INI LANGKAHKU

Wednesday, April 4, 2012

SELAMANYA NISA



    Malam ini kudapat melihat kejora nan indah di langit. Dalam sendiri, kulihat foto-foto Nisa. Satu persatu kulihat wajah ayunya. Sangat menawan. Aku heran kenapa gadis secantik dia mau menjadi kekasihku.
   “Tiiiiit....,” nada sms masuk membuyarkan lamunanku. Dari Nisa.
“Aku nggak bisa tidur, Mas,”
    Kubiarkan sms itu. Aku ingin berkontemplasi tanpa ada yang mengganggu. Pokoknya malam ini aku harus bisa memutuskan. Melanjutkan hubungan atau mengakhirinya.
   “Aku tahu kamu belum tidur. Maaf mengganggu,” dia berkirim pesan singkat lagi. Tak kubiarkan.
    Empat bulan aku menjalin hubungan dengan Nisa. Bukan bertambah mesra, aku malah merasa berdosa. Rasanya seperti orang yang musyrik. Bagaimana tidak, tiap salat, berzikir, baca al-Quran wajahnya selalu terbayang dalam kepalaku. Bukan Allah yang kuingat.
    Sejujurnya aku masih menyayangi Nisa. Namun aku tak mau terus-terusan seperti ini. Saat meresapi makna-makna Quran, selalu saja ada ayat yang menyindir untuk beribadah tulus, harus bisa mencintai Allah, harus selalu mengingat-Nya. Jika tidak, sama saja dengan orang fasik. Menduakan cinta-Nya sama dengan musyrik. Astaghfirullah.
    Kenapa aku dulu mau menjadi kekasihnya, bukannya aku sudah bahagia dengan status sebagai sahabat yang saling menyayangi. Rupanya janji yang kulanggar telah menjelma menjadi hukum kausalitas. Seringkali kuucapkan pada diriku dan orang lain, cinta adalah perusak persahabatan. Nyatanya aku sendiri yang jatuh cinta.
    Dulu Nisa adalah sahabat terbaik dalam hidupku yang bisa mengertiku dan bisa kumengerti. Selalu melengkapi serta tak pernah sekalipun bertikai meski berbeda pendapat. Sebagai lelaki, aku selalu jadi pelindungnya, sementara Nisa setia menjadi penenang emosiku. Lambat laun perasaanku mengkristal menjadi cinta. Mulai saat itu pula masalah demi masalah muncul.
    Meski hubungan jarak jauh membuatku jarang melakukan maksiat, tapi batin ini semakin tersiksa saat dia berucap. “I miss u,” atau “I wait u,” dan ungkapan-ungkapan rindu lainnya. Kucoba berhenti menghubunginya, tak bisa. Entah cinta atau nafsuku yang tak tahan untuk berkomunikasi.
   “Sudah selesai tugasmu, Nas??” Furqon menyapa. Kontemplasiku buyar.
   “Belum, Fur.”
   “Besok dikumpulkan, Nas!”
   “Kamu sudah?” tanyaku.
   “Belum, ayo kerjakan bareng. Aku mau ke rental,”
   "Ayo," kami mahasiswa miskin yang tak mampu beli laptop atau sekedar komputer kuno.
    Tugas yang kukerjakan melupakan semua tentang Nisa. Jam tiga malam tugas baru selesai. Aku sholat malam lalu membaca Quran surat Yusuf. Kubaca ayat-demi ayat sembari mentadabburi maknanya. Dalam kehidupanku rasanya aku menjadi Yusuf yang digoda sosok Zulaikha yang diperankan Nisa. Dia selalu mengangguku. Nampaknya ini adalah petunjuk Allah agar memiliki ketegasan seperti Yusuf. Lebih memilih Allah daripada Zulaikha. Semoga aku bisa lebih memilih Allah dari pada Nisa.
    Kembali terjadi perang batin dalam diriku hingga akhirnya tak tahan kumeneteskan air mata. Tak ingin perang ini berlanjut. Aku tidur.
    Saat bangun tidur kubuka ponsel. Sms baru dari Nisa.
    “Sayang, aku tahu kita tak sering bertemu. Walau kamu jauh. Hatiku untukmu.
    Jangan pernah kau dustai hatiku. Aku resah jalani waktu tanpamu. Jangan pernah kau ragukan cintaku, aku tak kan membuatmu terluka,”
    Tidak. Kenapa dia harus membuatku semakin merana dengan kata-kata itu. Teman-temanku sudah terbangun. Salah seorang dari mereka mengamatiku. Dia mendekat lalu memandangi mataku.
    “Matamu merah, Nas. Sakit?”
    “Tidak,” jawabku singkat. Tak ingin mereka tahu tangisanku semalam.
    “Besok nggak pulang?” Besok tanggal merah. Kita libur empat hari. Jumat kita kosong.” Furqon menanyaiku.
***
Sepulang kuliah, Ambar, adiknya Nisa menelponku.
   “Assalamualaikum,” suara Ambar dari seberang.
   “Wa'alaikumsalam, ada apa Mbar?”
   “Mas Anas lagi ada masalah dengan Mbak Nisa?”
   “Nggak ada. Kenapa?”
   “Dari pagi mbak Nisa nggak keluar kamar. Biasanya dia kan keluar rumah terus, Mas. Sampai kulitnya hitam,” Udara panas. Aku mencari tempat duduk di sudut kantin sambil meneguk air putih.
   “Terus?”
   “Kulihat status di facebooknya, sepertinya sedang ada masalah denganmu, Mas,” Aku jarang facebook lagi. Malas berkomunikasi dengan dunia maya.
   “Memangnya bagaimana statusnya?” tanyaku.
   “Sebentar, Mas. Kubuka fb dulu,” ujar Ambar. Kumenunggunya sampai lima menit sambil membaca buku.
   “Tiiiiit,” telpon dari Ambar.
   “Begini, Mas. Kau tak tahu betapa aku merindukanmu. Keegoisanmu membuatku terluka. Tapi Rasa sayangku akan melupakan semua. Sekejam apapun dirimu padaku, saat bersamamu aku tenang dan aku senang.”
   “Oke, terima kasih, Mbar,”
   Telpon kututup. Kulihat jam tanganku. Sudah jam dua siang. Aku belum sholat dhuhur. Langsung ku ke musholla, sholat, berzikir sebentar lalu kembali memikirkannya.
   “Ya Allah. Kau tahu hamba-Mu ini sedang bingung. Aku tak ingin menyakiti wanita. Bagaimanapun dia juga makhlukmu. Aku tertidur.” Dalam tidurku bermimpi bertemu dengan Nisa. Dia menangis di depanku.
   “Kau jahat, Mas Anas. Tak tahu kalau aku sayang kamu. Sms saja tak pernah kau balas. Tapi aku akan terus bertahan, Mas. Mempertahankan hubungan kita. Tak mau aku berpisah denganmu,”
   Aku terbangun saat terdengar adzan Ashar. Pipiku basah oleh air mata. “Nampaknya setan mulai ikut campur dalam hubunganku,” pikirku.
   Tanpa persiapan, malam hari aku pulang ke Babat Lamongan untuk menemui Nisa. Aku juga merindukannya. Setelah berada dalam bis tujuh jam lebih, akhirnya aku sampai di rumah. Kuberitahu Nisa dengan pesan singkat.
   “Aku di rumah. Besok bisa bertemu?”
   “Ya, bisa. Dimana? Jam berapa?”
   “Seperti biasa,”
    Sesuai janji, jam sepuluh pagi aku menunggu Nisa di pasar Babat. Cuacanya panas sekali. Aku kecewa, dia baru datang jam setengah sebelas. Aku sudah kepanasan di sana. Hatiku pun ikut panas gara-gara keterlambatannya. Tapi dengan mudah dia bilang,”Maaf, Mas. Aku terlambat. Habis nemani ibu.”
Kulihat kulitnya agak hitam. Benar kata Ambar beberapa hari lalu. Aku juga sangat merindukannya meski tak pernah mengungkapkannya.
   “Kita ngobrol di warnet saja!” ajakku.
   Aku dan Nisa berjalan ke warnet. Entah kenapa dia tak mau berjalan di sampingku. Aku berada tiga langkah di depannya. Hatiku semakin panas. Kedatanganku jauh-jauh dari Semarang tak dihargainya. Sikapnya membuat hatiku getir.
Sesampainya di warnet kupandangai wajahnya.
   “Jangan memandangiku seperti itu!” katanya. Aku kecewa mendengar kata-katanya.
   “Katanya kangen aku, Nisa?” dia tak menanggapi.
   “Ada kotoran nempel di samping matamu, Mas. Diam saja! kuambilkan,” jari tangannya yang lentik mengambil kotoran. Kesempatanku untuk memandanginya.
   “Jangan memandangiku seperti itu!” pinta Nisa. Aku tak peduli tapi dia memalingkan wajah.
   “Aku tak bisa lama, Mas. Setelah ini mau ketemu Ibu lagi. Tadi dia belanja banyak,” katanya.
   “Katanya kau kangen? Kenapa hanya bias bertemu sebentar? Aku jauh-jauh pulang dari Semarang agar kau tak kangen lagi. Aku juga kangen kau, Nisa!”
   Dia bangkit berdiri. “Nanti aku ke Malang ke rumah budeku selama seminggu,”
   “Jadi kita hanya bisa bertemu sesingkat ini?” aku sangat kecewa hari ini.
   “Ya, maaf,” Nisa berjalan keluar warnet. Aku mengikutinya. Tak sanggup kumarah.
   “Jalan di depanku saja, Mas,”
   Sekali lagi, Nisa tak mau berjalan di sampingku. Aku kesal. Kupercepat langkahku. Kutinggalkan dia hingga jauh di depannya.  
    Saat kuhentikan langkah di ujung jalan dia bilang, “Sampai di sini saja, Mas. Aku mau ketemu ibu. Maaf,” saat itu kumatikan ponselku. Aku yakin Nisa akan meminta maaf lagi. Hingga kukembali ke Semarang, aku tak mengaktifkan handphoneku. Dengan demikian aku bisa beribadah lebih khusyu' tanpa harus berbagi ruang hati.
    Bagaimanapun kejadian kemarin membuatku semakin kecewa dan membuatku untuk segera mengambil keputusan untuk mengakhiri hubunganku dengannya. Terpikir olehku akibat apa yang terjadi setelah kuberpisah dengannya. Kira-kira Nisa akan mengikuti langkahku dengan semakin mendekatkan diri pada Allah atau kemungkinan terbesar dia mencari penggantiku. Karena kutahu Nisa masih membutuhkan kasih sayang. Kuharap dia memilih yang pertama atau yang penting dia tak bunuh diri saja.
Setelah tiga hari kubuka ponselku. Belasan sms dari Nisa masuk.
   “Maaf...maaf...maaf....maaf,”
   “Aku minta maaf, Mas.”
   “Mas,”
   “Mungkin kau butuh waktu, Mas,”
   “Kuharap kau tak menyiksaku seperti ini,”
   “Terserah, Mas saja. I miss U,” dan lainnya. Perempuan ini aneh sekali. Saat bertemu sikapnya acuh saat berpisah suka mengungkapkan rasa rindu
   Sms dari Ambar juga masuk,”Mbak Nisa nangis terus ada apa, Mas? Matanya sampai merah dan bengkak, Mas,”
  “Ah, kemarin kau tak tahu betapa aku dikecewakan. Jauh-jauh dari Semarang hanya bisa bertemu sebentar. Padahal kumau perbaiki hubungan. Tapi sikapmu seperti itu. I don't care,” batinku.
Langsung kutelpon Nisa, “Asslamualaikum, Nisa”
  “Waalaikum salam. Apa kabar, Mas?”
  “Baik. Kabarmu?”
  “Kurang baik. Aku minta maaf atas kejadian kemarin,” suara Nisa berat.
  “Ya. Hanya maaf? Kau hanya bisa maaf terus,” nada bicaraku agak tinggi.
  “Lalu apa, Mas?” Nisa membela diri.
  “Kau sudah dewasa. Pikir sendiri!” emosi membuatku tak bisa berpikir jernih. Kata-kata keluar begitu saja tanpa kuhiraukan perasaan Nisa.
  “Terserah kamu, Mas,”
  “Oke. Aku juga minta maaf, Nisa.” Aku diam cukup lama. Lalu kubilang, “Aku butuh waktu sendiri. Bye,” kata terakhirku persis dalam film From Bandung With Love. Memang kusengaja menggunakan kata-kata itu. Kumatikan langsung handphoneku untuk beberapa waktu.
  Tiga bulan setelahnya, kudapat kabar Nisa sudah memiliki kekasih baru. Fian, teman baikku yang berulang kali menyatakan cinta pada Nisa. Aku hanya tersenyum mendengar kabar itu. Prediksiku tepat meski aku menyesal mendengarnya. Kucoba tetap dalam pendirianku
  Di hari ulang tahunnya, kukirimi Nisa sebuah surat atas khilafku, atas kekasaranku, keegoisanku dan semua kesalahanku. Aku juga menghadiainya sebuah buku tentang larangan berpacaran. Meski sudah lupa ulang tahunku, aku masih ingin dia menempuh jalan sepertiku. Harapanku suatu saat nanti aku dan dia kembali bersatu dalam ikatan resmi.
Harapanku sirna. Dua tahun lebih Nisa masih berpadu kasih dengan Fian. Barangkali buku itu tak dibacanya. Biarlah. Yang penting aku sudah berusaha agar dia menjadi lebih baik. Aku pun sudah nyaman dengan jalanku sendiri.
  Semakin kubisa menjalani hidup hanya dengan Allah tanpa ada seorang pun yang menggangguku dengan rindu, dengan sayang dengan cinta.
  Dalam relung hati masih terdengar bisikan.” Kisah ini belum berakhir, Nas. Semua masih berproses. Tetaplah dalam pendirianmu di jalan Allah. Nisa belum dimiliki siapapun.”
   Lima tahun kemudian. Kubertemu Ambar saat aku menghadiri sebuah seminar. Dia bilang sejak lama Nisa tak lagi menjalin hubungan dengan siapapun. Kabar gembira itu kurespon dengan mendatangi rumah Nisa. Dengan kepercayaan diri luar biasa karena aku sudah mapan secara materi, kulamar saat itu juga. Alhamdulillah lamaranku langsung diterima. Hanya berselang sebulan, Nisa resmi menjadi pasangan hidupku. Allahu akbar.
   Saat menikmati bulan madu. Nisa mengatakan,”Mas Anas. Buku yang sampean berikan itu menunjukkan jalanku. Aku memilih sendiri setelah baca buku itu,”
   Subhanallah. Tak sia-sia yang kulakukan meski hasilnya baru terasa selama bertahun-tahun. Kini Nisa menjadi milikku selamanya. Dalam naungan dan perlindungan Allah tanpa takut berdosa.


jika jodoh pasti akan kembali. so, jangan engkau dekati zina ! :D

0 comments:

Post a Comment