INI LANGKAHKU

Tuesday, April 3, 2012

PENGUBAH HARIKU




  Untuk kesekian kali, aku berusaha menguasai relung hati seorang gadis dengan suaraku. Suara sumbang yang jika terdengar di telpon mampu membandingi suara Mario Ginanjar, vokalis Kahitna. Dulu Rina, Uhti, Nida dan Vera pernah kutaklukkan dengan suaraku.
   Kadang pula, kumenikam hati seorang gadis dengan tulisan-tulisan indahku. Icha, Nia dan Nita pernah mengangguk bahagia setelah kujerat hatinya dengan puisi-puisi cintaku. Tapi Nur, belasan puisiku belum juga mampu meluluhkan kasihnya. Lagu-lagu romantisku sedikitpun tak menyentuh cintanya.
  Suara merduku pernah didengarnya berulang kali. Hampir tiap hari. Jika malam tiba, kutembangkan lagu-lagu mesra lewat telpon hingga suaranya tak lagi kudengar karena lelap dalam tidurnya. Sesekali kuberpuisi untuknya.
  Baru tadi malam, lagu terakhir yang mengantarnya ke dalam mimpi berhasil memunculkan sebuah tanya karena lirik-liriknya yang tulus.
  “Judulnya apa lagu tadi malam, Tsan?” tanya Nur sebelum kami kuliah. Sudah jadi kebiasaan, tiap di sela istirahat kuliah kujumpainya.
  “Yang mana?” aku sudah tahu lagu tadi malam. Untuk memperlama obrolan kupura-pura tak tahu.
  “Yang terakhir. Sebelum aku tidur.”
  “Kau Ubah Hariku. Ini lagunya ada di ponselku,” kusodorkan ponselku padanya.
  “Mau dengar, Nur?”
   Nur diam, memandangiku sekejap, “Tak usah. Aku mau kamu menyanyikannya lagi untukku.”
  “Pasti. Aku akan menyanyikannya sebelum tidur.”
  “Nyanyikan untukku nanti malam saat Makrab mahasiswa jurusan.” pinta Nur.
   Deg. Aku terdiam sesaat. Sampai saat ini aku masih belum percaya diri bernyanyi di depan umum gara-gara aku pernah dihujani kata “Huuuuu” oleh semua audience saat bernyanyi di atas panggung.
   Entah mengapa muncul kekuatan hebat yang mendorongku mengeluarkan suara YA di hadapan Indah meski hatiku berkata TIDAK. AKU TAK BISA.
  “Oke. Nanti malam kutunggu. Aku mau masuk kelas dulu.” Nur pergi melangkah menjauhiku hingga sosoknya tak nampak lagi oleh mataku.
   Keringat dingin membasahi kulitku. Bisakah aku bernyanyi lagi. Di hadapan Nur, di hadapan smua mahasiswa jurusan. Mampukah aku?
  Aku mencari tempat sepi, mendengar Kau Ubah Hariku berkali-kali dan mengingat traumaku diputuskan Nida gara-gara diteriaki turun penonton di atas panggung. Akankah terulang lagi pengalaman pahit itu di saat aku belum menjalin cinta dengan Nur.
  Aku berpikir hingga air mineral dalam botol yang kubawa habis kuminum. Kutemukan sebuah ide agar Indah tak kecewa. Aku mencari alasan lain untuk menggagalkan rencana gila ini. Mencari ide agar bisa mengurungkan niat Nur untuk mendengarkanku bernyanyi di depan umum.
  Sepulang kuliah kutemui Nur di samping gedung perpustakaan.
  Dengan berat hati kubohongi Nur. “Tampaknya aku belum bisa bernyanyi, Nur. Kata panitia tak ada waktu. Semua terjadwal dengan pasti.” alasan yang brilian meski dusta..
  “Oh. Ya sudah.” Nur agak kecewa. Raut mukanya menyiratkan harapan yang dalam untuk mendengarku bernyanyi langsung.
   Aku merasa tak enak hati. Beraninya aku mendustainya. Padahal ini kesempatanku untuk membuktikan betapa aku rela melakukan apapun untuk dia sebagai wujud tulusnya perasaanku. Kucoba mencari ide lain agar Nur bisa tersenyum karenaku.
  Kami berjalan berdua masuk ke dalam perpustakaan. Nur hanya diam kecewa. Maafkan aku, Nur. Aku tak ingin membuatmu lebih kecewa lagi dengan mendengar suara sumbangku.
  Aku dan Nur menuju rak perpustakaan yang berbeda. Hatiku merasa tak tenang melihatnya. Aku tak bisa konsentrasi dengan tumpukan rapi buku-buku di perpustakaan. Serba salah. Bagaimana kalau kupersembahkan puisi untuknya? Ide hebat. Puisiku akan menggetarkannya.
  Kudekati Nur yang sudah asyik dengan sebuah novel di tangannya. Aku tak berani bicara dulu. Kubiarkan dia asyik membaca. Aku hanya memandanginya dari samping. Benar-benar penuh pesona gadis ini.
  “Ada apa, Tsan?” Nur menutup bukunya, memandangiku. Aku kaget dan salah tingkah.
  “Oh. Uhm.” kupejamkan mata lebih lama dari kedipan biasa untuk memberanikan diri berbohong.
  “Aku baru saja dihubungi panitia.”
  Wajah Nur nampak lebih cerah dari sebelumnya. Seolah harapannya akan terwujud, “Kamu dapat waktu untuk bernyanyi?” lagi-lagi aku dibuatnya diam.  Ternyata ia berharap agar bisa mendengarku bernyanyi.
  “Bukan. Panitia kekurangan puisi. Aku diminta membuatnya. Sebagai gantinya, aku akan membuat puisi yang kupersembahkan khusus untukmu.”
   Raut mukanya kembali berubah. Kekecewaannya kali ini diekspresikannya dengan membuka novelnya. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali berucap.”Maaf, Nur,”
   “Tak apa. Lain kali mungkin masih bisa.” Kulihat lesung pipi Nur tampak menawan saat dia memaksakan bibirnya untuk tersenyum di hadapanku. Meski hanya  senyuman retorik.
   Lantaran tak kuat melihat kekecewaan di itu, aku beranjak keluar berpikir ulang. Kuputuskan untuk membuat surprize untuk Nur. Kutemui Ade, memintanya mendengar lagu Kau Ubah Hariku berulang kali sampai dia bisa menirukan denting piano. Dua, tiga kali Ade mencobanya. Dia bisa. Luar biasa. Tinggal aku yang berlatih vokal.
   Lima temanku kuberi sms yang sama. Kuminta mereka nanti berulah seolah memaksaku bernyanyi di depan demi menutupi kebohongan yang telah kuucapkan pada Nur.
   Sore hari, aku mencoba bernyanyi diiringi piano Ade. Bisa berjalan lancar. Tapi kutak tahu dengan suaraku. Enak atau tidak. Ade juga tak berkomentar.
  “Oke, Tsan. Nanti aku bisa mengiringimu bernyanyi.” hanya kalimat itu yang diucapkan Ade saat aku akan bersiap mencari busana yang tepat untuk makrab nanti malam.
***
  Malam berbintang cerah. Tapi tak bisa kupandangi keindahannya sebab kokasi makrab berada di dalam auditorium yang disulap oleh panitia bak taman bunga. Cahaya temaram lampu dibiarkan redup dengan lilin-lilin kecil di sudut-sudut gedung. Ratusan mahasiswa berada dalam gedung. Ada yang bergerombol, ada pula yang hanya berdua seperti aku dan Nurh.
  Sesuai rencana, setelah pentas seni, lima temanku berteriak sambil bertepuk tangan memprovokasiku untuk menyanyi di depan seluruh mahasiswa jurusan.
  “Ketua BEM jurusan kita harus menyanyi, menghibur kita malam ini.” teriak seorang dari tengah kerumunan mahasiswa.
  “Iya, Mas Tsan harus maju ke panggung.” sahut mahasiswa lain.
Sontak, mahasiswa lain ikut menyoraki dan dengan kompak memintaku maju.
  “Tsan....!Tsan....!Tsan....!” suara mahasiswa serentak.
   Nur yang ada di sampingku ikut memintaku maju. Kulirik wajah ayunya. Lesung pipinya lebih indah karena senyuman aslinya.
  “Ayo. Maju sana!” katanya sambil mendorongku.
   Aku masih deg-degan. Demi dirimu, Nur. Aku akan bernyanyi.
   Aku maju ke depan dengan langkah bergetar. Gemuruh tepuk tangan membuatku grogi. Kupegangi microphone, dan mengambil nafas dalam-dalam. Kupandangi wajah Nur sejenak.
   “Lagu ini kupersembahkan buat orang yang membuatku terpaksa maju kesini.” tepuk tangan semakin keras. Teman-teman tahu siapa yang kumaksud. Otomatis mereka memandangi Nur yang wajahnya memerah malu.
    Nurh ikut bertepuk tangan menghilangkan kecanggungannya. Kupejamkan mataku lagi. Kuberi Ade kode untuk memulai memainkan piano. Dentingnya menggema di seluruh sudut ruangan yang disetting panitia agak gelap membuat suasana agak romantis. Semua penonton diam. Kulirik Nur sejenak dan mulai mengeluarkan suara.
   Kubertanya adakah aku yang ada di hatimu
  Tak mengapa jikalau aku tak pasti di benakmu
  Aku tak tahu mengapa dirimu
  Yang datang saat aku meresah
  Meskipun aku tak mungkin miliki
  Namun kuakui kau ubah hariku
  Ada getar saat kumenatapmu  ada di sana
  Kuyakini mata hatiku tak akan pernah salah
  Aku tak tahu mengapa dirimu
 Yang datang saat aku meresah
  Meskipun aku tak mungkin miliki
  Namun kuakui kau ubah hariku
  Aku bertanya dan tanya kepada diri
  Salahkah hatiku yang mengharapkan cintamu
  Aku tak tahu mengapa diriku
  Yang datang saat aku meresah
  Meskipun aku tak mungkin miliki Namun kuakui kau ubah hariku
  Namun kuakui kau ubah hariku
  Tepuk tangan dalam ruangan itu semakin menggema. Kulihat Nur tersipu-sipu apalagi saat kuucap Kau  ubah hariku  dengan memandangi dan menunjuknya. Kepercayaan diriku semakin membesar menjadi semangat baru. Kumanfaatkan kesempatan ini untuk berpuisi. Demi Nur.
   Saat penonton masih sibuk dengan tepuk tangan. Kudekati Ade.
  “Tolong iringi musik. Aku mau berpuisi,” Ade hanya mengacungkan jempol.
   Kembali ruangan menjadi hening. Hanya terdengar suara piano dengan nada sendu. Kuambil nafas dalam-dalam. Memejamkan mata dan berbicara, “Nur. Kau Ubah Hariku.” Tak ada tepuk tangan. Kulanjutkan puisi hingga beberapa bait. Masih tak ada tepuk tangan. Dan ironis. Di tengah puisi, bukan pujian atau tepuk tangan yang kudapat. Aku menyadari paduan denting piano dan suaraku tak bisa menyatu. Suaranya jadi kacau. Aku dicaci.
   “Huuuuuu......” penonton menyeru. Tak kupedulikan. Kulanjutkan puisi. Namun ketidakpuasaan orang-orang dalam gedung mengkristal menjadi kemarahan.
   “Merusak pesta! Turun!” tiga benda keras melesat di hadapanku. Sekilas kulihat seperti sepatu. Tak jelas siapa yang melempar.
   Sebelum mahasiswa semakin brutal, aku turun dan bersembunyi di belakang panggung. Sendiri.
   Ade bisa menenangkan kondisi dengan permainan piano. Sedang aku menjadi bulan-bulanan perasaanku sendiri. Kegagalanku memberikan sesuatu kepada Nur.
   Deg. Di luar prediksi, Nur mendatangiku. Kembali bergetar tubuhku. Tak berani kumemandanginya.
  “Tsan.” Nur memanggilku. Sudah terlanjur malu. Tak kuhiraukan dia.
  “Tsan. Kau juga telah mengubah hariku.” aku masih diam. Aku pasti salah dengar. Pendengaranku pasti rusak gara-gara rasa malu yang tak terdefinisikan.
  “Tsan. Tak usah malu. Aku hanya mengharap lagumu. Bukan puisimu.”
  “Kenapa?” aku mulai berani melirik wajah Tsan.
  “Karena kau juga mengubah hariku. Ya, kau ubah hariku seperti lagumu.” mataku berkaca-kaca mendengar tutur lembutnya. Kukumpulkan keberanian untuk  memegang tangannya. Sekejap, apa yang baru saja terjadi hilang. Kuanggap hanya sebagai mimpi buruk. Aku bak seorang pelaut yang tiba-tiba melihat daratan setelah berhari-hari terjebak di tengah samudera. Sangat bahagia.
  “Kenapa puisimu hancur? Sedang lagumu bisa sehebat itu?” tanya Nur.
  “Karena ada dua yang bernyanyi. Aku dan hatiku.” kataku.
  “Kalau begitu, juga dua yang berpuisi. Kamu....” tatapan Nur tajam memandangku.
  ”Dan...... Kesombonganmu,” Nur berucap tegas saat menyebutkan KESOMBONGANMU. Lalu dia tersenyum. Aku baru     tahu ternyata ada rasa tinggi hati merasuki naluriku tanpa sadar saat aku mulai percaya diri. Terima kasih, Nur. Kau telah menyadarkanku.


sifat sombong yang tak di sadari. sombong tak kan berguna untuk hal-hal seperti itu. ^^

0 comments:

Post a Comment