaja tersebut dilakukan mayoritas oleh para remaja muslim. Kalau boleh disebut bahwa kenakalan tertinggi ada pada seks bebas, dengan sedikit mengabaikan yang lainnya; berarti banyak remaja kita telah melakukan zina yang notabene adalah dosa besar. Tawuran saking biasanya mungkin dianggap sebagai kenakalan yang lumrah dilakukan remaja. Tapi, bagaimana dengan zina??

Kenakalan remaja atau kenakalan orang tua??
Arus modernisasi dan teknologi akan semakin berkembang, tanpa bisa dicegah. Dunia teknologi yang semakin canggih; disamping memudahkan dalam mengetahui berbagai informasi diberbagai media, disisi lain membawa dampak negatif yang cukup meluas karena segala informasi dapat diakses tanpa batas. Salah satunya bagi remaja. Hal ini sering menjadi kambing hitam, penyebab kenakalan remaja. Terpaan teknologi informasi yang begitu bebas, memicu remaja berperilaku menyimpang.
Hal ini perlu ditelaah lebih dalam. Jika memang terpaan ‘pesan atau gaya hidup’ negatif dari lingkungan tidak terhindarkan, lalu kenapa ada remaja yang ‘bisa baik-baik saja’ sementara ada yang ‘nakal’??
Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik,psikis,emosi yang begitu cepat. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja para pelakunya. Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyanangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungan, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya rendah diri. Selain itu, proses perkembangan kematangan ruhaniyah dan penanaman nilai-nilai moral (akhlak) yang tidak sempurna semakin membuat anak tidak cukup memiliki filter yang kuat terhadap terpaan negatif dari lingkungan.
Dari sini, jawabanya cukup jelas. Bahwa kenakalan remaja tidak akan ada jika remaja sempurna menjalani proses perkembangan jiwanya, menjalani kemudian menyelesaikan konflik yang terjadi dalam dirinya secara wajar, terbebas dari berbagai hal traumatis, dan mendapatkan ‘asupan’ serta peneguhan nilai-nilai moral yang cukup. Dan semua proses itu, bisa didapatkan dirumah, dari orangtua, sebagai sosok dan lingkungan pertama yang dikenal oleh remaja sejak masa kanak-kanaknya.
Saat berbicara masalah kenakalan remaja, ada hukum kausalitas. Kenakalan remaja selalu dikristalkan menuju faktor eksternal lingkungan dan pergaulan, padahal faktor lingkungan terdekat adalah orangtua. Saat bicara mengenai kenakalan remaja, terungkap pula mengenai lemahnya iman. Padahal mengenai iman, sekali lagi kita temukan pengaruh orangtua didalamnya. Didikan orangtua yang salah bisa saja menjadi faktor sosiopsikologis utama dari timbulnya kenakalan pada diri seorang remaja.
Betapa banyak orangtua yang tidak dapat berperan sebagai orangtua yang seharusnya. Mereka hanya menyediakan materi dan sarana serta fasilitas bagi anak tanpa memikirkan kebutuhan batinnya. Rumah seolah hanya menjadi ‘rumah singgah’, dimana penghuninya datang dan pergi tanpa saling memperhatikan. Karena cuek, bisa jadi perilaku yang mengarah pada kesalahan dibiarkan sehingga menjadi kebiasaan. Selain cuek, orangtua sering lupa bahwa perilakunya berakibat pada anak-anaknya.
Orangtua melarang anak bicara kasar, padahal ia sering berkata-kata kasar padanya dan orang lain. Orangtua melarang anak tawuran atau ringan tangan, padahal ia sering menganiaya mereka secara fisik, kasar terhadap orang lain didepannya. Orangtua melarang anaknya berbohong, padahal sudah berapa kebohongan yang ia ciptakan kepadanya. Orangtua menyuruh anaknya hemat atau melarang mereka merokok, padahal ia sering membakar uang dengan merokok didepannya. Orangtua marah ketika anaknya tidak sholat, padahal ia suka melalaikan sholat. Orangtua sering menghimbau anaknya untuk tidak menonton tayangan pornografi, padahal ia menyimpan videonya dengan dalih kedewasaan. Orangtua sering berkata kasar, menghujat, memaki, menjadi provokator untuk melakukan perlawanan ketika anak diganggu orang lain, menyakiti anak secara fisik dan psikis, dan sebagainya. Ini adalah kenakalan orangtua.
Apa yang dilakukan anak, bisa jadi karena hal itulah yang terekam dalam alam bawah sadarnya. Nilai-nilai perilaku ataupun sikap yang mereka tangkap dari orangtua. Jika tak ada teladan baik, para orang tua jangan berharap anaknya menjadi baik.




Remaja Tanpa Cinta Orangtua
“Kullu mauluudin yuladu alal fitrah. Faawabahu.” Setiap anak lahir dengan fitrah, bergantung bagaimana dia dibentuk oleh orang tuanya. Berarti tidak satupun anak ketika lahir berniat menghancurkan masa depannya. Tidak ada satupun bayi ketika lahir berniat, “ ah, jika besar nanti, aku mau kena narkoba”, “aku akan hobi tawuran”, “ aku mau membangkang pada ayah dan ibu”. Tidak ada. Karena setiap anak yang diturunkan ALLAH ke dunia awalnya cenderung pada kebaikan.
Jika anak lucu dan menggemaskan setelah seranjak remaja menjadi beban keluarga dan masalah bagi lingkungan, orangtua perlu introspeksi diri. Bagaimana keteladanan dan perlakuan yang kita berika kepada anak??
Sebagian anak justru dijatuhkan harga dirinya dirumah, bukan diluar rumah. Sebagian kita mungkin pernah memukul tubuhnya, seolah tubuh anak adalah pelampiasan amarah. Pernah menampar pipinya, seolah dia tempat empuk bagi telapak tangan kita. Pernah membentaknya, seolah ingin berkata bahwa kitalah yang berkuasa atas mereka. Atau mungkin, kita tak pernah melakukan sesuatu itu namun jarang sekali anak kita lolos dari kita salahkan. Sehingga, jatuh harga dirinya. Mungkin telinganya tidak dengan jeweran kita karena sudah kebal, tapi hati bisa jadi terluka karena merasa selalu salah.
Sebenarnya anak bisa patuh tanpa diteriaki. Senang berbuat baik tanpa diminta. Anak akan belajar tanpa dipaksa. Anak dapat mandiri tanpa digurui. Anak punya ketahana diri tanpa diisolasi. Karena anak bisa diberitahu, dijelaskan, diberi teladandan diberi inspirasi.
Orang tua sering menuntut banyak hal tetapi lupa untuk memberikan contoh yang baik bagi si anak. Banyak orangtua yang memukul, memarahi, dan melakukan kekerasan pada anaknya karena mendapat nilai jelek. Orangtua berfikir bahwa dengan memarahi maka remaja akan menjadi baik. Sayangnya memukul, justru akan membuat anak remaja tidak betah dirumah. Rumah baginya hanya tempat tidur sementara.
Dia lalu mencari harga diri, berkelana mencari ‘surga’. Mencari orang yang menghargai dirinya. Saat anak tak menemukan tokoh idola atau tokoh panutan dirumah (orangtua), maka remaja akan menempatkan kepercayaan tertinggi pada orang lain. Pada teman-teman gengnya yang ternyata bisa menghargainya jika ia pamer perkasa dengan menghisap ganja. Pada teman dekat wanitanya atau laki-lakinya yang selalu memujanya. Dan akhirnya orangtua hanya bisa berkata,” lingkungan telah merenggut anak-anakku”.

Saatnya Ayah ‘Bergerak’
Peran ayah dalam keluarga sangat besar, terutama pada proses mendidik anak. Karena kesadaran ini, pria dinegara-negara maju kini juga mengambil cuti saat “menjadi ayah” karena ingin memberikan waktu lebih besar bagi anak. Berbagai riset tentang perkembangan anak menunjukkan, pengaruh seorang ayah dimulai sejak usia yang sengat dini. Misalnya pada bayi 5 bulan yang memiliki banyak wktu dengan ayahnya, menjadi jauh lebih nyaman berada diantara orang-orang dewasa, lebih banyak mengoceh dan menunjukkan kerelaan untuk digendong dibandingkan dengan bayi yang ayahnya kurang terlibat. Meski demikian, saat anak masih bayi peran ibu lebih dominan.
Pada anak remaja, peran ayah jadi lebih dominan. Disini yaitu dalam membentuk perkembangan emosi anak, menanamkan nilai-nilai keagamaan, serta kepercayaan dalam keluarga. Ayah memiliki pengaruh lebh kuat karena perannya yang beragam, yaitu sebagai pemberi nafkah, ibu, pemegang kendali dan sebagai ‘hukum’ dirumah. Umumnya, peran ibu sebagai pengemong lebih bersifat konstan, sementara ketika ayah ada dirumah, peran dan ‘kekuatan’ ibu jadi berkali lipat. Selain itu menurut beberapa ahli, ayah memiliki kemampuan mengenali dan menanggapi emosi anak secara konstruktif dibanding ibu, sehingga jauh lebih ‘jago’ menasehati. Bagi anak perempuan, kedekatan dengan ayah ternyata mampu membuat mereka lebih pandai menjaga diri.
Sebuah studi di Columbia Univercity menyatakan bahwa remaja yang mempunyai hubungan yang buruk dengan ayah mereka, 68% kemungkinannya untuk menjadi pecandu minuman keras dan obat bius. Studi terbaru lainnya manemukan bahwa para remaja (11-15 tahun) didapati cenderung berkata ‘tidak’ untuk tawaran merokok yang mungkin diberikan lingkungan atau teman mereka. Mereka yang cenderung menolak didapati lebih sering membicarakan masalah tersebut dangan sang ayah. Studi ini seolah-olah menjadi terobosan baru bagi pentingnya peran ayah dalam keluarga.
Intinya, bukan untuk melemahkan peran salah satu orangtua melainkan untuk menunjukkan bahwa peran keduanya sangat penting, remaja membutuhkan teman mencurahkan hati, yaitu ibu. Namun, ia juga butuh figur dan bijak yang dapat menuntunnya untuk melihat segala sesuatu dengan pikiran positif, itulah ayah.
Hal konkrit sebagai awalan yang perlu dilakukan ayah adalah membina hubungan. Seorang ayah seharusnya belajar dan yang intim dengan anak-anak mereka. Prinsip 3T (terlibat, terbuka, dan tersedia). Terlibat dalam semua hal yang terkait dengan anak adalah penting. Meski sibuk dengan aktivitas lain, keterlibatan dalam waktu-waktu yang terbatas menjadikan pertemuan dengan anak yang berkualitas. Ini menunjukkkan, penerimaan seorang ayah menolong anak-anak percaya bahwa ayah akan mengasihi merekaapapun yang terjadi. Itu mengajarkan anak-anak bahwa mereka dikasihi untuk keberadaan mereka lebih daripada karena apa yang mereka lakukan. Ketika remaja diterima oleh ayah mereka, mereka akan suka untuk membagikan isu-isu sensitif dengan ayah mereka.
Terbuka, berarti membuka untuk memberi dan menerima ekspresi kasih sayang. Kejutan mnyenangkan, hadiah kecil, sentuhan sayang, aktivitas bersama seolah mengatakan bahwa mereka penting bagi ayah. Ketika seorang ayah tidak tersedia bagi anak-anaknya, itu sama saja dengan mengatakan kepada anak-anaknya: “ saya mengasihimu tapi maaf, hal penting lainnya datang mendahului kamu”.

Semakin banyak orangtua menghabiskan waktu bersama anak-anak, semakin sedikit waktu yang mereka habiskan diluar pengawasan orang tua. Juga, ketika orang tua menyisihkan waktu untuk berbincang dengan anak-anak, meraka akan mempelajari nilai-nilai yang dimiliki orangtuanya. Dan mereka akan lebih banyak berpikir sebelum bertindak. Mereka akan memikirkan apa yang akan pikir tentang mereka sebelum mereka
memutuskan melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Belum terlambat bagi setiap orang tua (khususnya ayah yang sering kali berada diluar rumah karena pekerjaan) untuk belajar memulai dari sekarang. Any man can be a father. But it takes someone special... to be a Dad...

Manajemen Nasihat
“Barang siapa diserahi tanggung jawab dalam pemeliharaan (keluarga, kerabat atau kaum muslimin keseluruhan) tetapi lalai membimbingnya dengan nasihat ia akan dihalangi masuk surga”. (HR Baihaqi).
Menasihati adalah salah satu jalan mendidik anak, selain memberi teladan, memotivasi, dan lain-lain. Semua nasihat pasti memiliki tujuan yang baik. Namun, jika tidak pandia mengelolanya, nasihat justru akan membuat anak terpuruk pada keburukan. Meski tujuannya baik, berlebihan dalam memberikan nasihat justru bisa menjatuhkan harga diri mereka. Karena nasihat yang overdosis pada waktu, tempat dan kondisi yang tepat, bisa jadi hanya lewat di telinga anak. Mereka pun tidak betah duduk berlama-lama bersama orangtuanya, tanpa ada tempat baginya untuk bersuara. Misal: saat nilai ulangannya jelek. Anak sudah sangat kecewa. Ditambah lebih sedih lagi dengan nasihat orangtuanya yang lebih tepat lagi dengan “menghakiminya”.
Sebetulnya, bukan banyak nasihat atau seberapa sering orangtua memberi nasihat. Namun pada cara dan waktu yang tepat. Mengacu pada 2 hal ini, dapat dirangkum 2 tips menasihati:
Pertama, undang anak bicara, baru orangtua bicara. Anak usia remaja terlihat kurang mendengarkan nasihat orangtuanya, namun fakta bahwa mereka sebenarnya sangat menyimak. Ini yang seharusnya diperhatikan orangtua. Dengan catatan, sebagian nasihat tidak masuk ke dalam diri anak karena memang banyak orangtua yang terlalu banyak bicara sehingga anak menutup hatinya.
Karenanya, agar nasihat diterima dalam pikiran anak undanglah anak untuk bicara terlebih dahulu. Buat dia nyaman berbicara kepada kita selaku orang tua meski kita gemas ingin mengeluarkan pendapat. Jika anak sudah nyaman bicara, akan terjadi kedekatan emosional dan keakraban secara ruhiyah. Sehingga dia siap menerima asupan pesan dari orangtuanya. Keterampilan ini perlu di latih, karena jika anak tidak nyaman berbicara dengan orangtua , anak akan mencari tempat nyaman lain untuk bercerita.
Kedua, waktu yang sesuai. Orangtua mampu memilih saat yang tepat agar hati anak dapat menerima dan terkesan dengan nasihat orangtua. Rasulullah Saw memberi contoh menasihati anak pada waktu-waktu berikut: pada saat jalan-jalan diatas kendaraan, waktu makan, waktu anak sakit, waktu sebelum tidur dan bangun tidur.
Dari ibnu abbas, ia berkata: pada suatu hari aku (dibonceng) di belakang Rasulullah Saw, lalu beliau bersabda: “Wahai remaja, sungguh aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: “peliharalah Allah, niscaya engkau akan dipeliharaNya. Dan peliharalah Allah niscaya engkau akan menemukanNya di hadapanmu. Apabila engkau meminta, mintalah kepada Allah dan apabila engkau memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah bahwa sekiranya semua manusia bersatu untuk memberikan sesuatu keuntungan kepadamu, niscaya mereka tidak akan dapat melakukannya sedikitpun selain yang telah Allah takdirkan untukmu. Dan sekiranya mereka bersatu untuk mencelakakan kamu, niscaya mereka tidak akan dapat melakukannya sedikitpun kecuali yang telah Allah takdirkan kepadamu. Semua pena telah diangkat dan kertas-kertas telah menjadi kering”. (HR. Turmudzi)
Selain itu, yang harus dicatat dalam menasihati adalah bahwa pesan yang desampaikan harus yang meninggikan, bukan merendahkan anak.
Jika kiat menginginkan anak sholeh, maka orangtuanya harus sholeh. Mari hormati jiwa anak-anak kita, tanamkan nilai-nilai aqidah dengan kuat, dan beri mereka teladan yang baik. Perkataan dan perbuatan penuh cinta dari orang tua adalah warisan terindah untuk masa depan mereka.

disadur dari majalah hadila.. :)

0 comments:

Post a Comment