INI LANGKAHKU

Monday, April 9, 2012

TEKAD DA’I MUDA*


Dua hari lagi usia Mulyadi genap dua puluh satu. Usia muda, masih cerah dengan harapan-harapan yang menyeruak dalam pikiran. Dia mengharapkan sesuatu yang spesial hadir di ulang tahunnya.
Mulyadi melamun di belakang rumahnya sambil mendengar lantunan surat Ali Imran dari ponselnya. Begitu indah susunan ayat-ayatnya, begitu menakjubkan hati makna-maknanya. Dalam lamunannya, dia masih berusaha melakukan aktifitas dengan memberikan makan ternak ayam dan burung dara. Tangannya menggenggam jagung yang telah digiling khusus untuk makan ternak. Ya, tiap hari kerjaannya hanya sebagai peternak ayam dan kambing.
Mul. Memangnya kau sudah makan? Pagi-pagi seperti ini sudah kasih makan ayam dan kambing?” sapa Yanto mengganggu lamunannya.
“Memangnya masakan istrimu sudah matang?”
“Ya belum lah, Mul. Ayo kita ke warung kopi saja. Sarapan disana!”
“Duluan saja. Aku mau kasih makan ayam-ayamku dan kambing-kambingku dulu.”
Mulyadi kembali diam. Dalam lanjutan kenangan masa lalu, dia teringat pesan ibunya. Saat ibunya dalam kondisi kritis, Mulyadi diberi pesan khusus agar bisa kuliah di Kairo. Saat itu dia masih kelas enam SD. Sejujurnya saat itu dia ingin melanjutkan sekolah di SMP negeri. Namun tak mungkin dia menolak keinginan ibunya yang sedang kritis. Tak mungkin dia menjadi anak durhaka di depan ibunya yang telah menghadapi ajal. Dengan terpaksa, dia mengiyakan keinginan ibunya meski akhirnya kini dia hanya bisa menjadi peternak ayam dan kambing.
Ibu.... Maafkan aku tak bisa memenuhi keinginanmu. Terlalu berat bagiku menjadi orang seperti Buya Hamka atau Quraisy Shihab. Aku hanya mampu jadi peternak ayam dan kambing bu. 
Selama ini dia berhasil merahasiakan tanggal lahirnya hingga tak ada satupun teman-temannya yang tahu kapan dia lahir. Wajar jika tak ada satupun ucapan selamat ulang tahunnya. Hanya Nuha yang pernah mengucapkan selamat. Dia adalah kekasih Nuha saat masih nyantri di Solo. Itupun hanya sekali. Setelah putus hubungan, Nuha tak pernah lagi mengucapkan selamat. Menghubunginya pun jarang. Tapi itu sudah cukup membuatnya senang.
“Makan dulu cung!” Suara berat bapak membuyarkan lamunannya.
“Inggih pak. Bapak makan dulu saja!”
“Bapak ingin makan bareng kamu cung!” Mulyadi menghentikan aktifitasnya dan makan bersama bapak.
Mulyadi makan sambil memandangi wajah bapak yang renta. Dia merasa sudah tak lama lagi bisa hidup bersama bapak. Semakin sedih dia saat makan.
Untuk menghilangkan kesedihannya, Mulyadi menyalakan radio di hapenya dan mengeraskan suaranya. Tiap pagi, Mulyadi dan bapak mendengar Radio Perusada yang menyiarkan pengajian kitab-kitab islam. Petuah-petuah dalam kitab-kitab  menjadi salah satu siraman rohani pagi hari kedua bapak-anak itu.
“Bapak ingin Mul nanti juga jadi da’i!” pinta bapak.
Mulyadi kan sudah jadi da’i Pak,” Mulyadi membela.
“Maksudku, Mul bisa jadi da’i yang siaran di radio. Seperti pak Slamet.”
“Oh. Insya Allah pak. Sekarang, cukup jadi da’i keliling untuk acara nikahan dan hari besar Islam dulu saja pak. Mul sudah cukup kok Pak. Ilmu Mul juga sepertinya tak membandingi pak Slamet. “
Mul kan masih muda. Jangan berhenti belajar!” bapak menambahi.
“Inggih pak”
Kelihaian Mulyadi dalam beretorika mampu diasahnya dengan baik saat masih di pesantren selama enam tahun. Itu yang menjadikannya sebagai alatnya untuk menebarkan ilmunya saat di rumah. 
Para santri dan alumni pasti tahu siapa Mulyadi. Dengan ketenarannya saat di pesantren, teman-teman se-almamater selalu mengundangnya sebagai dai dalam peringatan-peringatan hari besar Islam, acara pernikahan dan khitanan.
Setelah makan, Mulyadi kembali ke belakang melanjutkan memberi makan hewan ternaknya. Dia sangat senang beternak. Hanya ayam-ayam itu yang tahu kegundahan hatinya.
“Yam. Di ulang tahunku yang ke dua puluh, aku hanya ingin banyak orang yang mengucapkannya padaku. Aku ingin diberi ucapan selamat oleh kenalanku. Ucapan selamat itu akan menjadi kado specialku. Selama ini tak ada orang yang mengucapkan selamat,” kata Mulyadi seolah mengajak ayam itu berdiksusi.
Ayam hanya bisa berkokok dan petok-petok. kambing juga hanya mampu mengembik seakan berkomentar atas curhatan majikannya.
“Tapi aku masih ingin ke Kairo untuk melaksanakan wasiat ibu,” hati kecilnya masih memiliki angan untuk bisa ke Kairo. Kemampuannya cukup tapi dananya yang tidak cukup. Lagi-lagi masalah dana menghambat keinginan seseorang untuk melanjutkan studi.
“Sholatun bisalamin mubin...” ada telpon masuk.
“Assalamualaikum Ustazd Mul,”
“Waalaikumsalam pak,”
“Lagi sibuk apa ustazd?”
“Kasih makan ayam. Pak Andi apa kabar?”
“Alhamdulillah baik.”
“Saya cuma mau mengingatkan. Jangan lupa nanti acara walimah di desa adikku di Jatinom. Mampir ke rumah saya ya Ustazd!”
“Insya Allah,”
“Saya tunggu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Mulyadi menghentikan aktifitasnya, lalu itirahat sembari  membaca bahan untuk persiapan ceramah nanti malam.
Lantaran di daerahnya musim walimah, hari ini dia mendapat dua job. Dia cukup mempersiapkan satu pidato untuk dua tempat yang berbeda. Letak satu tempat dan tempat yang lain jauh.
Setelah Ashar, Mulyadi mengajak Yanto pergi ke Ceper. Ceramah pertamanya ada di sebuah desa terpencil di sana.
Yan. Nanti kamu ikut masuk, ya. Jangan di luar saja. Bisa makan enak nanti.”
“Santai saja Mul. Tanpa disuruh pun, aku akan ikut masuk kok. Katanya malam ini kamu ceramah dua kali? Setelah dari Ceper kemana Mul?” tanya Yanto.
“Ke desa Jatinom Yan. Oh iya Yan. Kita mampir ke warnet dulu ya. Aku mau buka facebook sebentar.”
Kedua remaja itu berangkat ke Ceper. Sesuai arahan Mulyadi, Yanto berhenti di warnet di pertigaan Pakis. Mulyadi masuk warnet sementara Yanto ngopi di warung dekat warnet. Mulyadi memperbaiki data profil facebooknya. Tanggal lahirnya ditampakkan sesuai tanggal lahir aslinya. Seperti yang diinginkannya tadi pagi, dia berharap dapat ucapan selamat ulang tahun dari teman-temannya.
Mulyadi juga up date statusnya. BARANG SIAPA MEMPERSULIT URUSAN TEMANNYA SAMA HALNYA MEMPERMUDAH URUSAN MUSUHNYA.  
Hanya lima belas menit dia di warnet. Lalu keluar menyusul Yanto di warung, ngopi.
“Aku sejak pagi ke sawah belum istirahat Mul. Mataku ngantuk. Kalau nggak ngopi bisa pusing kepalaku.” tutur Yanto.
“Aku sejak pagi juga belum istirahat kok. Tapi nggak ngantuk. Biasa saja kok Yan.” kata Mulyadi.
“Yo beda to kang!”
Sesudah menikmati seduhan kopi hitam asli luar jawa mereka melanjutkan perjalanan menuju Ceper. Melewati persawahan luas. Hamparan padi yang ranum, menghijau menyegarkan mata. Sayangnya, pemandangan itu tak dapat dinikmati lantaran jalanan banyak yang berlubang.
Di jalan, Mulyadi mempersiapkan diri untuk ceramah nanti. Dibukanya kertas catatannya. Lalu berbicara sendiri seolah berada di depan khalayak ramai.
“Hadirin rahimakumullah. Hari ini Islam harus bisa menjadi solusi atas kemiskinan yang terjadi di Indonesia khususnya di daerah kita ini. Kemiskinan finansial maupun kemiskinan moral.” Meski di atas sepeda motor, Mulyadi semangat sekali berlatih. Yanto diam berkonsentrasi mencari jalan yang tak berlubang.
Jalur Pakis-Ceper memang sempit, namun banyak kendaraan berlalu lalang melewatinya sehingga aspal pun mudah rusak. Hampir tiap tahun jalan itu diperbaiki. Seolah menjadi agenda tahunan.
“Nggak bisa dipercepat Yan!”
“Jalannya nggak enak Mul! Banyak Lubang,”
“Ya gimana caranya lah Yan! Yang penting tidak terlambat!”
Yanto mempercepat laju motornya dengan berzig-zag mencari jalan yang mulus tak berlubang. Dia sudah lihai menyelip kendaraan demi kendaraan yang ada di depannya. Sementara Mulyadi masih berlatih seraya memegangi kertas catatannya. Dia tak memperhatikan laju motor yang dikendarai Yanto.
Dan tanpa terkira, sebuah sedan yang akan diselip Yanto ngerim mendadak menghindari lubang. Yanto pun ikut mengerem motornya, namun terlambat, karena saking cepatnya motornya menabrak bagian belakang sedan. Kedua pemuda itu terpental. Yanto lompat ke kiri. Sedang Mulyadi yang masih memegangi catatan kecilnya terpental ke kanan. Naasnya di belakang motor, sebuah tronton melaju dengan cepat. Sopir tronton sempat menghindari tubuh Mulyadi dengan membanting setir ke arah kanan. Namun,
“Brak....” keputusan sopir tronton salah. Tubuh Purwanto terlindas ban tronton tepat di bagian perutnya.
Saat itu Yanto masih tersadar melihat Mulyadi. Tapi dia tak bisa apa-apa. Hanya bisa berteriak dan membiarkan air matanya keluar.
Mulyadi!!!!”
Mulyadi saudaraku!!!”
Tronton berhenti. Sedan yang ditabrak, melaju kencang meninggalkan tanggung jawab. Pengendaranya ketakutan. Kejadian itu berada di daerah yang jauh dari perkampungan. Perut Mulyadi mengalirkan darah membasahi bajunya dan memerahkan aspalnya. Wajahnya masih cerah, memancarkan rona kepuasan sebab bisa memejamkan matanya. Tangannya sudah tak memegangi catatan kecilnya. Entah terbang kemana. 
Sopir tronton dan beberapa kendaraan yang kebetulan melintas di sana berhenti.
“Tolong temanku Pak!! Tolong!!” Yanto berteriak dan menangis. Beberapa orang mengangkatnya memasukkan ke dalam mobil untuk dibawa ke rumah sakit.
Tiada yang tahu apakah Mulyadi masih hidup atau telah tiada. Orang-orang yang menolong Mulyadi masih optimis bisa menyelamatkan nyawa Mulyadi. Tapi Yanto berkata lain. Dia seolah tahu kalau Mulyadi telah meninggal. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Yanto sudah mengucapkan istirja' dalam hati. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Dia merasa bersalah. Semua tentang Mulyadi menyeruak dalam pikirannya. Untuk meyakinkan hatinya, dia berusaha memberanikan diri memegang pergelangan tangan Mulyadi.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji'un,”
“Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un,”
“Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un,”
Akhirnya Yanto yakin kalau Mulyadi telah tiada. Urat nadi yang dipeganginya tak berdenyut lagi. Nafas segarnya tak terasa lagi. Tiada udara yang keluar masuk hidungnya. Mulyadi meninggal dunia.   
  Dua hari setelahnya. Tepat di ulang tahunnya. Ratusan ucapan ulang tahun dan doa disampaikan oleh teman-temannya melalui facebook dan sms. Masih banyak yang belum tahu kematian Purwanto. Sehingga belasan gurauan masih terlihat di dinding facebook Mulyadi sebagai ucapan ulang tahun.
“Selamat ulang tahun kawan. Semoga semakin sukses.”
“Ternyata kau masih bisa ulang tahun, Mul. Jangan lupa traktiran dan semakin sukses.”
“Semoga kau tenang di sana, Mul. Selamat Ulang tahun. Hiks....hiks...”
“Ribuan kenangan bersamamu takkan terlupa, Mul. Semoga amal ibadah dan kebaikanmu diterima Allah dan dosamu diampuni-Nya. Selamat Ulang tahun,”
Mul. Selamat ulang tahun Ya. Biasanya kau paling pintar merangkai kata-kata untuk teman yang ulang tahun. Kutunggu traktirannya.”
“Happy Birthday,”
“Sanah helwah.”
Hadiah ulang tahun yang diharapkannya terkabul pada hari itu. Hadiah yang sangat sederhana bagi seorang Mulyadi. Ucapan selamat ulang tahun. Namun sayang dia sudah berada di dunia yang berbeda. Kini bapak hidup sebatang kara di rumah. Karena usianya sudah tua dan pikirannya terganggu oleh kepergian Mulyadi. Bapak pun jatuh sakit. Dua minggu kemudian bapak menyusul Mulyadi. Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un. Faidza ja'a ajaluhum la yasta'khiruna sa'atan wala yastaqdimun. Jika ajal telah tiba, waktu tiada bisa ditunda dan didahulukan.



*cerita fakta cuma berbeda nama saja dan latar (^_^) 

0 comments:

Post a Comment