INI LANGKAHKU

Wednesday, April 18, 2012

Koruptor Junior


Setelah lulus SMA dan kuliah di universitas sebelas maret selama satu tahun, Hamid juga menjadi pengajar taman pendidikan Quran (TPQ) di masjid at Taqwa di Solo. Hamid merasakan nikmatnya merawat anak-anak orang kaya yang masih mau diajarkan membaca dan menulis al-Quran. Meski gajinya hanya empat ratus ribu rupiah perbulan Hamid sudah merasa senang sebab sejak dulu Hamid memegang prinsip. “Khoirukum man ta'allama al Quran wa 'allamahu”. Sebaik-baik manusia di antara kamu adalah orang yang belajar dan mengajar quran.
Pengalaman selama satu tahun itu membuatnya mengenal dekat anak-anak kecil itu beserta orang tuanya. Seringkali orang tua mereka mengajaknya makan di rumah mereka. Bahkan pernah ditawari menikah dengan salah satu pejabat pemerintah kota Solo. Tapi Hamid menolaknya karena orang tuanya melarang menikah selama Hamid masih menjadi mahasiswa. Kalau saja tawaran itu diberikan saat Hamid sudah lulus, Hamid pasti menerimanya.
Seperti biasa sore ini Hamid mengajar di TPQ. Biasanya jam lima sore Hamid sudah pulang. Tapi kali ini Hamid terpaksa tak bisa pulang karena hujan deras hingga waktu maghrib tiba.
Karena hujan yang semakin deras, Hamid masuk ke dalam kamar penjaga kebersihan masjid. Hamid berbincang-bincang dengan Pak Wardi, penjaga kebersihan masjid. Di saat asyik ngobrol, salah seorang jamaah masjid ikut bergabung dengan kami.
Kami bertiga berbincang-bincang kesana kemari. Ternyata bapak yang mengenalkan dirinya dengan nama Juanda itu adalah salah satu orang tua santri TPQ. Dia sebelumnya tak pernah kesini karena kesibukannya sebagai pejabat kota Solo.
Pak Juanda memberinya informasi tentang beasiswa yang diberikan khusus kepada pengajar TPQ. Jumlahnya lumayan. Dua juta rupiah per semester. Awalnya Hamid ragu akan informasi itu. Tidak mungkin pertemuan secara kebetulan itu akhirnya berbuntut dengan informasi yang mengejutkan.
Jangan-jangan pak Juanda ini koruptor yang sedang menggarap proyek atas nama beasiswa. Mana mungkin ada beasiswa untuk pengajar TPQ. Bukannya selama ini pengajar Quran selalu disepelekan. Tak ada yang memperhatikannya apalagi pemerintah.
Namun nalar Hamid berkata lain. Sebagai mahasiswa yang terkenal dengan organisasinya, Hamid butuh uang itu. Akhirnya dengan serta-merta sekaligus kecurigaan, informasi itu dianggapnya sebagai informasi yang menggiurkan.
“Segera diurus semua persyaratannya. Paling lambat minggu depan. Ini kartu namaku,” kata-kata pak Juanda ini membuatnya semakin tergiur meski Hamid masih berhati-hati.
Informasi tadi diberitahukan kepada teman-teman kampusnya yang kebetulan juga ustazd dan ustazdah TPQ yang menyebar di kota Solo. Karena mereka sulit bertemu langsung karena kesibukan masing-masing, Hamid berikan informasi itu lewat sms. Semua mahasiswa yang Hamid kenal disms olehnya. Sebagai antisipasi barangkali Hamid tak tahu kalau diantara mereka adalah pengajar TPQ.
“Assalamualaikum. Bagi ustazd-ustazdah TPQ se-kota Solo. Ada informasi beasiswa sebesar dua juta rupiah dari pemerintah kota Solo. Bagi yang bersangkutan harap konfirmasi. Syarat dan ketentuan berlaku.” Smsnya dikirimkan ke teman-temannya.
Dengan memberikan informasi itu ke banyak orang, nanti bisa jadi saksi yang kuat untuk melaporkan pak Juanda jika dia memang koruptor.
Beberapa menit kemudian, Hamid dapat jawaban sms. Ada yang tidak percaya, ada yang tanya persyaratannya dan lain sebagainya. Semua sms itu Hamid balas sama “Lebih baik ke kosku saja, nanti kujelaskan. Kutunggu!!”
Benar. Beberapa teman pergi ke kosnya. Dalam waktu yang hampir bersamaan.
“Kau dapat informasi dari mana Mid?” tanya Farhan padanya.
“Nanti saja kujelaskan. Kita tunggu semua teman-teman datang. Ini minum dulu. Maaf cuma bisa kasih minum.jawabnya.
Sekitar lima belas menit, dua puluh temannya datang. Yang akhwat juga ada. Beberapa memang sudah kuketahui sebagai ustadzah, tapi ada juga yang tidak.
Kalau masalah uang, mudah sekali mengumpulkan orang.
“Assalamualaikum. Jadi begini teman-teman. Salah satu walisantri di TPQ-ku adalah pejabat kota Solo. Kata beliau, ada tunjangan untuk pengajar TPQ. Tiap orang dua juta.
“Terus cara dapatnya gimana?” Faizal menyela pembicaraannya.
“Sebentar Mas, biar Hamid menjelaskan dulu sampai selesai. Kalau tanya nanti saja.” Mutia menimpali.
Sepertinya mereka tak sabar lagi.
“Ya sudah. Intinya tiap pengajar bisa mendapatkan uang sebesar dua juta. Syaratnya mendapat rekomendasi dari lembaga TPQ tempat kita mengajar, membuat proposal beserta CV lengkap dengan nomor rekening dan fotokopi ktp. Sudah itu saja syaratnya.
“CV itu apa Mid? tanya Amin.
Mendengar pertanyaan itu otomatis teman-teman yang lain tertawa merendahkan.
“Walah, Min. Mahasiswa kok nggak tahu CV. Gimana sih?” kata Asri sambil tertawa kecil. Amin tersenyum malu.
“CV itu curriculum vitae alias identitas diri.” Andi menjawabnya.
“Ada pertanyaan lagi? Semua data-data dikasihkan aku. Paling lambat minggu depan.”
Setelah semua clear, teman-teman Hamid bubar. Hanya Arif, Khoirul dan Alfian yang masih di kosnya. Ketiga orang itu memiliki pikiran yang sama dengannya. Mereka curiga dengan proyek yang diberikan pak Juanda pada Hamid.
Selama ini mereka dikenal sebagai aktifis yang kritis sehingga wajar jika mereka lebih curiga pada pak Juanda dari pada Hamid. Hamid baru tahu kalau ketiga anak itu juga mengajar di TPQ. Kami lama membincangkannya dengan penuh kecurigaan. Intinya kami bertekad akan mengkasuskannya jika ada dugaan korupsi yang dilakukan pak juanda.
***
Sebelum seminggu semua berkas dari para ustazd diterima Hamid. Jumlahnya dua puluh lima. Lebih banyak dari jumlah teman-teman Hamid yang kemaren ikut ke kosnya.
Tanpa diklarifikasinya dan dilihatnya berkas-berkasnya semua diserahkannya kepada pak Juanda. Saat memberikan informasinya Hamid masih menaruh curiga pada pak Juanda.
“Insya Allah paling lambat dua minggu semua uang akan cair ke rekening masing-masing,” kata pak Juanda.
“Iya pak. Terima kasih sebelumnya. Saya pamit ngajar dulu.
“Iya Mid, Ini sudah lengkap kan?” tanya pak Juanda.
“Sepertinya sudah lengkap. Assalamualaikum pak,
“Waalaikumsalam.
Hamid berangkat ke musholla tempat dirinya mengajar TPQ seraya berpikir, kira-kira apa yang akan dilakukan dengan uang sebanyak itu. Yang pasti, bayar hutang harus  kunomersatukan setelah itu sedekah dan selebihnya untuk kebutuhan lain saja.
Lima hari setelahnya, Hamid dapat telpon pak Juanda.
“Assalamualaikum Mid. Uangnya sudah cair,
“Waalaikumsalam. Injih, Pak. Alhamdulillah.
Kebahagiaan tak terperikan itu diekspresikannya dengan sujud syukur. Terima kasihku pada-Mu ya Allah. Semua teman-teman yang kemarin ikut mengumpulkan berkas diberitahu semuanya.
Sepulang kuliah, Hamid langsung mengambilnya di ATM. Dia ambil semua uang. Sore hari setelah ngajar TPQ, Hamid  pergi ke toko buku besar di Slamet Riyadi. Hamid beli enam buku yang sudah lama ingin dibelinya. Hilang sudah kecurigaannya pada pak Juanda karena uang.
Saat itu juga Hamid ingin nonton film di bioskop. Hamid pun langsung ke gedung bioskop yang lokasinya tak jauh dari toko buku. Dan tanpa disengaja Hamid bertemu Arif, Khoirul dan Alfian. Aku senang sekali bisa nonton film bersama..
“Nanti setelah nonton ikut kami Mid. Nggak ada acara kan?”
“Ya. Nggak ada. Mau kemana?” tanya Hamid.
“Nanti kamu tahu sendiri kok. Dijamin senang lah. Kita refreshing. Andika dan Amin sudah pergi duluan kesana. Mereka mempersiapkan acara kita.” kata Alfian.
“Andika dan Amin?” tanyanya.
“Iya. Mereka kan juga ikut mengajukan beasiswa Mid.”
Benar. Setelah nonton bioskop, Kami menuju tempat yang telah dipersiapkan Andika dan Amin. Lokasinya cukup jauh dari Slamet Riyadi.
Kelelahannya hari ini menidurkannya dalam bis hingga Hamid tak tahu kemana diajak pergi.
“Mid. Bangun. Kita sudah mau sampai.
mendengar suara orang membangunkannya. Hamid terbangun dengan pandangan kabur. dibenarkan letak kaca matanya. Masih gelap. diambil minum dari tasnya. Akhirnya Hamid sadar.
Bis berhenti di depan sebuah gedung bertuliskan “Fresh Karaoke”.
“Ayo turun Mid. Ayo kita nyanyi-nyanyi di sini. Santai saja. Yang bayarin kita kok. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih kita padamu,” ajak Arif.
“Iya. Terima kasih.” Hamid tak bisa mengelak ajakan itu. Terpaksa Hamid harus ikut masuk ke dalam.
“Aku tahu kok kamu hobi nyanyi. Makanya kami ngajak kamu kesini.” Alfian menambahi.
dilihat kasir penjaga karaoke cantik dan seksi. Usianya dua puluh lima tahunan.
“Selamat datang bapak-bapak. Mau pesan kamar mana?” Kami dipanggil bapak-bapak olehnya. Ya biarlah. Memang tampang kami kelihatan tua.
“Kami sudah pesan kok mbak. Tempatnya Andika dan Amin.”
“Oh. Iya. Ada di lantai dua. Kamar B3,” kata gadis itu. Sepertinya dia sudah kenal dengan Andika dan Amin.
Hamid tertarik kecantikan penjaga kasir itu.  Namun kasihan sekali dia dieksploitasi dengan kerja malam hari.
Kami masuk kamar B3. Astaghfirullah. dilihatnya diantara Andika dan Amin ada wanita duduk dipeluk mereka berdua.  Di mejanya ada minuman keras. Tangan Andika juga menggenggam satu botol.
Betapa biadabnya orang-orang ini. Uang beasiswa dipakainya untuk melakukan perbuatan yang sangat menjijikkan.
Tak lama, keluar wanita lagi dari kamar mandi. Perempuan itu langsung mendekati kami. Hamid ingin marah tapi tak bisa. Entah apa yang ada di otak mereka. Hamid berharap bahwa yang dilihat ini hanya mimpi. Dua dari mereka langsung menyergap perempuan seks komersial itu.
Hamid berdiri diam.
“Santai saja Mid. Kita juga butuh bersenang-senang. Tak baik kan kalau kita hidup dengan buku-buku, diskusi, kerjakan tugas kuliah. Ada saatnya untuk senang-senang.” Kata mereka lalu tertawa.
“Iya, Mas. Pasti puas kok.” pelacur itu ikut bicara. hamid masih membisu. Ingin marah tapi tak bisa. Hamid syok melihat teman-temannya yang sering bersama mendiskusikan agama, moral bangsa dan lainnya.
Lalu datang pelacur lagi dari luar.
“Wah ketinggalan nih aku,” kata pelacur itu. Mereka berpakaian minim sekali. Lama-lama disana dirinya bisa tergoda.
“Maaf teman-teman. Aku tak bisa. Aku pulang dulu. Kalian nikmati sendiri saja. Terima kasih tawarannya.” Hamid keluar kamar setengah lari. Melihat kelakuan para bajingan itu aku benar-benar syok.
Hamid tak tahu harus kemana. Hamid terus saja berjalan sambil memikirkan apa yang baru saja dilihatnya. Mulutnya tak berhenti mendoakan mereka agar mendapat petunjuk dari Allah. Kenapa mereka membohongi diri mereka sendiri. Mereka paling hebat berbicara tentang moralitas sosial. Tapi tak melihat perilaku diri sendiri. Apa benar mereka pengajar di TPQ? Hamid baru teringat saat Hamid kirim sms tanpa berpikir panjang. Bahkan semua teman nya sms.
Di jalan Hamid menjumpai masjid. Diputuskan untuk sejenak sujud disana. Sujud memohon ampunan atas khilafnya yang menimbulkan bencana besar atas teman-temannya. Mereka menyalahgunakan uang beasiswa tersebut. Uang yang didapat dari bantuan negara. Maafkan aku Tuhan. Hamid bersujud hingga tertidur.
***
Empat hari setelah kejadian malam itu, Hamid disuruh ke rumah pak Juanda. Entah ada apa gerangan, sepertinya penting.
Sesampai di rumah pak Juanda, Hamid dimarahinya.
“Kau ini bagaimana Mid? Mau belajar jadi koruptor? Penampilanmu saja kayak ustadz, tapi kelakuanku bejat. Munafik. Tak pantas kau jadi ustazd!” kulihat kemarahan pak Juanda tak main-main. Awalnya Hamid hanya diam. Tak tahu apa maksudnya.
“Maksudnya apa Pak? Saya tak terima kalau dibilang munafik Pak. Ngomong baik-baik Pak.” katanya.
Pak Juanda masih geram. Tapi dia mencoba menenangkan diri. Diambilnya rokok dari sakunya. Mungkin itulah caranya untuk menenangkan diri.
“Maafkan aku, Mid. Ini kami di kantor mendapatkan ada lima dokumen palsu. Dokumen dari nama-nama ini. Surat rekomendasi dari TPQ palsu semua. Bahkan TPQ nya fiktif” pak Juanda agak tenang.
“Boleh kulihat pak?”
Diamatinya satu persatu berkas-berkas palsu itu. Subhanallah. Arif, Khoirul dan Alfian, Andika dan Amin. Ternyata benar dugaannya. Bajingan-bajingan itu bukan ustazd. Hamid ikut marah sebab merasa dibohongi oleh penjahat-penjahat kelamin itu.
Hamid mencoba memberanikan diri. Diutarakan semuanya pada pak Juanda. Siapa saja mereka. Dan bagaimana kronologinya hingga mereka bisa ikut mengajukan beasiswa. Tapi Hamid tak bercerita peristiwa malam itu. Biar Hamid saja yang tahu kelakuan bejat mereka.
“Maafkan aku, pak. Gara-gara aku terlalu senang dan butuh uang hingga kuterburu-buru menginformasikan pada orang yang salah” katanya. Air matanya tak terbendung.
“Astaghfirullah. Kalau begitu bukan salahmu Mid. Mereka yang perlu dikasih pelajaran. Biar mereka tahu kalau anggaran negara tak bisa digunakan seenaknya.
Pak Juanda mengeluarkan hp.
“Halo pak Selamat sore. Ternyata benar. Lima dokumen itu palsu. Besok kita gerebek saja mereka,
“Nelpon siapa Pak?” tanyanya.
“Temanku di polrestabes Semarang.
Langkah yang bagus. Hamid juga tak rela jika uang yang diperoleh dengan cara yang haram dipakai untuk untuk perbuatan haram apalagi sampai mau menjerumuskannya juga.
Hari berikutnya pak Juanda menelponnya. Ia memintanya untuk menunjukkan para polisi di mana kos koruptor-koruptor masa depan itu. Awalnya Hamid sempat ragu. Mana mungkin Hamid rela membiarkan teman-temannya ditangkap polisi. Benar-benar dilematis.
Sempat dirinya berpikir lama sebelum memutuskan untuk membantu pak Juanda. Saat dirinya mengingat-ingat kebersamaannya dengan mereka dalam sebuah forum diskusi, dalam seminar, saat bermain bersama, dirinya tak tega membantu pak Juanda. Baru setelah memori-memori otaknya memutar rekaman kejadian malam itu, Hamid akhirnya mengiyakan permintaan pak Juandaa.
Hamid langsung beranjak ke rumah pak Juanda lalu mengantarkan polisi ke tempat kos kelima temannya. Agak sulit mencarinya sebab mereka tidak tinggal satu kos. Dengan informasi yang Hamid dapatkan dari teman-teman kosnya, akhirnya polisi berhasil menciduk mereka saat masih tertidur dalam kos.
Mereka akhirnya divonis penjara selama setahun setengah atas tindakannya memalsukan data. Otomatis hukuman neraka juga menunggu pezina dan pemabuk yang berkedok menjadi aktifis yang kritis dan idealis. Itu jika mereka tak juga bertobat hingga ajal. Semoga kalian diberi petunjuk Allah. Bertobatlah sahabat-sahabatku. Jangan sampai kalian menjadi koruptor masa depan. Mengungkap koruptor junior mulai dari sekarang. Hamid merasa senang telah menyelamatkan dan menangkap para koruptor masa depan.

0 comments:

Post a Comment